Mengapa masyarakat Indonesia tidak suka berdiskusi?

Diskusi

Seperti yang kita ketahui bersama, baik di media sosial maupun media televisi, diskusi merupakan hal yang langka di masyarakat kita. Kita lebih suka ngobrol dibandingkan diskusi. Bahkan yang lebih parah lagi adalah, kita lebih suka debat kusir, dibandingkan diskusi yang membangun. Padahal jelas-jelas debat kusir banyak keburukannya dibandingkan kebaikannya.

2 Likes

Setuju, tentu dari kita cukup sering ya merasakan keresahan ini. Pas lagi scrolling media sosial terus kebaca komentar-komentar ko isinya negatif terus, nonton berita malah cape sendiri, punya ide-ide tapi ga tau mau nyampeinnya dimana, coba buka forum diskusi di grup chat ga ada yang bales, terus pas ngajak diskusi temen eh dibilang “serius amat”. Jadi bertanya-tanya kenapa ya ko orang indonesia tuh ga pada suka diskusi?

Padahal, di negara lain diskusi ini layaknya budaya. Melalui diskusi, kita juga bisa memunculkan ide-ide dan sudut pandang baru. Tentunya memperluas wawasan, memperdalam pemahaman, mengasah kognitif dan mempererat pertemanan ya. Ini akan mengarah pada solusi-solusi penyelesaian masalah. Kalau di konsep psikologi, namanya social constructivism. Pandangan ini melihat bahwa untuk membangun konsep atau pemahaman dari suatu hal, kita dapat mengkonstruksikan pengetahuan pada konteks sosial. Misalnya dengan diskusi sehingga setiap individu yang terlibat dapat menginternalisasikan pengetahuannya.

Nah, beberapa pandangan psikologis ini saya rasa akan membantu kita menganalisa kenapa sih orang indonesia minim diskusi.

Kapasitas Kognitif

Kalau kita lihat dari kognitif yang bertingkat dari bloom, ternyata diskusi ini memang memerlukan kapasitas kognitif yang oke loh. makanya, ternyata aktif dalam diskusi itu ilmu tingkat tinggi, yang menurut saya susah juga ya.

Mulai dari memiliki pengetahuan tentang topik yang dibahas. Punya latar belakang pendidikan ini juga bisa jadi salah satu alasan kenapa pada negara maju budaya diskusi lebih terlihat. Hal ini didukung dengan kualitas pendidikan yang lebih baik sehingga orang-orangnya punya landasan ilmu yang bagus juga. Kalau kita melakukan Focused Group Discussion (FGD) salah satu karakteristik pemilihan partisipan itu memiliki pengetahuan yang cukup tentang topik yang dibahas. Maka untuk membuat diskusi menjadi budaya, hal pertama yang perlu kita lakukan ternyata baca dulu. Simpen dulu wawasan yang luas itu di memory kita.

Tidak hanya menyimpan informasi, namun juga memahaminya . Karena diskusi adalah interaksi antara dua orang atau lebih maka perlu sepaham tentang topik yang didiskusikan. Sehingga ia bisa mengaplikasikan suatu ilmu pada konteks topik yang didiskusikan.

Dalam diskusi, seseorang juga menggunakan kapasitas kognitif seperti melakukan analisis yaitu dia memetakan secara terpisah sebenarnya ada komponen-komponen apa saja dalam topik ini yang bisa di eksplorasi, lalu ia berfikir kritis yaitu mencari sebenarnya komponen mana sih yang kurang tepat pada topik ini. Partisipan diskusi akan mengevaluasi dimana ia berdiri, menjaga keseimbangan kognitif yang ia miliki dengan terus bertanya dan menjawab.

Dan terakhir yang mungkin jadi sulit banget kita temukan adalah solusi. Karena untuk menemukan solusi seseorang harus punya cara berfikir kreatif untuk problem solving.

Perilaku

Dimulai dari adanya minat, ketertarikan, atau butuh terkait stimulus topik yang didiskusikan. Tapi, itu belum tentu itu merupakan dorongan itu cukup kuat untuk membuat orang mau berpendapat. Misalnya karna malu, ga PD, ga nyediain waktu untuk berpendapat.

Nah orang yang akhirnya merasa terpanggil untuk “ngomong ah” dalam diskusi itu setidaknya punya sikap asertif . Asertif disini adalah mengkomunikasikan apa yang dirasakan, diinginkan, dipikirkan namun dengan menjaga dan menghargai hak-hak dan perasaan orang lain. Karena dari definisinya aja asertif itu tidak hanya tentang mengkomunikasikan tapi juga tentang menghargai orang lain. Berikutnya, orang yang punya sikap asertif belum tentu punya pribadi yang asertif, apakah dia akan selalu asertif di setiap kondisi dan situasi? Karenanya, untuk menuju karakter, sikap asertif ini perlu menjadi kebiasaan asertif .

