Mengapa hasil sebuah MVP bukanlah berupa produk?

Terdapat beberapa pernyataan, bahwa sebuah MVP bukanlah hanya terfokus pada hasilnya, yaitu sebuah produk. Mengapa demikian?, lalu jika bukan sebuah produk maka hal apa yang tepat sebagai hasil dari MVP tersebut

Minimum Viable Product atau yang biasa disebut dengan MVP. Merupakan bagian dari sebuah proses product development, dimana ketika kita hendak membuat sebuah produk, alangkah lebih baiknya jika proses ini kita libatkan di dalamnya.


Namun, tidak sedikit masyarakat yang memiliki pendapat yang salah tentang MVP itu sendiri, MVP dianggap sebagai suatu produk jadi yang langsung dapat digunakan oleh user setelah MVP tersebut dikenalkan di lingkungan.

Tidak hanya customer saja yang beranggapan bahwa MVP itu adalah sebuah produk jadi, banyak startup diluar sana yang memiliki pemahaman yang salah sehingga produk yang mereka ciptakan tidak sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.

Menurut CB Insight, sudah terdapat 100 startup yang gagal karena hanya terfokus dengan pembuatan produknya itu sendiri selama berbulan – bulan dan tahunan waktu yang mereka habiskan. Kesalahannya adalah mereka tidak mencoba menemukan kesalahan apa yang mungkin terjadi berdasarkan kebutuhan pasar atau bisa disebut “no market need” dan hanya berasumsi bahwa customer akan memiliki ketertarikan dengan produk yang lebih dullu muncul di pasar” yang kenyataannya bukanlah demikian.

Pengertian dari MVP itu sendiri secara ringkas adalah konsep dari bagaimana sebuah produk nantinya akan di release dan ditetapkan sebagai suatu produk yang jadi (sudah fix) tanpa adanya perubahan yang signifikan. Proses yang ada dalam MVP ini terdapat seperti konsep perubahan, penentuan feature – feature apa yang harus dimasukkan dan tidak dalam MVP itu nantinya.


Sehingga, MVP lebih tepat dikatakan sebagai sebuah proses yang dilakukan terus menerus dan berulang kali untuk mendapatkan riskiest assumption dan menemukan kemungkinan – kemungkinan yang lain sehingga dapat menjadi bahan koreksi kita untuk lebih baik kedepannya. Hal yang dapat dilakukan agar mendapatkan feedback dari customer sendiri adalah dengan memperkenalkan atau memberikan gambar produk itu nantinya seperti apa, seperti diwujudkan dalam bentuk prototype.

Dari pengertian diatas dapat digaris bawahi, bahwa MVP bukanlah sebuah produk yang didalamnya terdapat fungsionalitas sebuah produk yang lengkap ataupun sebagai cara cepat suatu produk dapat release terlebih dahulu (diperkenalkan pada customer),

You know that old saw about a plane flying from California to Hawaii being off course 99% of the time— but constantly correcting? The same is true of successful startups—except they may start out heading toward Alaska.” —-Evan Williams

Ketika menerapkan sebuah MVP, hendaknya selalu tanyakan “What is your riskiest assumption?” berulang kali pada customer anda ketika mereka mencoba MVP yang anda tawarkan, hal ini agar lebih mengetahui problem apa yang mereka hadapi ketika menggunakannya, sehingga dengan ini akan lebih mudah bagi kita sebagai develop mencarikan solusi terkait permasalahan tersebut.


Kesimpulan :

Seperti apa yang dikatakan oleh Evan William di atas bahwa jika kita mengasumsikan bahwa MVP adalah produk jadi, hal itu adalah salah besar, sudah jelas dari pengertian MVP itu sendiri
“minimum” : bahwa hanya sedikit saja fungsionalitas dari produk yang akan kita buat dijelaskan dalam mvp ini, dimana hanya untuk membantu developer menjelaskan kepada user terkait produk itu nantinya serta
mengidentifikasi kebutuhan apa saja dan kesalahan apa yang masih ada dalam sebuah produk, dan mencoba untuk mendapatkan feedback customer bagaimana produk yang mereka inginkan sebenarnya, MVP juga dapat digunakan sebagai penilaian apakah produk kita nantinya akan diterima dengan baik oleh customer.

sumber :

Why an MVP Must Be a Product & Not Just a Test | 280 Group 1/