Mengapa terjadi agresivitas atau kekerasan pada wanita dalam rumah tangga?

Agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang disengaja maupun tidak disengaja namun memiliki maksud untuk menyakiti, menghancurkan atau merugikan orang lain untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi. Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang atau institusi terhadap orang atau institusi yang sejatinya disengaja.

Mengapa terjadi agresivitas atau kekerasan pada wanita?

Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk kekerasan berbasis gender yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).

Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya relasi atau hubungan yang tidak seimbangn antara perempaun dan laki-laki hal ini disebut ketimpangan atau ketidakadilan gender.

Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan

Banyak faktor yang dapat menjadi sebab berlakunya kekerasan terhadap wanita, antara lain:

Faktor internal korban


Kekerasan terhadap wanita dapat disebabkan oleh korban itu sendiri (internal factor) seperti:

  1. Sikap povokatif korban

    Sikap korban yang dengan sengaja maupun tidak membuat pelaku marah adalah salah satu sebab terjadinya kekerasan. Sikap tersebut seperti: pecemburu, suka ngomil, pengabaian pengurusan rumah tangga, penuntut, histerik, masokistik, suka menjawab balik, suka betengkar, melawan dengan kata-kata kasar.

  2. Kurang menghargai suami.

    Salah satu sebab mengapa suami ganas terhadap isteri ialah isteri kurang menghargai keluarga suami. Banyak kasus kekerasan disebabkan oleh isteri yang tidak menghargai suami bahkan mertua sendiri. Hal ini disebabkan korban berasal dari keluarga terpandang, kaya, pekerjaan, sukses, tidak melayani suami dengan sempurna.

  3. Ketergantungan

    Ketergantungan isteri membuat suami merasa berkuasa penuh, sehingga dapat melakukan apa saja termasuk kekerasan. Ketergantungan dapat disebabkan oleh rendahnya pendidikan, tidak memiliki keterampilan. untuk kuasa mendapatkan keadilan, tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan, tidak percaya diri bila berpisah, tidak kuasa memulai hidup baru, memelihara dan menanggung anak, dan takut terhadap kritikan masyarakat.

  4. Tidak mau melapor

    Banyak korban kekerasan tidak memahami bahwa apa yang mereka alami adalah kekerasan dalam rumah tangga, sehingga mereka memandang bahwa kekerasan yang mereka alami adalah masalah biasa, di samping korban merasa bersalah dan layak mendapatkan kekerasan. Padahal kesadaran korban untuk untuk melapor sangat diperlukan. Rika Saraswati (2006)mengatakan, faktor utama penyelesaian kasus kekerasan rumah tangga berasal dari diri korban itu sendiri. Korban harus sadar bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang berlaku pada dirinya merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat perempuan, bertentangan dengan undang-undang serta melanggar hak asas manusia.

    Women’s Aid Organization (WAO) mengatakan sebab korban tidak mau melapor seperti: menganggap perkara itu perkara kecil, malu, dianggap membuka aib keluarga, takut dipersalahkan, takut suami lebih ganas lagi, takut dicerai, tidak yakin aduannya direspon dengan baik, sukar membuktikan kekerasan yang dialami, takut suami dipenjara, ketidaktahuan korban mengenai prosedur penyampaian laporan, kurangnya kepedulian masyarakat, khawatir korban mengenai berlakunya ketidakharmonisan antara korban dengan pelaku, dengan keluarga pelaku, atau antara keluarga korban dengan keluarga pelaku, dan tidak adanya keyakinan dalam diri korban bahwa kasus kekerasan tersebut akan ditangani secara adil. Alasan lainnya seperti: merasa jiwanya terancam, takut tidak diberi nafkah, takut dianggap membongkar aib keluarga. Ditambah pula kebanyakan masyarakat yang menganggap kekerasan rumah tangga adalah sebagai masalah keluarga yang tabu diungkap kerap menyarankan ‘berdamai saja’ sebagai solusi untuk kasus seperti ini.

  5. Berpegang kepada tradisi atau adat

    Kuatnya tradisi atau adat yang diikuti dapat menjadi faktor pendorong terjadinya kekerasan seperti: korban percaya bahwa perkahwinan adalah suci dan oleh itu coba bertahan dalam menghadapi apa pun kekerasan yang dilakukan oleh suami, korban menganggap kekerasan adalah suatu takdir, anggapan bahwa wanita harus patuh kepada suami, sikap masyarakat yang tidak peduli terhadap masalah tetangga, serta menjadikan kedudukan wanita sebagai sabordinasi di ranah domestik.