Misalnya, orang udah mau ngeluarin pendapat eh respon temennya malah negatif. Ini menjadi reinforcement yang membuat orang jadi males berpendapat. Akhirnya meskipun punya sikap asertif, belum tentu jadi kebiasan asertif yang ia lakukan di setiap kondisi.

Kondisi ini yang mungkin bisa menjelaskan anggapan-anggapan orang terkait “ini semua karena orang yang pintar memilih untuk diam”.

Interpersonal

Nah, karena diskusi itu adalah komunikasi timbal balik dua arah atau lebih, jadi tentunya budaya diskusi juga berkaitan dengan hubungan interpersonal yang sehat. Sesuai definisi asertif tadi, artinya kognitif aja ga cukup dalam diskusi, kita juga perlu melihat emosi diri sendiri dan orang lain, serta konteks/ setting/ media dimana komunikasi itu terjalin.

Dalam hubungan interpersonal antara satu orang dengan orang lainnya diawali dengan proses attraction dimana peserta diskusi akan menilai atribut psikologis yang dibawa oleh lawan bicara. Ini yang menyebabkan orang jadi ngerasa minder atau justru malah PD untuk berbicara. Atau merasa terpanggil untuk cocok nih ngobrol sama orang ini. Hingga akhirnya kita merasa percaya dan nyaman untuk terus saling berbagi ilmu dan berdiskusi.

Satu lagi yang menyebabkan orang memutuskan mau berdiskusi atau tidak adalah media diskusinya. Di Indonesia, ada ruang diskusi apa saja yang suportif sehingga orang mau aktif berdiskusi. Media-media tertentu mungkin memiliki noise tersendiri sehingga beberapa pesan jadi salah di persepsikan. Sesederhana proses komunikasi tentang sender – pesan (yang dipengaruhi media) – reciever. Ketiga hal tersebut yang dipertimbangkan akan menyebabkan hubungan interpersonal yang sehat sehingga suportif pada budaya diskusi.

4 Likes

Alasan utamanya adalah melakukan diskusi itu membutuhkan usaha yang lumayan besar, mengingat agar tercipta sebuah diskusi yang baik membutuhkan syarat-syarat tertentu. Bahasan ini dapat dibaca pada topik berikut Apa saja syarat-syarat sebuah diskusi dapat dikatakan sebagai diskusi yang baik?

Pesona diskusi menjadi pudar apabila dibandingkan dengan obrolan santai atau debat, mengingat kedua kegiatan tersebut merupakan hal yang ringan, bahkan, bagi sebagian orang, kegiatan tersebut cenderung menjurus ke arah hiburan.

Walaupun diskusi itu berat, manfaat yang didapat-pun sebanding dengan usaha yang Anda keluarkan. Manfaat diskusi dapat dibaca pada topik berikut Apa saja syarat-syarat sebuah diskusi dapat dikatakan sebagai diskusi yang baik? - #3 by Mita1414

No pain no gain, right ! :slight_smile:

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi ketidakminatan seseorang untuk melakukan diskusi dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut.

Internal : Faktor Kognitif


Seperti yang disampaikan oleh @fadillahrafika bahwa kognitif seseorang sangat mempengaruhi kesediaan dan kemampuan seseorang dalam melakukan diskusi.

Mindset kognitif

Teori mindset menunjukkan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh sekumpulan kepercayaan atau cara berpikir orang tersebut. Sehingga apabila seseorang mempunyai mindset bahwa diskusi itu melelahkan, tidak menyenangkan atau bahkan tidak berguna, maka kemungkinan besar orang tersebut tidak akan bersedia untuk berdiskusi.

Menurut Carol Dweck, mindset seseorang dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

  • Fix mindset, dimana seseorang sudah mempunyai pola pikir yang tetap. Ciri-ciri orang yang mempunyai fix mindset yang kuat adalah mereka mempunyai anggapan bahwa inteligensi, bakat dan sifat seseorang adalah hasil dari keturunan, bukan dari hasil usaha, sehingga orang-orang seperti ini biasanya suka menghindari adanya tantangan, mudah menyerah, menganggap usaha tidak ada gunanya dan mengabaikan kritik.

    Mereka akan mempunyai pendirian yang tetap, walaupun mereka tau bahwa pendirian mereka adalah salah. Diskusi akan sangat sulit dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai fix mindset.

  • Growth Mindset, dimana seseorang bersedia untuk merubah pola pikirnya untuk menjadi lebih baik. Mereka termotivasi untuk mencari cara dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka saat ini. Ciri-ciri seseorang dengan growth mindset antara lain ; Suka menerima tantangan dan bersungguh-sungguh dalam menjalankannya, tetap berpandangan ke depan walaupun mengalami kegagalan, positive thinking terhadap usaha yang dilakukannya, mau menerima kritik dan masukan dari orang lain dan menemukan pelajaran serta mendapatkan inspirasi dari pengalaman orang lain.

