Mengapa terjadi perbedaan antar mahzab dalam islam ?

Mazhab

Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkret maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya.

Mengapa terjadi perbedaan antar mahzab dalam islam ?

Perbedaan antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Khazanah kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan izzah bagi umatnya. Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah.

Tak pernah kita dengar dalam sejarah Islam, perbedaan fiqh antara madzhab menyeret mereka kepada konflik bersenjata yang mengancam kesatuan umat Islam. Sebab perbedaan mereka dalam masalah parsial yang tidak membahayakan.

Perbedaan dalam masalah akidah sesungguhnya yang dicela dan memecah belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya.

Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum.

Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan terjadi karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus.

Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri berdasarkan interpretasinya (dhzan) yang terkuat menurutnya terhadap makna teks syariat. Karena interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw bersabda, ”Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala dan jika salah dapat satu pahala, ”

Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti) dengan makna sangat jelas baik dari Al-Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak ruang untuk ijtihad.

Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhzanni (lawan dari qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.

Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.

Contohnya, lafadlquru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.

Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum atau khusus adalah Al-Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?

2. Perbedaan Riwayat

Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, di antaranya:

  • Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
  • Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
  • Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
  • Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
  • Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.

3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum

Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai’ dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.

4. Perbedaan Kaidah Usul Fiqh

Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi “Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)”, “mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar”, “tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)” kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.

5. Ijtihad dengan Qiyas

Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.

6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil

Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta’lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.

Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi fatwah.

Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas mereka dengan balasan kebaikan – tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai syariat Allah yang turun kepada Rasulullah saw. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang bersifat dlanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi sama.

Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme golongan), permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin yang disebut Al-Quran sebagai umat bersaudara, yang juga diperintah untuk berpegang teguh dengan tali Allah.

Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau syariat Allah. Namun mereka menyebut, “Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal dari Allah jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya darinya (pendapat saya) berlepas diri.”

Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah saw, kepada para pasukannya baik dipimpin langsung atau tidak adalah,

"Jika kalian mengepung sebuah benteng, dan mereka ingin memberlakukan hukum Allah, maka jangan kalian terapkan mereka dengan hukum Allah, namun berlakukan kepada mereka dengan hukummu, karena engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dalam menerapkan hukum Allah kepada mereka atau tidak, " (HR Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)

Ini menegaskan tentang ketetapan ijtihad atau kesalahannya dalam masalah cabang fiqh.

Definisi Perbedaan Mazhab

Perbedaan dalam bahasa arab adalah ikhtilaf. Dalam istilah fiqhiyah, ikhtilaf ialah perselisihan paham atau pendapat di kalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan suatu ketentuan hukum tertentu. Dengan demikian perbedaan mazhab adalah perselisihan paham atau pendapat para imam mazhab sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan suatu ketentuan hukum tertentu.

Tempat-tempat terjadinya Khilafiyah

Karena sumber-sumber hukum (islam) pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW adalah al-Qur’an, al-sunnah, dan ijtihad sahabat (termasuk : Qiyas, Ra’yu, dan Ijma’ sahabat), dalam buku Genealogi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam Abbas Arfan mengkelompokannya dalam tiga katagori yaitu :

  1. Al-Qur’an, penyebabnya adalah sebagai berikut :

    • Adanya kontradisi antara sesama nash-nash al-qur’an dan adanya upaya mereka untuk mencegah perentangan itu.

    • Perbedaan dalam memahami ayat-ayat global.

    • Sebagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual), sedangkan yang lainnya lebih terhadap makna yang bermaksud kontekstual.

    • Sahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidak menemukan atau menganggap nash lain sebagai pengtakhshish-nya, sedangkan yang lain menemukannya.

    • Perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-Qur’an yang memiliki dua aspek pengertian.

  2. Al.Sunnah, seperti diungkapkan oleh waliyullah al-Dahlawi.

    • Sampainya suatu hadist (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak, maka ia akan berijtihad dengan ra’yunya.

    • Mereka sama-sama melihat Nabi SAW (Hadist Fi’liyah), namun sebagian mereka menggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian yang lain hanya mubah.

    • Karena lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.

    • Perbedaan persepsi antara antara mereka dalam memahami perkataan-perkataan Nabi SAW (Sunnah Qauliyah).

    • Perbedaan dalam menentukan ‘illat hukum suatu sunnah.

    • Perbedaan pemahaman dalam menyikapi beberapa sunah yang saling kontradiksi.

  3. Ijtihad

    Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra’yu ini tidak bisa dilepaskan dari perbedaan yang ada antara mereka berbagai hal termasuk ra’yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan lingkungannya.

