Mengapa Sebagian Masyarakat Memandang Pelaku Self-injury Merupakan Ajang Mencari Perhatian?

self injury

Apakah remaja yang melakukan self-injury dikatakan sebagai seseorang yang haus akan perhatian dari orang lain? Benarkah tujuan dari aksi self-injury untuk mencari perhatian dari orang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul setelah seseorang melihat aksi self-injury dan beranggapan secara spontanitas, tanpa mencari alasannya terlebih dahulu. Esai ini akan mematahkan asumsi dari sebagian masyarakat Indonesia terhadap remaja yang melakukan self-injury .

Sebelum membahas lebih jauh, akan lebih baik jika kita memahami terlebih dahulu apa itu self-injury. Menurut penuturan Klonsky & Jenifer (Kurniawaty, 2012:14) Self-Injury adalah perilaku dimana seseorang sengaja melukai tubuhnya sendiri bukan bertujuan untuk bunuh diri melainkan hanya untuk melampiaskan emosi negatif yang menyakitkan. Aksi self-Injury hanya menyebabkan pembebasan yang tidak konsisten dan tidak dapat mengatasi akar permasalahan yang mereka hadapi, sehingga pelaku cenderung mengulangi aksi self-Injury. Oleh karena itu, seseorang mencari tahu alasannya terlebih dahulu agar mencegah terjadinya peningkatan pelaku aksi Self-injury.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan remaja melakukan aksi self-injury ini diantaranya mencari perhatian dari orang lain, gaya pengasuhan, konflik keluarga, korban pembullyan dan ketidakseimbangan hormon. Faktor remaja mencari perhatian orang lain melalui self-injury ini cenderung tidak mendominasi dan bersifat minoritas dalam kehidupan sehari-hari melainkan, faktor lainnya. Dengan demikian penulis akan memaparkan penjelasan lebih jauh mengenai mengapa faktor-faktor tersebut mendominasi remaja untuk melakukan aksi self-injury tersebut.

Remaja melakukan aksi Self-injury bisa terjadi karena adanya aturan yang diberikan keluarga kepada dirinya tanpa adanya kesepakatan dan sosialisasi. Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh penulis. Menurut observasi penulis, gaya pengasuhan otoritarian yang terlalu kuat dari orang tua dapat memunculkan sikap memberontak remaja dengan melakukan aksi self-injury. Sebagian remaja ada yang menerima dengan keputusan yang diambil oleh orang tua mereka karena tingkat kematangan kognitif yang dimilikinya terlampau stabil dan terkontrol tetapi, ada juga beberapa remaja yang berpikir bahwasannya keputusan yang diambil oleh orang tua mereka seakan-akan menganggap dirinya tidak diberikan kebebasan dalam hidupnya sehingga, memunculkan sikap memberontak dengan melakukan aksi self-injury ini. Dengan demikian, orang tua tidak menonjolkan sikap yang over terhadap gaya pengasuhan otoritarian yang mereka lakukan.

Menurut Laursen dkk. (1998; dikutip dari Papalia, 2012) konflik keluarga sering terjadi pada masa remaja awal dibandingkan masa remaja lainnya, tetapi paling kuat dalam masa remaja pertengahan. Konflik keluarga yang terjadi mengenai tugas di rumah ataupun di sekolah, uang, memilih teman atau disebut pergaulan, aturan yang ditetapkan di waktu-waktu tertentu, hasil ulangan maupun ujian di sekolah dan lainnya. Menurut pengalaman penulis, remaja yang mengalami konflik tersebut mampu memicu terjadinya stres yang mampu memicu melakukan perilaku yang beresiko terhadap nyawanya. Perilaku beresiko remaja terhadap nyawanya yaitu dengan melakukan percobaan bunuh diri, melukai dirinya dengan menggunakan benda tajam, melukai kepalanya dan sebagainya. Hal ini terjadi karena remaja merasa keluarga tidak ada yang mendengarkan argumentasi ataupun penjelasannya terlebih dahulu, merasa bahwa hanya ia yang menjadi target sasarannya, memberi tuntutan yang harus dicapai tetapi, ia tak mampu.

Di samping itu, konflik keluarga pada masa remaja awal berhubungan dengan tekanan pubertas dan kebutuhan untuk mendapatkan otonominya. Kemudian pada masa remaja pertengahan, mereka mencoba sedikit terjun ke dalam konflik keluarga yang merupakan cerminan stres emosi dalam dirinya. Adapun pada masa remaja akhir, mereka melakukan penyesuaian perubahan dan melakukan negosiasi ulang terhadap otonomi yang dimilikinya. Dengan demikian, konflik dengan keluarga merupakan waktu yang berat untuk memicu tejadinya stres dan dorongan untuk melakukan self-injury .

Adapun studi kasus (Kurniawaty, 2012:16-20)menyatakan self-injury yang disebabkan oleh faktor keluarga yang dialami oleh keluarga subjek (AL) dengan menggunakan metode penelitian kualitatif bentuk wawancara dan pengambilan sampel kasus tipikal. Hasil studi kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa subjek (AL) merupakan korban dari keluarga brokenhome karena semasa hidupnya sering melihat pertengkaran orang tuanya, merasa disalahkan oleh ayahnya, kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, hubungan dengan orang tua tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut membuat subjek sering kali menutupi diri dan memendam masalahnya sendiri. Dengan demikian konflik keluarga memicu subjek (AL) untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak terkontrol seperti melakukan self-injury .