    Orang dengan growth mindset adalah orang suka belajar, sehingga orang-orang seperti ini akan sangat menyukai diskusi (sesuai dengan ciri-ciri pola pikirnya)

Ketika masyarakat Indonesia dirasakan tidak terlalu suka berdiskusi, menurut teori mindset diatas, menandakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mempunyai fixed mindset terkait dengan diskusi, dimana untuk merubah mindset atau pola pikir diperlukan usaha yang besar, baik dari diri pribadi, keluarga, lingkungan hingga sistem dan aturan (pemerintah).

Self efficacy

Menurut Bandura (1997), Self Efficacy adalah keyakinan bahwa kemampuan individu akan memengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu, dimana hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang harus dilakukan dan juga secara emosional mampu untuk melakukannya.

Ketika seseorang mempunyai efikasi yang tinggi, mereka cenderung aktif dalam mencari cara untuk mencapai kesuksesan dengan cara melakukan perencanaan, mempersiapkan dan terus berlatih. Salah satu cara yang baik untuk mempersiapkan diri dan berlatih adalah dengan berdiskusi.

Permasalahannya adalah, untuk mencapai efikasi diri yang tinggi bukanlah hal yang mudah, mengingat efikasi diri terdiri dari empat elemen, yaitu :

  • Kognitif, yang berguna untuk memikirkan cara yang terbaik dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

  • Motivasi, yang berguna untuk memotivasi diri, dengan cara merubah mindset, sehingga menghasilkan tindakan dan keputusan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

  • Afeksi, yang berguna untuk mengelola emosi yang mungkin timbul pada diri individu dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

  • Seleksi, yang berguna untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Oleh karena itu, mengajak orang berdiskusi bukanlah hal yang mudah, mengingat dari segi kognitif, mereka harus mengetahui cara-cara terbaik dalam mengembangkan diri, dimana diskusi adalah salah satu cara, lalu mereka harus mempunyai motivasi yang kuat, dimana mereka harus punya keyakinan bahwa diskusi adalah sebuah kebutuhan dalam proses mengembangkan diri. Selanjutnya mereka juga harus memiliki afeksi yang tinggi sehingga dapat melakukan diskusi dengan baik, tidak mudah terpancing emosinya ketika ada orang yang mempunyai perbedaan pandangan dengan dirinya.

Teori Ideomotor

Ideomotor terdiri dari dua kata yaitu “ideo” (ide, atau representasi mental ) dan “motor” (aksi otot). Teori ideomotor menekankan perlunya untuk menghubungkan tindakan motorik dengan niat yang dikonseptualisasikan untuk mencapai efek tertentu . Di sini, jelas, bahwa tindakan motorik dalam berdiskusi adalah berbicara (apabila diskusi verbal) atau menulis (apabila diskusi non verbal).

Berdasarkan teori ini, kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam diskusi tidak hanya tergantung pada pemahaman subjek dan interpretasi langsung terkait topik diskusi, tetapi juga pada kesigapan dalam mengakses kata-kata yang sesuai, baik dilakukan secara verbal maupun non verbal.

Selain itu, berdasarkan teori ini, Individu yang cenderung fokus pada tujuan eksternal yang ingin mereka capai, terbukti memiliki kinerja dan peningkatan yang lebih baik.

Pertanyaannya adalah, sudahkah kita memiliki tujuan eksternal ketika kita melakukan diskusi ?

Eksternal : Lingkungan


Walaupun lingkungan termasuk juga kedalam elemen efikasi diri, yaitu elemen seleksi, tetapi saya sengaja pisahkan karena, menurut saya, ini adalah faktor penentu yang utama, mengingat lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar.

Ketika kita berada didalam lingkungan yang tidak terbiasa untuk berdiskusi, maka akan sangat sulit untuk memulai diskusi. Ketika kita mengajak berdiskusi dengan merek, maka kita akan diabaikan, bahkan yang lebih parah, akan dianggap aneh. Hal ini adalah wajar, karena kebenaran biasanya sangat tergantung dari keyakinan atau pendapat mayoritas.

Selain itu, susahnya merubah suatu lingkungan, salah satu yang berbahaya adalah kita menjadi terpengaruh oleh lingkungan kita. Salah satu ketentuan yang menjadi keyakinan banyak orang adalah sebagai berikut

“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.”

Ketentuan diatas juga sudah dibuktikan oleh beberapa penelitian. Penelitian yang pertama adalah penelitian di bidang kesehatan yang dilakukan oleh Nicholas A. Christakis, M.D., Ph.D., M.P.H., dan James H. Fowler, Ph.D. dengan judul The Spread of Obesity in a Large Social Network over 32 Years. Penelitian ini merupakan salah satu penelitian yang terbesar, melibatkan 12.067 responden dan penelitian terlama, yang dilakukan sejak tahun 1971 hingga 2003.