    Sebagai perbandingan kami cantumkan kutipan dari buku perbandingan madzhab bapak Ali Trigiyatno M.Ag Tempat-tempat terjadinya khilafiyah yang lebih ringkas agar muda dipahami, yaitu :

    • Ayat-ayat al-Qur’an yang petunjuknya tidak pasti atau zhanni ad-dalalah. Sedangkan ayat-ayat yang sudah pasti dan jelas maknanya bukan lading terjadinya masalah khilafiyah.

    • Hadist-hadist Nabi saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni, baik zhanni wurud (dugaan terkait penisbahannya dengan Nabi) maupun zhanni dalalah (petunjuknya masih bersifat dugaan).

    • Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat. Seperti hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.[3]

    Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan fatwa, namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan tetapi jika mereka salah, akan mendapatkan satu pahala. Tentu saja ini hanya boleh dilakukan oleh mereka yang berkompeten dan capable untuk itu.

Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Madzhab


1. Faktor internal

  • Karena kedudukan suatu hadis

    Suatu hadis yang diterima seorang imam bisa ditanggapi secara beragam. Ada menyakininya lalu mengamalkannya, ada juga yang meragukannya dan tidak mengamalkannya.

  • Karena tidak sampainya suatu riwayat

    Adanya riwayat yg banyak jumlahnya tidak selalu diketahui oleh imam-imam. Dengan bahasa lain perbendaharaan hadis antara satu dengan lainnya tidaklah sama.

  • Berbeda dalam mengartikan kata-kata nash

    Dalam bahasa Arab ada kata-kata yang disebut musytarak, yakni suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Disamping itu, ada kata dengan arti majazi dan hakiki yang dalam menentukan makna yang dimaksud membuka peluang untuk berbeda pendapat.

  • Perbedaan penggunaan kaidah-kaidah ushul dan kaidah fiqhiyah

    Ada imam yang menggunakan istihsan dan ada yang tidak. Demikian juga dalam penggunaan ijma’ ahlu madinah, qiyas, maslahat mursalah, istishab, fatwa sahabat dan lain-lain. Lafadz amr (suruhan) oleh sebagian dipahami sebagai perintah wajib, dan oleh sebagian dipahami sebagai sunah, dan terkadang dipahami dengan makna lain. Demikian pula makna nahy (larangan) ada yang memahaminya dalam arti haram, ada yang makruh dan mungkin dengan makna lain.

  • Perbedaan metode para ulama dalam menghadapi dalil-dalil yang secara tekstual bertentangan (Ta’arud).

Disamping itu, ada juga pendapat dari Muhammad ‘Awwamah yang mengatakan bahwa ada empat hal yang menyebabkan adanya perbedaan dalam penggunaan hadist, yaitu :

  • Syarat suatu hadist dapat diamalkan

    Dari syarat yang pertama terdapat empat persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat, dua diantaranya berkaitan dengan sanad dan dua yang lain berkaitan dengan matan :

    1. Perbedaan dalam menentukan syarat-syarat untuk hadis yang dinilai shahih.
    2. Apakah hadis harus shahih untuk diamalkan?
    3. Penetapan redaksinya sebagai benar-benar berasal dari Nabi SAW.
    4. Penetapan kebenaran redaksi hadist itu dari segi tata bahasa arab[6].
  • Perbedaan dalam memahami hadist Nabi

    Disebabkan dalam tiga hal, yaitu :

    1. Perbedaan persepsi karena kapasitas intelektual dan ilmu para ulama.
    2. Adanya hadist yang lafadny mengandung makna lebih dari satu[7].
    3. Perbedaan ulama dalam menyelesaikan ta’arudh (pertentangan dalil) antara hadis yang satu dengan yang lain.
  • Perbedaan para ulama dalam hal penguasaan as-sunnah

    Sudah dimaklumi bersama bahwa koleksi hadis berjumlah ratusan ribu yang tersebar di berbagai tempat dan daerah, sehingga tidak mungkin apabila seorang imam dikatakan telah mengetahui dan menguasai seluruh perbendaharaan yang ada.

  • Perbedaan mengenai kedudukan Nabi SAW

    Sebagaimana dimaklumi, Rasulullah disamping sebagai utusan Allah juga sebagai manusia biasa. Terkadang ulama berbeda pendapat dalam menyikapi sikap maupun perbuatan Nabi. Apakah dalam kapasitas sebagai Rasul yang menetapkan tasyri’ atau sebagai kepala negara atau sebagai individu biasa.

