Mengapa Rakuten perusahaan asal jepang hengkang dari Indonesia?

Rakuten adalah Toko Online yang didirikan oleh Rakuten,Inc Online Shopping Mall No 1 Jepang dan MNC Media Group No 1 Indonesia pada Juni 2011. Acara Grand Opening RAKUTEN BELANJA ONLINE dihadiri oleh Mr. Hiroshi Mikitani,CEO Rakuten,Inc dan Mr. Hary Tanoesoedibjo CEO MNC Group. Di Indonesia Rakuten dipimpin oleh Ryota Inaba sebagai Presiden Direktur & CEO. Di negeri asalnya, Rakuten berdiri sejak tahun 1997, saat itu tampilan web Rakuten sangat sederhana, hingga sekarang lebih dari 15 tahun berdiri, Rakuten Jepang telah memiliki lebih dari 60juta Produk dari 35ribu Merchant, Bahkan Polularitas Rakuten telah mengalahkan Amazon di Jepang.

Situs belanja online asal Jepang, Rakuten mengonfirmasi akan berhenti beroperasi di Indonesia mulai 1 Maret 2016. Informasi tersebut diposting oleh Rakuten di situs resminya pada Jumat (12/2/2016) sore. MENGAPA ? Padahal situs ini terbilang sukses di Indonesia dan sangat diminati karena harganya yang siap bersaing di pasaran Indonesia.

Menarik sekali yang dibahas oleh teman saya ini.

Seperti yang telah dilansir dan menurut laporan CBInsights, bahwa memang sebagian besar start-up gagal karena mereka gagal dalam melayani target mereka ataupun pasar yang ada. 42 persen dari 101 tulisan dari para founder start-up itu sendiri mangakui kebenarannya. Dan sementara itu ada 29 persen menyebutkan bahwa banyak dari perusahaan start-up kehabisan dana. Sisanya bervariasi mulai dari tim yang tidak tepat, produk yang buruk, tersingkir oleh pesaing yang lain, hingga gagal melakukan pivot.
Dan kenyataannya bahwa memang hal tersebut sering terjadi di Indonesia.

Disisi lain, Rakunten memang mengalami konflik internal dengan partnernya yaitu MNC Group. Hal tersebut menyebabkan secara bisnis mereka tidak mampu bersaing di kawasan Asia Tenggara melawan Lazada dan layanan lokal lainnya.

Jadi menurut saya memang kesalahan yang jelas terjadi di Rakunten adalah sisi internalnya yang tidak bisa mereka manage dengan baik. Karena mungkin apabila dari sisi keuangan mereka cukup mampu dengan terbuktinya mereka pun memiliki Rakunten University

Pahit memang. Namun, inilah langkah yang harus diambil Rakuten-MNC agar tidak terus membakar uang sejak meluncur lima tahun silam. Per 1 Maret 2016, situs berbelanja online atau e-commerce asal Jepang, Rakuten, resmi bakal tutup dan menghentikan operasinya di Indonesia. Pasalnya, kini pasar Rakuten benar-benar goyang. Tak hanya di Tanah Air, Rakuten pun segera hengkang dari Singapura dan Malaysia.

Ada apa dengan Rakuten?

Channel News Asia mengabarkan, hengkangnya Rakuten dari tiga negara terpenting di Asia Tenggara adalah imbas dari pergeseran yang terjadi di bisnis online, dari yang sebelumnya mengadopsi model business-to-business-to-customer (B2B2C), kini menjadi customer-to-customer (C2C) dengan fokus di mobile commerce (m-commerce). “Di Asia Tenggara, pasarnya telah berubah. Kami tengah melihat peluang di C2C dan model bisnisnya untuk e-commerce dan bisnis lainnya,” ujar juru bicara Rakuten.

Sementara itu, Japan Times melaporkan Rakuten kesulitan menghadapi kompetisi bisnis online yang sangat ketat di kawasan ASEAN. Tekanan dari pemain asing dan lokal sangat besar, agresif. Investasi ratusan juta dolar tak berhenti mengalir ke kas startup. “Rakuten kesulitan menghadapi kompetitor besar seperti Lazada dari Jerman. Rakuten tidak lagi melihat adanya potensi pertumbuhan yang lebih lanjut di kawasan itu,” tulis Japan Times.

“Tak Mampu Bertahan, Rakuten Indonesia Pastikan Gulung Tikar”

Berita ini memang cukup membuat saya terhenyak. Perusahaan sebesar Rakuten, yang telah berkembang di beberapa negara, akhirnya menutup penjualannya di Indonesia. Kita memang tak pernah tahu, dan tak pernah bisa menduga, perusahaan yang sudah mapan pun dapat kapan saja bangkrut.