Hasil dari penelitian mereka adalah jika Anda mempunyai teman yang gemuk, maka Anda memiliki peluang 45 persen lebih tinggi untuk menambah berat badan selama dua hingga empat tahun ke depan. Dan yang lebih mengejutkan lagi, penelitian tersebut menemukan bahwa jika temannya teman Anda adalah orang yang gemuk, kemungkinan berat badan Anda bertambah akan meningkat sekitar 20 persen, walaupun Anda tidak mengenal temannya teman Anda. Efek tersebut tidak berhenti sampai 2 level saja, tetapi bertambah satu level, yaitu nya berlanjut satu orang lagi keluar. temannya dari temannya teman Anda adalah orang yang memiliki obesitas, maka berat badan Anda bertamah akan meningkat sebesar 10 persen.

Christakis dan Fowler tidak hanya meneliti terkait dengan pengaruh peningkatan berat badan akibat lingkungan (teman), tetapi juga meneliti terkait dengan perilaku atau kebiasaan merokok. Penelitian mereka diberi judul, The Collective Dynamics of Smoking in a Large Social Network. Mereka menemukan bahwa apabila teman Anda merokok, maka kemungkinan Anda merokok akan meningkat sebesar 61 persen. Apabila temannya teman Adan yang merokok, maka kemungkinan akan meningkat sebesar 29 persen. Apabila temannya dari temannya teman Anda, maka kemungkinan akan meningkat sebesar 11 persen.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Christakis dan Fowler membahas terkait pengaruh teman terhadap kebahagiaan. Penelitian mereka diberi judul Dynamic spread of happiness in a large social network: longitudinal analysis over 20 years in the Framingham Heart Study. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa teman Anda yang bahagia dan tinggal dalam radius 1,6 km dari rumah Anda, akan meningkatkan kemungkinan Anda menjadi bahagia sebesar 25 persen. Temannya teman Ada yang bahagia akan meningkatkan kemungkinan Anda menjadi bahagia sekitar 10 persen. Sedangkan temannya dari temannya teman Anda yang bahagia akan meningkatkan kemungkinan Anda menjadi bahagia sekitar 6 persen.

Walaupun 6 persen terlihat kecil, tetapi terkait dengan kebahagiaan mempunyai nilai yang besar. Sebagai perbandingan,penelitian di Amerika menyebutkan bahwa kenaikan gaji sebesar $10,000 hanya hanya memicu sekitar 2 persen dari peningkatan kebahagiaan Anda.

Dari penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa teman mempunyai pengaruh yang sangat besar, dimana teman Anda mempunyai kontribusi yang besar atas keberhasilan Anda, begitu juga kegagalan Anda. Bagaimana dengan Anda ? Apakah teman Anda suka berdiskusi ?

Selain itu, media massa dan media sosial mempunyai pengaruh yang besar terkait dengan mindset seseorang. Pertanyaannya bagaimana media massa dan media sosial di Indonesia ? Apakah kedua media tersebut banyak diisi oleh diskusi atau hanya sekedar obrolan-obrolan atau bahkan menjurus ke debat kusir ? Teman-teman sendiri yang bisa menilai.

Sumber :

https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMsa066082
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMsa0706154

5 Likes

Izin memberi tanggapan singkat saja kakak-kakak dan teman-teman karena sudah lengkap dari pak @Aryadita terkait perspektif psikologi tentang diskusi.

Menurut saya sebenarnya masyarakat indonesia bukannya tidak suka berdiskusi tetapi menurut saya kurang paham arti diskusi itu sendiri sih kak, terutama di kalangan mahasiswa, jadi yang saya alami selama menjadi mahasiswa justru banyak niatan kami selaku mahasiswa untuk berdiskusi tentang permasalahan kuliah kami atau pun kepentingan yang lain, tetapi kami selaku mahasiswa justru membawa “diskusi” lebih kearah “debat” yang dimana seakan mencari pemenang dari percakapan tersebut dan menurut saya diskusi tidak mementingkan siapa yang menjadi pemenang tapi lebih mementingkan makna diskusi yang sebenarnya yaitu saling menghargai sudut pandang.

Jadi menurut saya masyarakat indonesia harus lebih mengerti apa arti dari diskusi dahulu sih kak sebelum memulai sebuah diskusi itu sendiri dan juga seharusnya ditanamkan sejak dini kak mengenai arti dari diskusi itu sendiri, begitu menurut saya :pray:

2 Likes

Setelah saya membaca diskusi yang sedang berlangsung di sini, saya mendapat beberapa pandangan dari komentar kak @fadillahrafika dan pak @aryadita, yaitu

  1. Hal pertama yang perlu kita lakukan ternyata baca dulu

    Menurut saya dari sini saja sudah masalah karena UNESCO menyebutkan Indonesia berada pada urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, yang berarti minat baca orang Indonesia masih sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.