Faktor eksternal korban


Selain daripada faktor internal korban, faktor eksteral korban juga boleh menjadi sebab berlakunya kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga, seperti:

  1. Sifat pribadi pelaku

    Sifat pribadi atau psikopatologi pelaku merupakan hal yang dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, seperti: jiwa terganggu, perasaan tertekan, kurang percaya diri, tidak berfikiran matang, muram, skizofrenia (penyakit mental), kemahiran berkomunikasi yang rendah, pecandu narkoba, peminta, selalu betul, pecemburu, dan sensitif.

  2. Tekanan hidup

    Tekanan hidup dapat menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga seperti: akibat konflik, beratnya penderitaan perkawinan, tidak mempunyai pekerjaaan, merasa lebih lemah daripada isteri, dan pernah melihat perbuatan kekerasan atau pernah dipukul pada masa kecil.

  3. Ketimpangan gender dan sosial

    Ketimpangan atau ketidakadilan gender tersebut terlihat dengan adanya perbedaan peran dan hak wanita dan lelaki di masyarakat yang menempatkan wanita dalam status lebih rendah dari lelaki. “Hak istimewa yang dimiliki lelaki ini seolah-olah menjadikan wanita sebagai “barang” milik lelaki yang berhak untuk diperlakukan sesuka hati, termasuk dengan kekerasan, termasuk pula dalam perkara ini bilamana perempuan dilihat sebagai obyek untuk dimiliki dan dipedagangkan oleh lelaki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya.

    Lelaki dianggap lebih utama daripada wanita, sehinggga status wanita dianggap lebih rendah dan kurang berharga berbanding lelaki. wanita merupakan soalan yang lumrah terjadi sebagai konsekuensi daripada struktur masyarakat yang lebih mementingkan atau didominasikan oleh lelaki.

    Sita Aripurnami (1999) mengatakan bahwa ketimpangan seperti ini akan menciptakan sebuah kondisi sosial dimana pihak berkuasa boleh menggunakan kekuasaannya secara berlebihan kepada pihak yang lemah. Wanita dianggap tidak berkuasa dan amat bergantung kepada suaminya dalam segala urusan, kurang pemahaman agama secara betul, Gellas RJ (1977) mengatakan bahwa status subordinasi wanita di kebanyakan masyarakat di dunia ini telah menyebabkan wanita sebagai korban kekerasan, terutamanya dalam konteks kekerasan rumah tangga.

  4. Masalah keuangan

    Masalah keuangan sering menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga, selain itu terlalu banyak menuntut ke kepada suami sedangkan suami tidak dapat memenuhinya.Dikatakan bahwa ramai isteri yang bertahan atau mahu menerima penganiayaan suami adalah mereka yang tidak mandiri di bidang ekonomi atau keuangan. Para isteri yang mandiri lebih beruntung nasibnya berbanding dengan mereka yang secara ekonomi bergantung kepada suami. Ni Nyoman (2008) juga mengatakan, ketidak mandirian isteri atau ketergantungan isteri isteri terhadap suami di bidang ekonomi juga boleh menjadi sebab kekerasan, walaupun tidak sepenuhnya demikian.

  5. Budaya paternalistik dan pemahaman budaya yang keliru.

    Budaya paternalistik yang menganggap kaum lelaki sebagai pemegang kekuasaan dipersepsikan sebagai struktur yang menempatkan wanita pada posisi subordinat dibandingkan dengan lelaki, yang dapat menimbulkan berbagai bentuk deskriminasi terhadap wanita. Banyak kasus kekerasan terhadap wanita lebih bersumber daripada ketimpangan kekuasaan antara wanita dengan lelaki. Lelaki dianggap pemberani, tegas dalam bertindak, sebaliknya wanita harus bersikap pasrah, mengalah, tugas pengasuhan, pelayanan, dan pendampingan suami dan anak-anak makin menempatkan wanita pada posisi yang lemah dan tidak penting bagi lelaki yang juga dapat menjadi sebab kekerasan terhadap wanita.