2. Faktor Eksternal

  • Berbeda dalam perbendaharaan hadis.
    Jumlah hadist yang ribuan bahkan ratusan ribu yang tersebar seiring dengan tersebarnya para sahabat ke berbagai kota-kota besar kala itu[8], membuat tidak samanya perbendaharaan dan penguasaan hadis di kalangan imam-imam mujtahid yang akhirnya akan menghasilkan sejumlah perbedaan dalam berfatwa.

  • Di antara ulama, ada yang kurangnya memperhatikan situasi pada saat Nabi bersabda.
    Terkadang apa yang disabdakan Nabi berlaku umum atau untuk orang tertentu saja. Dan apakah perintah tersebut bersifat untuk selamanya atau sementara.

  • Di antara ulama, kurang memperhatikan dan mempelajari, bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan.

  • Di antara ulama, banyak yang terpengaruh oleh pendapat yang diterimanya dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama sebelumnya dengan ucapan “Telah terjadi ijma”.

  • Di antara ulama, ada yang berpandangan yang terlalu berlebihan terhadap amaliyah-amaliyah yang disunnahkan.

  • Berbeda dalam bidang politik
    Adanya faksi-faksi yang mempengaruhi perbedaan pendapat dalam masalah hukum islam. Misalnya golongan Khawarij, Syi’ah, Ahlussunah wal Jamaah dan Muktazilah masing-masing mempunyai falsafah dan pandangan hidup sendiri.

Sedangkan Menurut Sa’id Musthafa al-Khin, dalam kitabnya Atsar al-ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’ sebab-sebab perbedaan pendapat dalam masalah furu’ yang terpenting adalah:

  1. Adanya perbedaan dalam hal qira’at.
  2. Tidak sampainya suatu hadis kepada seorang imam dalam sebagian masalah.
  3. Ragu-ragu tentang kedudukan/ke-sahih-an suatu hadis.
  4. Berbeda dalam pemahaman dan penafsiran suatu teks.
  5. Adanya lafadz yang musytarak atau mengandung makna lebih dari satu.
  6. Adanya ta’arudh al-adillah atau pertentangan antar dalil.
  7. Tidak didapatinya suatu nash dalam sebuah permasalahan.
  8. Berbeda dalam menentukan qawa’id ushuliyah.

Sebagai penyebab terjadi Ikhtilaf, patut juga dikemukakan pendapat Dr. Yusuf Qardawi. Menurut Dr. Yusuf Qardawi, bahwa bentuk Ikhtilaf ada dua, yakni:

  1. Ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor akhlak diantaranya :

    • Membanggakan diri dan mengagumi pendapatnya sendiri.
    • Buruk sangka kepada orang lain dan mudah menuduh orang lain tanpa bukti.
    • Egoisme dan mengikuti hawa nafsu dan diantara akibatnya ambisi terhadap kedudukan.
    • Fanatik kepada pendapat orang lain, madzhab dan golongan.Fanatik kepada negeri, daerah, partai, jemaah atau pemimpin.
    • Ikhtilaf yang timbul karena perangai yang tercela ini adalah perselisihan yang tidak terpuji, bahkan masuk dalam kategori perpecahan.
  2. Ikhtilaf yang timbul karena perbedaan sudut pandang mengenai suatu masalah, baik masalah ilmiyah, seperti perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan, ilmu kalam, ilmu tasawuf, mantiq, filsafat dan lainnya.

    Ikhtilaf yang terkait dengan pemikiran disebabkan oleh perbedaan sudut pandang, kapasitas keilmuan dan perbedaan dalammenentukan mana yang lebih maslahat dan kurang maslahat.

    Termasuk khilafiah fikriah adalah di bidang siyasi (politik), tasawuf, kalam, aqidah. Namun yang paling kentara dan besar adalah adanya khilafiah dalam hal cabang-cabang fiqh dan cabang aqidah yang tidak didasarkan pada dalil yang qoth’i.

Kutipan jatikom Ikhtilaf dalam persoalan fiqh mencakup :

  1. Adanya keragaman dalam pemahaman suatu teks dan bagaimana mengistinbathkan ketika tidak terdapat nash.
  2. Adanya pihak yang cenderung literal dan pihak yang cenderung kepada ra’yu.
  3. Ada yang cenderung mempersulit dan ada yang cenderung memperlonggar.
  4. Ada yang mewajibkan taqlid ada yang melarang taqlid, dan ada yang bersikap tengah-tengah, melarang taqlid bagi ulama dan membolehkan taqlid bagi orang awam.