    Sumber: http://www.konde.co/2020/03/minat-baca-orang-indonesia-paling.html

  2. Perilaku orang indonesia yang belum bisa menghargai pendapat

    Bisa dilihat pada salah satu acara pada stasiun televisi bagaimana para pejabat atau petinggi negara berdiskusi dan dikritisi mereka cenderung membuat pertahanan diri agar argumennya bernilai benar, bukannya menerima kritikan dan menanggulanginya

  3. Indonesia merasa diskusi bukanlah sebuah kebutuhan dalam proses pengembangan diri dikarenakan mayoritas masyarakat indonesia mempunyai fixed mindset

    Poin ini menurut saya berkesinambungan dengan poin 2

  4. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi seseorang

Menurut saya asal muasal kurangnya minat berdiskusi masyarakat indonesia ialah pada diri sendiri yang tidak ingin berdiskusi karena tidak merasa bahwa berdiskusi itu penting dan tidak memiliki tujuan tertentu. dari situlah muncul sebuah lingkungan yang memiliki pandangan bahwa diskusi itu tidak ada manfaatnya dan bukanlah suatu kebutuhan. dan saya juga setuju dengan pendapat dari @Yogi.Purnama . bahwa kita sendiri sebagai warga negara indonesia kurang mengerti arti dari diskusi itu apa. menurut saya juga faktor ekonomi dan kesenjangan pendidikan yang ada di indonesia ini juga dapat menjadi salah satu alasan mengapa warga indonesia tidak suka berdiskusi atau tidak mengerti arti dari berdiskusi

5 Likes

Kalau dari yang saya pernah pelajari dari sebuah program bootcamp, sebenarnya manusia itu punya kecenderungan tertarik pada sesuatu yang berdampak langsung pada dirinya. Kalau berkaca dari jangkar logika seperti itu kemungkinan minat individu untuk berdiskusi kurang karena hal yang didiskusikan bukanlah hal yang dekat dengan dirinya, atau mungkin hal tersebut dekat namun orang yang bersangkutan merasa hal tersebut tidak penting untuk didiskusikan.

Selanjutnya mau menanggapi pendapat kak @fadillahrafika terkait banyaknya berita berbingkai negatif, sebenarnya kepada rating yang dikejar oleh media, pada dasarnya sesuai apa yang saya pelajari di psikologi konsumen, individu cenderung lebih suka mencari sesuatu yang berbingkai negatif.

Lalu untuk tanggapan dari @Yogi.Purnama, kalau saya pribadi sebenarnya tidak masalah apabila diskusi harus berakhir menjadi debat panas, selama output dari hal tersebut adalah sesuatu yang konstruktif, dan sepengalaman saya apabila diskusi berjalan panas biasanya akan berjalan lama dan output pengambilan keputusan dari diskusi tersebut biasanya matang dan kita bisa memprediksi kekurangan, kelebihan, peluang dan ancama dari keputusan yang kita buat.

Kalau saya pribadi, sejujurnya saya cenderung menghindari diskusi apabila hal yang didiskusikan menurut saya tidak akan berkaitan dengan hidup saya dan masa depan saya. Namun apabila hal yang didiskusikan menurut saya menarik, saya berusaha untuk hadir dan mendengarkan tiap fakta dan pendapat yang keluar dalam forum tersebut, bahkan saya berharap ada diskusi yang hot sehingga muncul pendapat-pendapat yang dapat mencari sebuah kelemahan sistem untuk kemudian diperbaiki.

Berikut pandangan saya, apabila ada yang punya sudut pandang yang berbeda monggo ditanggapi, saya dengan senang hati menerima sudut pandang yang berbeda karena saya yakin masih ada kekurangan dalam sudut pandang saya, terimakasih

2 Likes

Tapi selama saya hidup, ga jarang juga sih ketemu orang yang intensi berdiskusinya lebih untuk menjatuhkan orang lain, jadinya ad hominemnya lebih kencang ketimbang konstruktifnya

1 Like

Izin menanggapi sedikit, menurut saya alasan mengapa masyarakat Indonesia itu sulit untuk diajak diskusi karena masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang masih kekurangan literasi dalam membaca seperti yang sudah ka @nabilarahmh jelaskan. Padahal di era saat ini sumber-sumber untuk literasi membaca yang dibutuhkan sudah banyak sekali dan sangat mudah untuk di akses salah.

