Mengapa Kebebasan Pers di Indonesia masih Dinilai buruk oleh Dunia?

Indonesia pada tahun 2017 berada pada peringkat 124 dari 180 negara yang diteliti oleh Reporters Without Borders dalam laporannya yang berjudul 2017 World Press Freedom Index.

Pada Tahun 2016, Indonesia berada pada peringkat 130 dan pada tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 138.

Bagaimana pendapat anda terkait hasil penelitian dari Reporters Without Borders tersebut ?

Salah satu fungsi dari pers itu sendiri adalah sebagai pengawas (surveillance) dimana pers, dapat berperan sebagai pilar keempat demokrasi di samping legislatif, eksekutif, dan yudikatif memegang peranan penting dalam berjalannya kehidupan bernegara.

Pers berperan untuk menjaga keseimbangan antara pilar-pilar penyelenggaraan negara, serta menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang telah mereka mandatkan pada para penyelenggara negara.

Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah fenomena konglomerasi media, dimana fenomena ini bukanlah menjadi sebuah keuntungan dalam peran pers itu sendiri.

Kekhawatiran utama yang muncul adalah terjadinya monopoli arus informasi oleh suatu kelompok. Akibatnya, kepentingan kelompok tersebut akan terlindungi, sementara kepentingan kelompok lain yang berlawanan akan terabaikan.

Pemilik media mempunyai kuasa yang cukup besar untuk mempengaruhi agenda publik, termasuk urusan politik dan pemerintahan, melalui liputan berita yang disajikan kepada khalayak Menurut Crachiolo dan Smith, menyebut para konglomerat media (internasional) tersebut sebagai the worldwide press cartel.

Belum lagi bila memasukkan aspek tuntutan pasar dan hasrat pencarian keuntungan melalui industri media, yang makin mengalihkan fungsi pers sebagai public watchdog, dan membawanya semata-mata pada fungsi entertainment.

Menurut Gillian Dayle, masyarakat mengharapkan dan membutuhkan keberagaman dan pluralitas isi dam sumber media. Pluralitas yang dimaksud di sini, bahkan secara spesifik disebutkan sebagai diversity of ownership dan diversity of output.

Memang tidak ada jaminan bahwa keberadaan media-media dalam kepemilikan berbeda dapat menjamin keberagaman sudut pandang. Namun dengan menghindari konglomerasi media, setidaknya telah menyediakan fondasi yang tepat bagi terselenggaranya keberagaman sudut pandang media. Bahkan jika kita mengambil asumsi media tidak bebas nilai dan cenderung membela kepentingan pemilik, selama masing-masing media berada di bawah kepemilikan pihak-pihak yang berbeda, maka dapat tersaji sudut pandang yang berbeda pula.

Mengapa Kebebasan pers di Indonesia masih dinilai buruk ? Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah fenomena konglomerasi media yang terjadi di Indonesia.

Isu konglomerasi media di dunia bukanlah suatu hal baru. Bahkan sejak dekade 60-an, Donna Allen telah mgnangkat dan mencoba memperingatkan dunia akan bahaya dari konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan media (Ross dalam Allan [ed], 2005).

Jika melihat dalam jangkauan komunikasi internasional, tahun 2003 sumber berita pada media elektronik yang paling berpengaruh di seluruh dunia dikuasai oleh lima perusahaan saja (AOL Time Warner, Disney, General Electric, News Corporation, dan Viacom). Sementara saluran televisi satelit sepenuhnya dikuasai dua perusahaan, Echostar dan News Corporation (DirectTV).

Kepemilikan perusahaan surat kabar dan stasiun televisi terus menurun dari 1.500 pada tahun 1970-an ke angka 600, dan masih terus mengarah menuju penurunan sebanyak 50% (BoydBarrett dalam Allan [ed], 2005).

Bagaimana dengan Indonesia ?

Menurut Nugroho, Y., Putri, DA., Laksmi,S., pada penelitiannya tahun 2012, industri media nasional dikuasai oleh 12 kelompok media besar. Kelompok-kelompok tersebut di antaranya Kelompok Kompas Gramedia (yang selain memiliki surat kabar berskala nasional baru saja mendirikan KompasTV, 12 penyiaran radio, 89 perusahaan media cetak), MNC Group (tiga kanal televisi nasional, 20 jaringan televisi lokal, 22 jaringan radio), Grup Jawa Pos (171 perusahaan media cetak dan beberapa kanal televisi lokal), dan Visi Media Asia (dua televisi nasional, satu portal berita online).

Masyarakat di Indonesia saat ini sudah banyak yang dapat menilai bahwa khusus untuk berita-berita nasional, media massa sendiri, baik elektronik, online maupun cetak sudah ikut “berpolitik”, sehingga fungsi media sebagai pengawas atau surveillance menjadi terganggu. Alih-alih sebagai pengawas, media sendiri sudah menjadi kelompok politik tertentu.

Hal tersebut yang membuat masyarakat menjad bertanya-tanya, “Apakah berita yang disampaikan ini bebas dari tujuan politik tertentu atau tidak”