Mengapa Generasi Muda Rentan stress dan Depresi?


v **
MENGAPA GENERASI MUDA RENTAN STRES DAN DEPRESI

Sehat menurut World Health Organization ( WHO ) adalah a state of complete physical , mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity ( WHO, 2001 ). WHO memberikan pengertian tentang sehat sebagai suatu keadan fisik, mental, dan sosial yang lengkap sejahtera tidak semata-mata karena tidak adanya penyakit atau kelemahan. Definisi ini semakin menjelaskan bahwa kesehatan mental merupakan bagian dari kesehatan. Kesehatan mental juga sangat berhubungan dengan kesehatan fisik dan perilaku. WHO lalu memberikan pengertian tentang kesehatan mental sebagai:

A State of well-being in which the individual realizes his or her own abilities, can cope with normal stresses of life, can work productively and fruitfully, and is able to make a contribution to his or her community ( WHO, 2001 ).

Kesehatan mental merupakan kondisi dimana individu memiliki kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Mengutip dari jargon yang digunakan oleh WHO, “ there is no health without mental health” menandakan bahwa kesehatan mental perlu dipandang sebgai sesuatu yang penting sama seperti kesehatan fisik.

Kesehatan sering kali dipersepsikan sehat dari segi fisik saja. Padahal sehat juga berarti tentang kesehatan fisik maupun non fisik. Sayangnya, persoalan non fisik seperti kesehatan mental masih diangap tidak terlalu penting bagi sebagian orang. Padahal dapat kita lihat sekarang bahwa banyaknya orang yang mengalami gangguan mental. WHO menyebutkan, remaja alias generasi milenial saat ini lebih rentan terkena yang namanya gangguan mental. Terlebih pada zaman sekarang, perubahan pada gaya hidup yang marak terjadi di Indonesia sendiri seolah menjadi boomerang untuk generasi muda itu sendiri. Bagaimana tidak, masa muda merupakan waktu dimana banyak terjadi perubahan dan penyesuaian terjadi baik secara psikologis, emosional, maupun finansial.

Selain perubahan tersebut, adanya teknologi juga turut berkontribusi terhadap kesehatan mental generasi muda itu sendiri. Salah satunya adalah penggunaan media sosial. Media sosial seakan-akan menciptakan gaya hidup ideal yang sebenarnya tidak seindah kenyataan, seperti ingin mengikut tren terkini baik dari segi pakaian, gaya hidup, makanan dan sebagainya. Hal inilah yang menciptakan tekanan dan beban pikiran pada generasi muda.

Gangguan mental gejalanya tidak seperti penyakit fisik, seringkali terlambat disadari. Padahal. Indonesia sendiri jumlah penderitanya terbilang tidak sedikit. Setengah dari penyakit mental bermula sejak remaja, yakni di usia 14 tahun. Menurut WHO, banyak kasus yang tidak tertangani sehingga bunuh diri akibat depresi menjadi penyebab kematian tertinggi pada adak muda usia 15-29 tahun. Merujuk data hasil riset kesehatan ( Riskesdas) tahun 2008, prevalensi penderita skizofrenia atau psikologis sebesar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6%.

Mengapa generasi muda rentan stres?

Gangguan mental bisa bermula dari stress yang diabaikan. Oleh karena itu, stress harus ditanggulangi secara cepat. Stress bukanlah sesuatu yang akan hilang dengan sendirinya. Potter & Perry (2005) mengelompokkan stres menjadi 3 tingkatan, yaitu stres ringan, stres sedang, dan stres berat. Pada stres ringan biasanya tidak merusak aspek fisiologis, biasanya terjadi perubahan perilaku seperti cemas, was-was, dan khawatir. Pada stres tingkat sedang ini dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang, Perubahan perilaku pada remaja pada tingkat stres ini bisanya seperti cemas berlebihan, gangguan tidur, mulai melakukan perilaku menyimpang, merokok, bolos sekolah. Pada tingkat stres berat biasanya anak merusak aspek fisiologis, perubahan perilaku remaja pada tingkat stres ini seperti, menarik diri atau menyendiri, menyakiti diri sendiri seperti merokok berlebihan, menggunakan obat-obatan bahkan sampai pada bunuh diri. (Sundeen, dalam Potter & Perry, 2005).

Stres yang dialami remaja biasanya berkaitan dengan tuntutan akademis, tekanan untuk jadi berbakat dan sebagainya. Tapi, masalah terbesar yang dihadapi remaja masa kini adalah tuntuan kehidupran modern yang bermuara kepada tekanan dan beban mental. Banyak kasus depresi yang dilatarbelakangi oleh penggunaan media sosial. Karena sebagai remaja, kita rentan dengan tekanan teman sebaya. Semakin banyak waktu yang dihabiskan di dunia maya tersebut, maka semakin tinggi risiko remaja mengalami stress dan depresi.

Jika kamu hidup dengan masalah kesehatan mental, mudah untuk merasa sendirian. Terkadang tampaknya tidak ada orang yang tahu apa yang kamu alami, dan bantuan atau bahkan orang peduli padamu mustahil untuk ditemukan. Stres ujung-ujungnya akan menimbulkan depresi. Seperti yang pernah dikatakan oleh Scarlett Curtis:

“Depresi memberitahu kamu bahwa kamu sendirian dan kamu akan selalu sendirian. Depresi meyakinkan kamu bahwa pikiranmu adalah sebuah penjara dan membuatmu percaya bahwa untuk membawa seseorang kedalam hidupmu berarti kamu harus mengunci mereka bersamamu, jadi sepertinya lebih mudah untuk menyingkirkan seseorang dari hidupmu”.

Jadi remaja yang rentan stres menurut saya perlu mendapatkan dukungan lebih baik lagi seperti di dalam dunia pendidikan tadi, bahwa dengan adanya dukungan tersebut membuat remaja lebih senang dalam menjalankan aktivitasnya. Kemudian dalam menghadapi tuntunan zaman sekarang orang tua maupun teman sebayanya harus bisa memberikan arahan yang baik bagi remaja tersebut, agar kesehatan mental remaja tersebut tidak terganggu dan tidak akan menjadi depresi dan stress.

2 Likes