Menurut Asociation of Education Cominication Technology (AECT) media merupakan setiap bentuk saluran yang dipakai dalam proses penyampaian ataupun penyaluran pesan. Tempat menjadi salah satu wadah literasi adalah perpustakaan, kelebihan perpustakaan itu buku-buku yang ada di perpustakaan adalah buku yang layak untuk dibaca yang berisi informasi yang objektif, nyata, dan efektif serta dapat menunjuang dunia pendidikan. Kekurangan perpustakaan, yaitu sifatnya monoton dengan buku-buku yang ada di dalamnya. Sehingga minim nya ilmu pengetahuan yang di dapat oleh maysrakat Indonesia yang membuat sulit untuk melakukan diskusi.

Dari contoh hal kecil saja di Indonesia ini masih banyak sekali yang mudah sekali termakan dengan berita hoax, bahkan data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Yang dimana menandakan bahwa malas dalam mencari literatur itu sudah menjadi budaya di dalam masyarakat Indonesia.

Kemudian ada juga dari faktor ego yang akan muncul saat tidak ada satu orang pun yang memberikan pembenaran atas apa yang dia lakukan, sementara karena gengsi yang terlalu besar sulit untuk mengakui kesalahan dan tetap berusaha mempertahankan pendapatnya (walaupun mungkin dia tau bahwa itu salah). Sehingga masyarakat Indonesia sulit untuk menerima masukan yang ujung akhirnya terjadi perdebatan bukan diskusi.

3 Likes

iya sih hal ini pernah saya alami, bahkan parahnya ketika akan mengambil keputusan akhir, ada kelompok yang anggotanya kurang sehingga membuat pengambilan keputusan tertunda sampai kelompok tersebut anggotanya lengkap kembali, nah hal ini membuat saya bingung apakah cuman karena formalitas membuat kami para audiens pada saat itu harus menunggu orang yang tidak tau apa - apa untuk pengambilan keputusan tentang permasalahan yang sedang kami bahas pada saat itu dan akhirnya diskusi tersebut berbubah menjadi debat.

Izin menyambung ya. :grin: :pray:t2:

Wah iya ini, saya setuju. Menurut saya sendiri yang berdasarkan pengalaman, memang lebih tepatnya bukan “masyarakat Indonesia tidak suka berdiskusi”, namun memang belum aware dengan kebutuhan diskusi. Seringkali saya perhatikan bahwa dalam perbincangan yang terjadi lebih dibawa ke arah debat, karena biasanya kita masih membawa emosi dan ingin bahwa apa yang kita sampaikan terlihat ‘menang’ daripada opini yang lain.

Sementara kalau menurut saya, menyambung dari apa yang telah dijelaskan oleh pak @Aryadita dan kak @nabilarahmh , jelas bahwa diskusi ini ada untuk berbagi perspektif tanpa menyudutkan opini.

Ditambah lagi diskusi ini bisa menjadi hal yang lebih berbobot, karena setiap hal yang disampaikan cenderung berdasarkan dari fakta keilmuan atau pengetahuan yang ada, atau setidaknya berdasarkan pengalaman yang memang pasti telah terjadi.

1 Like

Selamat malam kak, Saya ingin memberi pendapat Mengapa masyarakat Indonesia tidak suka berdiskusi? Menurut sudut pandang saya dan berdasarkan pengalaman saya kak.

Pertama orang Indonesia menganggap diskusi itu seperti memberikan pendapat antara satu dengan yang lain sedangkan masyarakat Indonesia lebih suka menerima pendapat orang lain daripada memberikan pendapatnya sendiri, masyarakat Indonesia sendiri masih takut memberikan pendapatnya karena masih ragu apakah pendapat tersebut kurang cocok atau dapat melukai lawan diskusinya. Masyarakat Indonesia sendiri lebih suka menerima mentah-mentah pendapat orang lain karena susah untuk diajak berfikir, cara untuk masyarakat Indonesia dapat memberikan pendapat menurut saya yaitu dengan mentrigger dia dengan sesuatu yang dia sukai.

Kedua masyarakat Indonesia lebih suka mendengarkan daripada berbicara ini dibuktikan dengan kegiatan di media sosial dimana terdapat postingan atau tontonan dan masyarakat indonesia hanya memberikan like kepada postingan dan tontonan tersebut, hanya sedikit yang memberikan komen terhadap suatu hal disini masalahnya adalah tingkat kepedulian masyarakat Indonesia terhadap suatu hal yang masih kecil apabila tingkat kepedulian sudah ditingkatkan maka orang indonesia mungkin bisa diajak untuk berdiskusi.

Ketiga Masyarakat Indonesia kurang tertarik dengan diskusi dengan mengetik kata-katanya yang ingin disampaikan ini karena orang Indonesia lebih suka berbicara daripada menulis dan membuat kesusahaan saat merangkai kata-kata yang cocok untuk disampaikan, untuk memperbaiki masalah ketiga ini mungkin bisa dengan dilaksanakan diskusi secara tatap muka ataupun online namun terdapat 1 orang sebagai notulensi dan nantinya hasil notulensi tersebut ditaruh di forum diskusi tersebut.