Masa remaja merupakan masa dimana krisis mental yang labil terjadi khususnya pada masa remaja awal. Krisis mental berdampak besar pada suasana hati dan perilakunya, sehingga remaja mudah tersinggung, naik turunnya emosi dan lainnya. Ketidakseimbangan hormon merupakan penyebab utamanya. Adapun penelitian menurut Archibal (Nursanti, Tahap Perkembangan Psikososial Adolescence , 2020), hormon pada remaja dapat mempengaruhi naik turunnya emosi dan saat emosi dalam dirinya naik, mereka akan melakukan aksi Self-injury. Gejala awal ketidakseimbangan hormon yang dialami remaja yaitu stres menempatkan tekanan tambahan pada kelenjar adrenal yang mengatur hormon dalam tubuh.

Kelenjar adrenal menghasilkan sejumlah besar kortisol yang menurunkan produksi progesteron dan menyebabkan perubahan suasana hati pada remaja berjenis kelamin perempuan. Selain peran hormon progesteron yang dimiliki perempuan, adapula peran hormon remaja secara umum lainnya meliputi estrogeron, endorfin, oksitosin, serotonim, dopamin dan hormon lainnya (Puteri, Peran Hormon Terhadap Perkembangan Emosi Remaja, 2018).Adapun bentuk-bentuk emosi yang biasa terjadi pada remaja yaitu amarah, malu, kesedihan, ketakutan dan cinta. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa ketidakseimbangan hormon juga dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan aksi self-injury .

Pada masa remaja banyak ditemukannya kejadian yang tak lepas dari masalah pem bully -an di lingkungan rumah, sekolah, ataupun perguruan tinggi. Contoh pem bully -an yang mereka lakukan yaitu dengan mengejek nama korban, kemampuan yang dimiliki korban, ataupun fisik korban. Melakukan pem bully -an dengan fisik terhadap korban merupakan contoh paling mendominasi di kehidupan sehari-hari remaja atau disebut juga sebagai body-shaming . Korban dari pembully-an fisik ini akan menimbulkan tingkat stres dalam dirinya dan mendorong mereka untuk melakukan aksi self-injury . Jadi, saat memasuki masa remaja perlu diperhatikan adanya pembatasan dalam pergaulan terhadap remaja lainnya.

Sebagian remaja memiliki cara untuk mengontrol emosi dalam dirinya yaitu dengan mengeluarkan perilaku dan tanda-tanda jasmaninya ataupun menutupinya dengan melakukan hal lainnya. Hal ini berkaitan dengan display rules yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Maidah, 2013) meliputi tiga rules , yaitu masking , modulation dan simulation . Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi yang dialaminya dan tidak adanya gejala kejasmanian yang tampaknya menyebabkan rasa sedih tersebut. Pada modulation , remaja tidak dapat meredam secara tuntas mengenai kejasmaniannya, tetapi hanya dapat mengurangi saja. Sedangkan pada simulation , remaja tidak mengalami suatu emosi, tetapi ia seolah-olah merasa mengalami emosi dengan menampakkan gejala-gejala kejasmanian.

Remaja yang melakukan aksi self-injury dipastikan bahwa memiliki kepribadian introvert dan keterampilan masking yang cukup bagus. Mereka mampu menutupi emosi negatif dari orang lain dengan cara menyalurkannya kepada perilaku self injury tersebut. Mereka juga dapat memanipulasi ekspresi saat berbincang dengan orang lain secara langsung ataupun tatap muka. Jadi, self-injury merupakan perilaku yang sifatnya rahasia.

Dalam pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa persepsi spontanitas masyarakat Indoneisa terhadap remaja yang melakukan aksi self-injury tidak bertujuan untuk mencari perhatian orang lain, tetapi gejala stres yang cenderung mendominasi remaja untuk melakukan aksi self injury. Adapun gejala-gelaja stres yang dialami pada remaja untuk melakukan aksi self injury ini diantaranya karena gaya pengasuhan otoritarian, konflik keluarga, ketidakseimbangan hormon dan pem bully an. Selain itu, remaja yang melakukan aksi self-injury ini berkaitan dengan display rules yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Maidah, 2013) dan keterampilan masking yang cenderung mendominasi untuk menutupi aksi self-injury ini. Jika aksi self-injury terus terjadi di lingkungan, hendaknya kita mengatasinya dengan cara melakukan pendekatan secara tertutup dan bertahap. Tujuannya agar pelaku self-injury ini mengungkapkan keluhan yang dialaminya dan berbicara secara terbuka. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak salah lagi dalam menyimpulkan tujuan pelaku self-injury yang dilakukannya secara spontanitas dan mereka mecari terlebih dahulu alasan pelaku melakukan self-injury ini.

Referensi

  • Kurniawaty, R. (2012). DINAMIKA PSIKOLOGIS PELAKU SELF-INJURY. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi , 13-22.
  • Papalia, D. E. (2013). Human Development jilid 2 . Jakarta.
  • Nursanti, A. (Performer). (2020, Maret 12). Tahap Perkembangan Psikososial Adolescence. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.
  • Puteri. (2018, Desember 29). Peran Hormon Terhadap Perkembangan Emosi Remaja . Retrieved from kompasiana.com: Peran Hormon Terhadap Perkembangan Emosi Remaja (Puteri) - Kompasiana.com.
  • Maidah, D. (2013). SELF INJURY PADA MAHASISWA. Studi Kasus Pada Mahasiswa Pelaku Self Injury , 1-227.
4 Likes