Mengapa perceraian di masa pandemi banyak terjadi?

image

Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia. Di samping mempersatukan dua individu yang berbeda, perkawinan juga secara otomatis akan mengubah status keduanya. Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi pada kenyataannya, tidak semua orang dapat membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya perceraian, baik cerai mati, cerai talak, maupun cerai atas putusan hakim.

Tren angka perceraian setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama sejak masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Pada saat itu, angka putusan cerai gugat lebih tinggi dibanding cerai talak. Fenomena yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998 kembali terjadi pada masa pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19). Hal tersebut dapat dilihat dari data yang dilansir oleh suara.com, pada bulan Juni hingga Juli 2020, diketahui bahwa jumlah perceraian meningkat, di mana 80 persen kasus gugatan cerai yang masuk ke pengadilan agama diajukan oleh pihak istri.

Meningkatnya angka perceraian menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mencari solusi agar keutuhan keluarga tetap dapat terjaga di tengah pandemi. Apabila keutuhan keluarga tidak dapat dijaga maka keluarga tersebut akan sulit menghadapi tantangan di era sekarang dan akan datang.

So, gimana nih pendapatnya Youdics apakah perceraian ini disebabkan oleh istri atau suami? kira-kira kenapa ya hal tersebut bisa terjadi?

Source: Tristanto, A. 2020. PERCERAIAN DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF ILMU SOSIAL. Sosio Informa, 6(03): 292-304.

Pandemi merupakan suatu kondisi yang sangat sulit untuk dijalani karena sangat sangat berbeda dari kebiasaan hidup kita sehari-hari. wajib menggunakan masker, wajib cuci tangan, PHK dimana-mana, Pengeluaran yang menjadi leibih banyak dari sebelumnya, ataupun masalah lainya. pada masa awal pandemi Indonesia dilanda panic buying akan masker maupun starter pack pandemi lainnya. kondisi yang tidak biasa ini membuat orang kalang kabut untuk menyelamatkan diri ya walaupun kita tau bahwa maut ditangan tuhan.
perceraian bukan keputusan yang mudah untuk diambil. memisahkan kedua pihak yang pernah saling mencintai dan memiliki bukanlah keinginan dari setiap insan bahkan tuhan pun membencinya. banyaknya perceraian bisa terjadi karena masalah ekonomi yang tidak tercukupi seperti biasanya, bisa terjadi karena perselingkuhan, ataupuun kasus KDRT yang terjadi karena panik akan pandemi ini atau KDRT terjadi karena salah satu pihak yang tidak bisa menerima bahwa kebutuhannya tidak terpenuhi seperti biasanya.
tapi dibalik itu semua tingkat angka kelahiran di Indonesia juga meningkat dimasa pandemi. mungkin karena terlalu lama didalam rumah dan tidak mengerjakan hal yang banyak seperti biasanya dikantor sehingga menambah tingkat kebosanan dirumah.

Berikut adalah hasil survei yang dilakukan Komnas Perempuan terkait perubahan dinamika rumah tangga selama pandemi Covid-19. survei dilakukan terhadap 2.285 responden dengan kriteria didominasi perempuan berasal dari pulau Jawa berusia 31-50 tahun. Berlatar belakang pendidikan lulusan S1/sederajat, berumah tangga atau menikah, mempunyai anak, berpenghasilan Rp 2-5 juta per bulan, serta pekerja penuh di sektor formal.

Hasil survei menunjukan satu dari tiga responden melaporkan bertambahnya pekerjaan rumah tangga yang membuat dirinya stres sekitar 10,3%. Lalu 235 responden melaporkan bahwa hubungan mereka dengan pasangan semakin tegang. Pada perempuan lebih banyak mengalami semua jenis kekerasan dibandingkan dengan laki-laki. Selama pandemi Covid-19 secara umum kekerasan psikologis dan ekonomi lebih umum dirasakan oleh responden dibanding kekerasan lainnya. Di mana 15,3% atau 289 perempuan menjawab terkadang mengalami kekerasan psikologis.

Namun, belum ada data yang memastikan bahwa perceraian terjadi karena pandemi, karena perlu dikaji lebih lanjut. Sebagian besar suami tidak mengambil tanggung jawab untuk perawatan rumah, pengasuhan dan pendidikan anaknya. Pandemi Covid-19 juga berefek pada kondisi ekonomi masyarakatnya. Akibat ekonomi inilah yang menyebabkan istri atau suami tidak mendapatkan atau berkurangnya penghasilan yang mendorong pembatasan pemenuhan kebutuhan keluarga sehingga dapat menjadi pemicu pertengkaran atau kekerasan baik terhadap istri atau anak.

src

merdeka.com

Menurut saya penyebab perceraian pada masa pandemi COVID-19 terjadi karena pasangannya sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu di rumah dan tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangannya. Kemudian masalah keuangan, dimana penghasilan yang diteruma untuk memenuhi kebutuhan tidak cukup. Kemudian adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan seperti kekerasan dalam rumah tangga. Kemudian pasangannya sering berteriak atau mengeluarkan kata-kata kasar yang menyakitkan. Tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain. Ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasangan, seperti enggan atau sering menolak melakukan senggama dan tidak bisa memberikan kepuasan. Sering mabuk. Adanya keterlibatan atau campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangan. Sering muncul kecurigaan, kecemburuan dan ketidakcocokan dengan pasangannya. Berkurangnya perasaan cinta, sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan di antara pasangan. Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu menguasai.