Sebelumnya mohon maaf jika tidak ada dasar teori yang mendasari di pendapat saya karena hanya berdasarkan asumsi saya saja kak. Terima Kasih kak

2 Likes

Menurut pendapat saya terdapat 3 hal yang menyebabkan kurangnya minat masyarakat indonesia untuk berdiskusi yakni :

  1. Rendahnya tingkat literasi di Indonesia
    Seperti kita ketahui dari data yang ditunjukkan oleh saudara @nabilarahmh bahwa tingkat literasi di indonesia sangatlah rendah. Namun yang kita perlu pahami bahwa Literasi berkaitan dengan kompetensi dalam berfikir ataupun memproses informasi. Sehingga bukan hanya sekedar keterampilan membaca. Seseorang dengan tingkat literasi tinggi, mempunyai kemampuan penalaran dan pemecahan masalah di berbagai bidang.

  2. Kebiasaan anak sejak dini seperti penggunaan gadget yang tidak tepat dan kurangnya pemecahan masalah.

    Berdasar survei The Asian Parent Indonesia berdasar studi yang dilakukan 98% anak di SEA sudah menggunakan gadget. Yang menjadi masalah adalah apabila penggunaan gadget tersebut kurang tepat, seperti bermain game yang berlebihan. Oleh karenanya menurut saya penting agar pengawasan anak lebih ditingkatkan dalam penggunaan gadget bukannya untuk mencari solusi dari sebuah masalah tapi justru hanya menonton video dan bermain game.

    Kemudian menurut saya juga sejak dini individu di Indonesia sudah selalu ditekankan dengan kompetisi sehingga cenderung untuk menjadi nomor 1 dengan cara apapun sehingga menyebabkan masyarakat indonesia kurang suka diskusi karena selalu merasa bahwa pendapatnya benar dan kurang menghargai pendapat orang lain. padahal apabila lebih diarahkan agar saling peduli satu sama lain bukan tidak mungkin anak akan terbiasa untuk berdiskusi sehingga mendapat insight lebih dan lebih menghargai pendapat. Bahkan bukan tidak mungkin juga akan menghasilkan sesuatu yang lebih daripada mengejar kompetisi individu

  3. Kurangnya praktek diskusi sejak dini
    Yang terakhir adalah kurangnya praktik diskusi sejak dini, sudah baiknya sejak dini anak lebih diarahkan untuk berdiskusi salah satunya dengan mengajak diskusi untuk keputusan anak tersebut.

    Misalkan anak mengalami pilihan-pilihan dalam hidup yang menentukan jalan hidupnya, orang tua dapat mencoba untuk berdiskusi dengan anak bagaimana yang baik untuk anak daripada menekankan dan menyuruh anak untuk mengikuti pilihan orang tua.

    Kemudian jika anak melakukan hal yang salah, alangkah lebih baik apabila orang tua tidak langsung menghukum tapi ajak anak mengobrol terlebih dahulu kenapa dia melakukan hal tersebut dan pembelaannya, kemudian orang tua dapat berpendapat kenapa hal tersebut salah.
    Mungkin intinya pada poin ke 3 ini adalah bahwa orang tua tidak selalu benar dan anak juga tidak selalu salah.

3 Likes

Permisi izin ikut nimbrung diskusinya ya :smile: :pray:

Jujur saja kata pertama yang muncul dari pikiran saya ketika berbicara tentang diskusi, adalah pengetahuan. Yaitu pentingnya untuk mengetahui tentang topik apa yang didiskusikan. Jadi kembali lagi ke pengetahuan Kognitif dari masing masing orang.

Seperti mengutip pernyataan @fadillahrafika diatas saya setuju bahwa diskusi memerlukan pengetahuan kognitif di dalamnnya. Sedangkan salah satu cara yang menurut saya kuno tapi masih menjadi opsi yang baik dalam menambah pengetahuan kognitif adalah dengan budaya literasi (membaca buku).

image

Berdasarkan infografis dari BEM FILKOM tentang minat literasi dan mengutip dari mba @nabilarahmh diatas pun dapat ditarik benang merah bahwa minat literasi di indonesia sangatlah rendah. Sehingga sudah wajar jika minat berdiskusi indonesia berbanding lurus dengan budaya literasinya

Ya, selanjutnya tentu faktor lingkungan seperti yang dikatakan pak @Aryadita adalah faktor utama dalam meningkatkan budaya diskusi. Simplenya adalah

Manusia dibentuk oleh lingkungannya

Opini saya adalah seharusnya diskusi ini dapat dijadikan medium untuk menambah ilmu pengetahuan dengan berpendapat sebebas bebasnya. Sehingga tidak perlu takut untuk melakukan diskusi meskipun memiliki pengetahuan yang minim dalam suatu topik disikusi.

