Mengapa kita sering tertawa di atas penderitaan orang lain?

tertawa

Tawa adalah ekspresi suara, atau merupakan pencerminan keriangan atau kebahagiaan, atau dalam perasaan dari keceriaan dan tekanan (tawa dalam perasaan).

Tetapi kita malah sering tertawa ketika melihat orang lain menderita. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Sudah menjadi hal yang lumrah jika kita tertawa bila kita bahagia, dan menangis ketika sedih. Namun hal tersebut tak selalu mutlak, layaknya warna hitam dan putih. Beberapa acara televisi di Indonesia mengumbar berbagai humor ‘slapstick’ yang mungkin menyakiti mereka, namun kita justru tertawa melihatnya.

Dari sini muncul pertanyaan besar. Meski selera humor setiap individu berbeda-beda, mengapa secara umum kita tertawa di atas penderitaan orang lain?

Hal ini akan dijawab dari beberapa sudut pandang. Dilansir dari Medical Daily, menurut Dr. William Fry, seorang psikolog dari Standford University, kita akan tertawa jika ada sebuah peristiwa nyata yang ada dalam konteks tidak serius, atau hal tersebut dapat menyebabkan reaksi psikologis yang tidak lumrah. Sederhananya, jika kita melihat seseorang yang jatuh dari gedung berlantai 20, hal tersebut sangat menyedihkan. Namun jika melihat seseorang jatuh tersandung di jalan, hal tersebut justru lucu. Semua tergantung bagaimana otak kita membingkai kejadian dalam konteks. Tentu tersandung di jalan adalah hal yang memalukan.

Dari sudut pandang lain, kita tertawa melihat seseorang jatuh, karena hal tersebut merupakan suatu hal yang ganjil. Hal ini membuat kita tertawa pada hal yang ambigu, tidak mungkin secara logika, atau sekedar tidak sesuai dengan keadaan. Sebagai contoh, banyak sekali komedian yang membuat materi komedi dari kekurangan dirinya, seperti hidung yang besar, atau badan yang pendek.

Namun pernyataan berbeda datang dari sisi filosofis. Seorang filsuf bernama Henri Bergson, mempunyai teori bahwa masyarakat secara tak sadar melatih seseorang untuk tertawa pada hal yang ceroboh ataupun aneh, karena ini adalah sebuah aturan tak tertulis dari masyarakat. Sehingga, tawa justru adalah pengingat bagi kita untuk berbuat tidak ceroboh, agar tidak memalukan dan ditertawakan oleh masyarakat. Atau dengan kata lain, jika tidak ingin ditertawakan, jadilah ‘normal.’

Teori dari Bergson juga sedikit bersinggungan dengan teori dari Thomas Hobbes yang juga seorang filsuf. Hobbes menyatakan bahwa tawa muncul dari perasaan superioritas. Dengan kata lain, Hobbes berpendapat bahwa pecahnya tawa seseorang itu diakibatkan dirinya merasa ‘lebih baik secara tiba-tiba’ daripada orang yang dia tertawakan.

Dari sisi kedokteran, hal ini pun bisa dijelaskan. Reaksi tawa kita terhadap seseorang yang menderita, bisa jadi adalah akibat salah satu syaraf yang ada di otak. Jika kita melihat seseorang jatuh tersandung, salah satu syaraf akan membuat efek ‘cermin’ yang membuat kita membayangkan hal tersebut terjadi di otak kita dan memancing kita untuk tertawa.

Berbeda lagi jika hal ini ditelaah dari sisi psikologis, di mana semakin jauh sebuah peristiwa secara psikologis dengan hal yang bersifat ‘jahat,’ makin seseorang kencang untuk tertawa. Dalam studi di tahun 2010, Psikolog dari University of Colorado menjelaskan bahwa melihat seseorang menderita, akan menjadi lucu jika kita tak merasakan empati. Jika kita melihat film komedi, di mana sang aktor tertimpa sial, kita akan tetap tertawa melihatnya. Akan sangat berbeda jika kita melihat sendiri kesialan yang menimpa orang terdekat kita.

Sederhananya, makin dekat kita dengan seseorang makin besar peluang ancaman dan perasaan tidak aman yang kita rasakan, sehingga tawa tak akan semudah itu muncul dari mulut kita. Tawa dari dalam hati, mungkin, namun tidak di mulut.

References

Pertanyaan Sederhana yang Kita Tak Tau Jawabannya, Tapi Sains Tau! | KASKUS