    Kuatnya budaya paternalistik menimbulkan pemahaman budaya yang keliru, di mana seorang isteri harus tunduk kepada suami. Hasil kajian yang dilaksanakan di Papua menunjukkan anggapan yang dominan bahwa tindak kekerasan terhadap wanita adalah persoalan keluarga dan adat-istiadat setempat yang proses penyelesaiannya cukup di tingkat keluarga dan adat. Selain itu pula, dalam kondisi umum dimana kekerasan boleh terjadi adalah sebagai reaksi kecemburuan sosial dan pemilikan, sebagai cara menegakkan kemahuan layanan domestik, sebagai cara membina atau mengekalkan kekuasaan lelaki, dan sebagai penunjuk kekuasaan lelaki serta keistimewaannya.

    Stigma sosial dalam masyarakat yang menganggap wanita sebagai orang yang tidak normal dan dipandang pembawa aib sehingga diperlakukan rendah dan berbeza dengan lelaki juga merupakan sebab timbulnya kekerasan terhadap wanita. Selain itu dalam pengembangan teori stigma sosial, wanita adalah salah satu kelompok yang rentan mendapatkan stigma.

  6. Kehadiran pihak lain

    Kehadiran pihak lain dapat menimbulkan cemburu. Bila cemburu berlebihan serta prasangka yang buruk dapat menjadi sebab kekerasan terhadap ister. Hal ini banyak terjadi pada wanita yang bekerja, karena mereka terpaksa berurusan dengan lelaki lain. Isteri-isteri yang melakukan hubungan luar nikah dengan lelaki lain. Isteri menunjukan minat kepada lelaki lain kerana ini membawa arti ancaman penarikan balik cinta secara fisik dan mental oleh seseorang isteri ke atas suaminya dan ini tidak dapat diterima oleh suami, suami akan berasa dirinya tidak mempunyai kawalan ke atas haknya dan berasa tidak selamat kerana kemungkinan pembelotan isteri. Oleh itu, suami akan memastikan bahwa isterinya akan meninggalkannya melalui kawalan ketat dan penganiayaan formal serta mental.

  7. Perselingkuhan.

    Ibnu Syakrani (2006) mengatakan bahwa selingkuh juga erat kaitannya dengan kekerasan dalam rumah tangga. Sebab ketika suami kedapatan tidak setia, kerana rongrongan “cinta buta” pada orang ketiga, tak segan bertindak apatis dan bahkan melakukan pemukulan kepada isterinya.

Faktor pendorong terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar atau lingkungan, tetapi dapat juga dipicu karena adanya faktor dari dalam diri pelaku sendiri.

Moerti Hadiati Soeroso (2010:76). Menurut sebuah lembaga bantuan hukum unruk perempuan dan keluarga, penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi 2 (dua) faktor yaitu:

  • Faktor internal
    Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan atau frustasi. Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Tidaklah mengherankan bila kekerasan biasanya bersifat turun temurun, sebab anak-anak akan belajar tentang bagaimana akan berhadapan dengan lingkungan dari orang tuanya.

    Apabila tindak kekerasan mewarnai kehidupan sebuah keluarga, kemungkinan besar anak-anak mereka akan mengalami hal yang sama setelah mereka menikah nanti. Hal ini disebabkan karena menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar atau mereka dianggap gagal kalau tidak mengulang pola kekerasan tersebut.

  • Faktor eksternal
    Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar diri si pelaku kekerasan. Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbukan frustasi misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, penyelewengan suami atau isteri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya.

    Faktor lingkungan lain seperti stereotipe bahwa laki-laki adalah tokoh yang dominan, tegar dan agresif. Adapun perempuan harus bertindak pasif, lemah lembut dan mengalah. Hal ini menyebabkan banyaknya kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami.

Moerti Hadiati Soeroso (2010) yang menyatakan bahwa tindak kekerasan dapat juga terjadi karena adanya beberapa faktor pemicu/pendorong yang diperoleh dari penelitian pada tahun 1999. Faktor pendorong terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut:

  1. Masalah keuangan
    Uang seringkali dapat menjadi pemicu timbulnya perselisihan di antara suami dan istri. Gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap bulan sering menimbulkan pertengkaran, apalagi kalau pencari nafkah yang utama adalah suami. Ditambah lagi adanya biaya hidup yang tinggi, memicu pertengkaran yang seringkali berakibat terjadinya tindak kekerasan.