4 Likes

Selamat pagi semua…
Izin untuk menanggapi :grin:

Seperti yang dijelaskan @nabilarahmh @fadillahrafika, menurut saya alasan mengapa masyarakat Indonesia tidak suka berdiskusi itu yang pertama karena rendahnya minat membaca, sehingga wawasan menjadi tidak berkembang dan pengetahuan yang dimilki menjadi terbatas. Seseorang akan merasa enggan atau malu untuk berdiskusi apabila mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai topik bahasan, sehingga mereka cenderung menghindar dari diskusi.

Saya setuju dengan pendapat pak @Aryadita dan @handhar, alasan lain mengapa orang malas berdiskusi mungkin dikarenakan lingkungannya. Menurut saya,ruang lingkup sosial pada era saat ini lebih mengarah ke nilai-nilai individualis, sehingga apabila topik diskusi tidak sesuai dengan kepentingan mereka, maka mereka enggan untuk saling bertukar pendapat. Mudahnya pencarian informasi juga membuat seseorang malas untuk berdiskusi, karena tingkat stress lebih rendah dan tidak membutuhkan waktu yang lama jika dibandingkan dengan diskusi.

Selain itu, orang malas berdiskusi mungkin karena mereka memiliki pengalaman yang tidak baik saat diskusi. Contohnya, terjadi perdebatan yang akhirnya mengarah kepada konflik personal, sehingga mereka merasa enggan untuk diskusi lagi.

Orang indonesia mungkin bkn tdk suka berdiskusi,tapi tdk tau cara diskusi yg baik dan benar.Jadi edukasi tentang diskusi yg baik dan benar perlu dilakukan,kelompok diskusi di desa-desa mungkin bisa dibuat

Sudut pandang saya cukup simple sebenarnya. Izin menambahkan terkait hal ini, ada contoh kasus sederhana dalam kelas ketika guru bertanya dan ada siswa yg menjawab dengan jawaban yg tidak tepat ini malah ditertawakan oleh teman sekelas. Pola perilaku seperti ini yg menyebabkan rendahnya tingkat percaya diri dalam mengemukakan pendapat. Padahal, dalam diskusi itu menurut saya bukan soal benar/salah, tapi baik/buruk.

Jadi intinya, menurut saya adalah pola perilaku masyarakatnya yg harus diubah terlebih dahulu dan ini PR yg sangat besar karena kalau sudah bicara perubahan perilaku manusia konteksnya sulit.

Disisi lain, mayoritas orang indonesia tidak suka berdiskusi karena dari sudut pandang penyair garda depan Indonesia, Taufiq Ismail dalam salah-satu tulisannya mengatakan orang Indonesia “luar biasa sedikit” membaca buku. Tak heran, industri rokok berhasil mengalahkan industri buku dengan telak karena orang Indonesia lebih suka membeli rokok daripada buku.

Menurut saya, ada beberapa penyebab mengapa orang Indonesia malas membaca buku dan tidak suka berdiskusi

  • Pertama , membaca buku bukan sebuah kegiatan yang instan yang hasilnya langsung dapat dinikmati. Membaca adalah sebuah proses yang harus dinikmati. Perlu kesabaran dalam membaca. Kadang hasil bacaan kita terhadap sebuah buku akan kita rasakan bertahun-tahun sesudahnya. Sedangkan orang Indonesia lebih suka sesuatu yang menghasilkan entah itu uang atau apapun dengan cepat

  • Kedua orang Indonesia punya jiwa sosial yang tinggi. Manusia Indonesia adalah makhluk sosial yang sangat bergantung kepada lingkungannya

  • Ketiga sistem pendidikan Indonesia tidak mewajibkan siswa-siswi untuk membaca buku.

  • Keempat , orang Indonesia lebih suka berbudaya lisan. Bicara lebih praktis, lebih cepat, dan lebih mengena ketimbang membaca atau menulis. Kadang untuk bicara tidak harus berpikir. Acara-acara talkshow , diskusi, debat, bertebaran di stasiun-stasiun televisi Indonesia membuktikan bahwa sebagian besar orang Indonesia masih berbudaya oral.

  • Kelima , membaca adalah pekerjaan elit. Pandangan ini agaknya tertanam dalam alam bawah sadar orang Indonesia.

Oleh karena itu, Indonesia tengah mengalami krisis literasi atau darurat literasi membaca yang tak lain adalah para generasi penerus bangsa.

Hal ini menyebabkan, kurangnya ilmu dan wawasan terhadap pola pikir masyarakat indonesia di sebabkan darurat membaca sehingga menyebabkan orang indonesia tidak suka berdiskusi untuk meningkatkan pengembangan diri