Menurut saya, Rakuten kurang berhasil menyesuaikan diri dengan konsumen di Indonesia. Jika dibandingkan dengan lazada yang sama-sama merupakan perusahaan asing, Rakuten nampak lebih kekeh mempertahankan kesan dan prinsip bisnis ala negara asalnya. Inilah yang kemudian membuat kinerja penjualan Rakuten indonesia tak kunjung berbuah manis, bahkan tertinggal dari para pesaingnya.

Menjawab pernyataan dari sodara Isa pada kalimat “Rakuten nampak lebih kekeh mempertahankan kesan dan prinsip bisnis ala negara asalnya” menurut saya penjualan di rakuten tidak jauh beda dari e-commerce lain malah di rakuten kita dapat mendapatkan barang unik khas jepang yang biasanya apabila kita beli pada ecommerce lain kita perlu waktu lebih dari 1 bulan hingga barang datang.

Bisnis e-commerce di Indonesia mempunyai dua sisi yang unik, yaitu Penuh dengan peluang tetapi juga penuh dengan tantangan.

Banyak sekali perusahaan-perusahaan besar masuk kedalam bisnis e commerce di Indonesia, mengingat Indonesia mempunyai pasar yang sangat besar. Tetapi karena pasar yang sangat besar itulah, maka persaingan di bisnis ini menjadi sangat ketat.

E commerce dengan model C2C terlihat mendominasi pasar e commerce di Indonesia. Tetapi persaingan di area ini saat ini tidak hanya didominasi oleh perusahaan yang murni di e commerce, tetapi sudah diikuti oleh perusahaan IT di bidang yang lainnya.

Sebagai contoh, banyak penjual di Indonesia yang menggunakan sosial media (facebook dan instagram) sebagai sarana jual-beli mereka. Bahkan, ada beberapa yang menggunakan layanan GoFood sebagai sarana ecommerce, produk makanan tentunya.

Bagaimana dengan B2B2C. Persaingan di area ini jauh lebih ketat lagi, mengingat untuk masuk area ini membutuhkan investasi yang besar.

Mataharimall misalnya, membutuhkan investasi lebih dari 1,3 Triliun rupiah, yang didapat dari Mitsui & Co asal Jepang, untuk masuk ke pasar ecommerce di Indonesia, padahal seperti yang kita ketahui bersama, jaringan rantai suplai matahari sudah masuk ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Begitu juga dengan blibli.com, pada tahun 2015 menginvestasikan dana sebesar 1,4 Trilliun rupiah untuk mengembangkan usaha ecommerce-nya di Indonesia.

Begitu juga Amazon, ecommerce terbesar ke dua di Dunia, pada tahun 2012 kemari menginvestasikan dana sebesar 4,54 Milyar Dollar, atau sekitar 60,8 Trilliun Rupiah hanya untuk pengembangan teknologi.

Mengapa mereka ber-investas sebesar itu ? Karena kunci ecommerce model B2B2C adalah pada Manajemen Rantai Suplai mereka.

So, untuk masuk kedalam bidang ecommerce di Indonesia, dibutuhkan kreatifitaf dan inovasi yang luar biasa, dan dana yang besar juga tentunya.

Memang benar bahwa Rakuten tutup di 3 negara yang termasuk Indonesia selain Malaysia dan Singapura. namun untuk kedepannya Rakuten berencana memperkenalkan aplikasi marketplace berbasis mobile yang mengusung konsep consumer-to-consumer dengan nama Rakuma di Asia Tenggara.

Pengenalan Rakuma ke pasar Asia Tenggara akan menjadi tantangan tersendiri bagi Rakuten. Pasalnya sudah ada dua nama besar marketplace C2C di wilayah Asia Tenggara, yakni Carousell dan Shopee, dan kalau mereka baru akan masuk rasanya jelas terlambat.

Meski begitu, Rakuten Ventures juga merupakan salah satu penyandang dana di Carousell. Ini artinya Rakuten masih memiliki kemungkinan membuat penawaran untuk meminta Carousell bergabung dengan grup Rakuten.

Penutupan layanan ini tidak serta merta “mengubur” nama mereka di Asia. Markas regional mereka di Singapura akan tetap beroperasi, begitupun dengan bisnis mereka yang lain, seperti Rakuten Ventures dan Rakuten Travel.