Mengapa terjadi alih guna lahan hutan?

Hampir semua lahan di Indonesia pada awalnya merupakan ‘hutan alam’ yang secara berangsur dialih-fungsikan oleh manusia menjadi berbagai bentuk penggunaan lahan lain seperti pemukiman dan pekarangan, pertanian, kebun dan perkebunan, hutan produksi atau tanaman industri, dan lain-lainnya. Alih- guna lahan itu terjadi secara bertahap sejak lama dan sampai sekarangpun terus terjadi, dengan demikian luas lahan hutan di Indonesia semakin berkurang.

Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya penebangan hutan sehingga terjadi proses alih-guna lahan antara lain:

####1. Perluasan lahan pertanian dan/atau penggembalaan ternak.

Pada umumnya pembukaan lahan pertanian baru oleh petani kecil atau tradisional adalah dengan cara tebas bakar (tebang dan bakar/slash and burn). Pembukaan lahan diawali dengan penebangan vegetasi hutan atau belukar secara manual dan membakarnya untuk membersihkan lahan agar dapat ditanami. Teknik ini umum dilakukan karena cepat dan murah.

Kemampuan seorang petani untuk melakukan pembukaan lahan seperti ini sangat terbatas, sehingga kawasan yang dialih-gunakan oleh setiap petani juga terbatas (beberapa hektar). Petani modern dan intensif melakukan penebangan vegetasi hutan dengan bantuan peralatan mekanis sehingga kawasan yang bisa dialih-gunakan bisa sangat luas (hingga puluhan kilometer persegi).

####2. Permintaan pasar dan nilai ekonomi kayu.

Pohon di hutan ditebang, diambil kayunya untuk diperdagangkan, baik skala kecil maupun skala besar (commercial logging). Penebangan bisa dilakukan secara selektif tetapi tidak jarang juga dilakukan tebang habis. Penggunaan alat-alat mekanik sangat dominan bahkan mesin-mesin yang termasuk ‘alat berat’ untuk menebang sampai mengangkut kayu. Akibat dari penebangan besar- besaran seringkali menyebabkan lahan menjadi terbuka (gundul) sehingga tidak dapat disebut sebagai hutan lagi.

####3. Pemukiman.

Seluruh vegetasi di hutan ditebang hingga lahan lebih terbuka sehingga dapat dibangun beberapa rumah untuk pemukiman (desa atau kota) dan beberapa bangunan lainnya.

####4. Tempat penampungan air.
Hutan dijadikan daerah genangan sebagai akibat dari pembuatan dam atau bendungan, sehingga menjadi danau atau waduk.

####5. Penggalian bahan tambang.

Hutan ditebang dan dibersihkan untuk mengambil bahan tambang yang ada di bawah tanah. Untuk mengambil bahan tambang itu selain harus membersihkan vegetasi (hutan) juga harus menyingkirkan lapisan tanah.

####6. Bencana alam.

Bencana alam dapat memusnahkan hutan dalam skala kecil hingga sangat luas, misalnya tanah longsor, banjir, kekeringan dan kebakaran.

Sekali hutan rusak baik secara sengaja maupun karena tidak disengaja (bencana alam), diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa pulih dan mencapai klimaks. Pada umumnya, kerusakan hutan yang terjadi akhir-akhir ini tidak mungkin kembali pulih lagi karena besarnya tekanan kepentingan manusia.

Hutan yang telah rusak itu seringkali segera diikuti dengan penggunaan untuk keperluan lain (non- hutan). Jadi, alih-guna lahan dari hutan menjadi non-hutan kelak akan merupakan proses yang sangat menentukan perkembangan agroforestri.

Alih-guna lahan sudah terjadi sejak jaman dulu, ketika manusia sudah mulai mengenal ‘pertanian menetap’. Pada saat itu alih- guna lahan tidak berarti sama sekali karena luas hutan yang dialih-gunakan jauh lebih kecil dibanding hutan yang masih ada.

Kebutuhan manusia dalam menggunakan lahan sangat terbatas hanya untuk pemenuhan kebutuhannya sendiri (subsisten). Sampai dengan sekitar tahun 1950-an, kecepatan alih-guna lahan ini mungkin dapat dikatakan sebanding dengan perkembangan penduduk yang hidup dan tinggal di sekitarnya.

Alih-guna lahan dari hutan alam semakin cepat pada beberapa dasawarsa terahir ini. Perubahan pola hidup dari subsisten menjadi komersial mengakibatkan kebutuhan petani semakin beragam dan makin banyak jumlahnya. Kebutuhan lahan pertanian semakin luas karena hasil panen tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri tetapi juga untuk dijual. Hal ini mengakibatkan lahan hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan pertanian semakin luas. Kecepatan alih-guna lahan semakin tinggi karena adanya penebangan kayu untuk diperdagangkan. Namun demikian, kecepatan alih- guna lahan yang sesungguhnya sulit ditentukan.

FAO (Food and Agriculture Organization) menaksir bahwa selama tahun 1980-an terjadi alih-guna lahan hutan seluas 15,4 juta ha/tahun di seluruh dunia (FAO 1993), dan yang paling cepat terjadi di Amerika Selatan yakni 6,2 juta ha/tahun. Kecepatan alih-guna lahan hutan di Brasil rata-rata 1,8 juta ha/tahun dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) sebesar 1,4 juta ha/tahun antara tahun 1970-1980an.

####Penyebab terjadinya alih-guna lahan

Penyebab terjadinya alih-guna lahan sangat beragam, tetapi salah satu pendorong terjadinya alih-guna lahan besar-besaran adalah alasan ekonomi. Beberapa ahli menyimpulkan dari sekian banyak faktor yang mendorong terjadinya alih-guna lahan hutan, ada dua hal yang dianggap menjadi penyebab utama yaitu:

####1. Tekanan penduduk dan faktor-faktor pendorongnya

Pada level petani kecil penebangan kayu atau hutan merupakan salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lainnya. Peningkatan jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap alih-guna lahan.

Fakta-fakta menunjukkan bahwa kejadian ini dipicu adanya kebutuhan kayu untuk diperdagangkan dan penebangan hutan secara komersial. Faktor-faktor lain yang mendorong antara lain kebutuhan lahan untuk peternakan (Brasil), adanya program pemukiman penduduk (transmigrasi di Indonesia dan kolonisasi di Amazon, Brasil), kegiatan pertambangan, pembangunan industri, pembangunan pembangkit listrik tenaga air, dsb.

Pembangunan jalan oleh perusahaan penebangan hutan memudahkan masyarakat sekitar hutan masuk ke dalam hutan untuk melakukan penebangan ikutan. Di Afrika, 75% dari alih-guna lahan oleh petani kecil adalah akibat terbukanya hutan setelah ada akses jalan masuk ke dalam.

####2. Tekanan hutang luar negeri

Persaingan ekonomi global menekan negara-negara miskin yang memerlukan dana besar untuk pembangunan dan pembayaran hutang. Pada level nasional, pemerintah menjual hak/konsesi menebang hutan agar memperoleh dana untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti pembiayaan proyek- proyek, pembayaran hutang, mengembangkan industri, dsb. Pemegang konsesi itulah yang kemudian melakukan penebangan kayu dan hutan secara besar-besaran tanpa diikuti oleh proses pemulihan secukupnya.

Penebangan komersial ini jelas mengakibatkan alih-guna lahan yang cepat dalam skala yang sangat luas. Adanya pasar bagi perdagangan kayu di satu sisi dan tekanan ekonomi di sisi lainnya sulit menghentikan proses penebangan hutan di berbagai kawasan dunia ini.