  2. Cemburu
    Kecemburuan dapat juga merupakan salah satu timbulnya kesalahpahaman, perselisihan bahkan kekerasan.

  3. Masalah anak
    Salah satu pemicu terjdinya perselisihan antara suami istri adalah masalah anak. Perselisihan dapat semakin meruncing kalau terdapat perbedaan pola pendidikan terhadap anak antara suami istri. Hal ini dapat berlaku baik terhadap anak kandung maupun terhadap anak kandung maupun anak tiri atau anak angkat.

  4. Masalah orang tua
    Orang tua dari pihak istri maupun suami dapat menjadi pemicu pertengkaran dan menyebabkan keretakan hubungan di antara suami istri. Dalam penelitian diperoleh gambaran bahwa bagi orang tua yang selalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya, misalnya meliputi masalah keuangan, pendidikan anak atau pekerjaan, sering memicu pertengkaran yang berakhir dengan kekerasan. Apalagi hal ini bisa juga dipicu karena adanya perbedaan sikap terhadap masing-masing orang tua.

  5. Masalah saudara
    Seperti halnya orang tua, saudara yang tinggal dalam satu atap maupun tidak, dapat memicu keretakan hubungan dalam keluarga dan hubungan suami istri. Campur tangan saudara dalam kehidupan rumah tangga, perselingkuhan antara suami dengan saudara istri, menyebabkan terjadinya jurang pemisah atau menimbulkan semacam jarak antara suami dan istri. Kondisi seperti ini kadang kurang disadari oleh suami maupun istri. Kalau keadaan semacam ini dibiarkan tanpa adanya jalan keluar, akhirnya akan menimbulkan ketegangan dan pertengkaran-pertengkaran. Apalagi kalau disertai dengan kata-kata yang menyakitkan atau mejelek- jelekkan keluarga masing-masing. Paling sedikit akan menimbulkan kekerasan psikis.

  6. Masalah sopan santun
    Sopan santun seharusnya tetap dipelihara meskipun suami dan isteri sudah bertahun-tahun menikah. Suami dan istri berasal dari keluar dengan latar belakang yang berbeda. Untuk itu perlu adanyan upaya saling menyesuaikan diri, terutama dengan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari keluarga masing-masing. Kebiasaan lama yang mungkin tidak berkenaan di hati masing- masing pasangan harus dihilangkan. Antara suami dan istri harus saling menghormati dan saling penuh pengertian. Kalau hal ini diabaikan akibatnya dapat memicu kesalahpahaman yang memicu pertengkaran dan kekerasan psikis. Ada kemungkinan juga berakhir dengan kekerasan fisik.

  7. Masalah masa lalu
    Seharusnya sebelum melangsungkan pernikahan antara calon suami dan istri harus terbuka, masing-masing menceritakan atau memberitahukan masa lalunya. Keterbukaan ini merupakan upaya untuk mencegah salah satu pihak mengetahui riwayat masa lalu pasangan dari orang lain. Pada kenyataannya cerita yang diperoleh dari pihak ketiga sudah tidak realitas. Pertengkaran yang dipicu karena adanya cerita masa lalu masing-masing pihak berpotensi mendorong terjadinya perselisihan dan kekerasan.

  8. Masalah salah paham
    Suami dan istri ibarat dua kutub yang berbeda. Oleh karena itu usaha penyesuaian diri serta saling menghormati pedapat masing- masing pihak, perlu dipelihara. Karena kalau tidak akan timbul kesalahpahaman. Kondisi ini sering dipicu oleh hal-hal sepele, namun kalau dibiarkan terus tidak akan diperoleh titik temu. Kesalahpahaman yang tidak segera dicarikan jalan keluar atau segera diselesaikan akan menimbulkan pertengkaran dan dapat pula memicu kekerasan.

  9. Suami mau menang sendiri
    Dalam penelitian diperoleh gambaran bahwa masih terdapat suami yang merasa “lebih” dalam segala hal dibanding dengan istri. Oleh karena itu, suami menginginkan segala kehendaknya menjadi semacam perintah, dimana semua orang yang tinggal dalam rumah harus tunduk kepadanya. Dengan demikian kalau ada perlawanan dari istri atau penghuni rumah yang lain, maka akan timbul pertengkaran yang diikuti dengan timbulnya kekerasan.