Mengapa Islam melarang pernikahan sedarah ?

Pernikahan sedarah

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ (QS. an-Nisa: 23)

Mengapa Islam melarang pernikahan sedarah ?

Larangan nikah dengan wanita-wanita sedarah,maupun yang dilarang, mengandung tujuan yang jelas, yaitu agar ruang lingkup kasih sayang manusia bertambah meluas. Selain itu, bertujuan juga membiasakan kaum pria agar pandangannya terhadap wanita didasarkan rasa cinta kasih sayang yang tidak dirusak oleh rangsangan nafsu seksual, serta membiasakan kaum pria mengenal perasaan lain yang bukan perasaan jantan dan betina sebagaimana yang ada di alam hewani.

Adapun cinta kasih antara pria dan wanita yang timbul dari hubungan kekerabatan tidak semestinya dicampuradukkan dengan perasaan cinta kasih yang timbul dari hubungan seksual, yang kadang-kadang bisa mengakibatkan renggangnya hubungan suami istri. Pengertian itu lebih dibenarkan lagi karena larangan yang dimaksud oleh syari’at tidak sebagaimana yang berlaku di kalangan kabilah-kabilah atau suku-suku bangsa Arab. Mereka ini mengharuskan kaum prianya menikah dengan wanita lain bukan dari kaum kerabatnya sendiri. Inilah sistem perkawinan yang dalam ilmu sosial dikenal dengan nama ‘eksogami’.

Larangan perkawinan antara pria dan wanita sedarah keturunan sudah berlaku sejak zaman purba. Keadaan ini terdapat dalam adat istiadat kabilah, dalam hukum agama dan oleh berbagai macam kepercayaan. Akan tetapi prinsip menjaga kerukunan kerabat secara ‘moril’ yang terkandung di dalam larangan tersebut. Itulah sesungguhnya yang memperluas ruang lingkup cinta kasih di antara dua jenis kelamin, dan mengeluarkannya dari lingkaran kebiasaan lama yang hanya bertujuan memenuhi nafsu jasmani, atau untuk melestarikan keturunan semata-mata.

Hubungan antara pria dan wanita menurut hukum Qur’an, tidak terbatas pada hubungan jasmani atau hubungan dua jenis kelamin semata-mata. Di dalamnya juga terdapat hubungan yang mencakup semua rasa kemanusiaan yang belum banyak dikenal oleh hukum yang ada di kalangan manusia terdahulu dan manusia zaman sekarang.

Karena itu, layaknya kalau hukum perkawinan dalam Qur’an mengajarkan tata krama cinta kasih kepada umat manusia dalam hubungan pria dan wanita. Hubungan itu bukan semata-mata hubungan asal keturunan, bukan pula hubungan seksual dan sekedar wadah untuk melahirkan keturunan. Sebab, hubungan-hubungan seperti itu tidak termasuk di dalam ikatan hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan yang sesungguhnya.

Islam sangat memperhatikan konsekuensi dari ikatan darah berupa penghormatan dan pemuliaan, maka Islam mengharamkan kaum laki-laki menikahi kaum kerabat yang sangat dekat. Yang demikian itu guna menghilangkan kesulitan, dan menjadikan kehidupan di dalam lingkungan satu keluarga berjalan dengan mudah tanpa menemui kesulitan.