Mengapa era Minimum Viable Product dikatakan telah mati dan saatnya beralih ke Riskiest Assumption Test?

Mengapa era Minimum Viable Product dikatakan telah mati dan saatnya beralih ke Riskiest Assumption Test ?

Sering kali yang dimaksud MVP adalah versi perdana dari sebuah produk yang belum sempurna. Sehingga MVP jadi terlalu kompleks untuk digunakan sebagai alat uji coba. Developer biasanya kemudian membuat Minimum Valuable Product untuk mengatasi kekhawatiran akan kemungkinan hasil produk yang kurang baik. Namun hal ini akan menghabiskan terlalu banyak sumber daya untuk menguji asumsi yang berisiko tinggi, dan makin terlambat mendapat pelajaran dari konsumen yang sebenarnya.

Proses MVP gagal menjawab dua pertanyaan penting, yaitu apa yang di uji dan mengapa melakukan testing. Dibanding MVP, RAT lebih eksplisit. Kita tidak perlu membangun lebih dari apa yang dibutuhkan untuk mengetes risiko terbesar, tidak ada tuntutan akan desain dan kode program yang sempurna. Kunci proses RAT terletak pada tes yang kecil dan cepat. Apa eksperimen terkecil yang bisa kamu lakukan untuk mengetes asumsi terbesar? Seperti dipaparkan oleh Tom Chi, co-founder Google X, “Memaksimalkan pembelajaran dengan cara meminimalkan waktu yang diperlukan untuk mencoba hal baru.”

Era Minimum Viable Product (MVP) dikritik karena beberapa alasan, dan konsep Riskiest Assumption Test (RAT) dianggap sebagai pendekatan yang lebih efektif dalam menghadapi tantangan yang muncul selama pengembangan produk. MVP awalnya diperkenalkan untuk memungkinkan perusahaan menguji ide produk dengan biaya rendah sebelum berinvestasi secara penuh dalam pengembangan. Namun, beberapa kritik mengatakan bahwa pendekatan ini tidak selalu berhasil atau relevan dalam situasi tertentu.

Pertama, MVP sering kali diinterpretasikan secara berbeda oleh orang yang berbeda, dan banyak organisasi menggunakan definisi yang berbeda untuk menggambarkan apa yang merupakan produk yang layak secara minimal. Hal ini dapat menyebabkan ketidakjelasan dan kesalahpahaman dalam tim pengembangan produk.

Kedua, ada masalah dengan fokus MVP pada fungsionalitas dasar tanpa mempertimbangkan asumsi kritis yang mendasarinya. Pendekatan ini mungkin gagal mengidentifikasi risiko terbesar yang dapat menghambat kesuksesan produk di pasar. Riskiest Assumption Test, di sisi lain, menekankan pada pengujian asumsi yang paling berisiko untuk memastikan bahwa fondasi produk lebih kokoh.

Selanjutnya, MVP cenderung berfokus pada umpan balik pelanggan setelah peluncuran produk, yang bisa terlambat untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan. RAT, di sisi lain, mencoba untuk mengidentifikasi dan menguji asumsi kritis sejak awal, memungkinkan pengembang untuk membuat penyesuaian lebih cepat dan mengurangi risiko kegagalan.

Pentingnya RAT juga terletak pada fakta bahwa setiap produk memiliki asumsi kritis yang mendasarinya, seperti apakah pasar benar-benar memerlukan solusi yang diusulkan atau apakah strategi pemasaran yang diadopsi akan berhasil. Menguji asumsi-asumsi ini secara langsung dapat memberikan wawasan lebih dalam dan membantu perusahaan mengambil keputusan yang lebih terinformasi.

Meskipun demikian, tidak semua kritik terhadap MVP bersifat merugikan. Beberapa orang masih menganggapnya sebagai alat yang berguna dalam tahap awal pengembangan produk. Namun, menggabungkannya dengan RAT dapat meningkatkan kualitas pengujian dan meminimalkan risiko gagal.

Dalam kesimpulan, sementara era MVP tidak sepenuhnya “mati”, pendekatan Riskiest Assumption Test dianggap sebagai evolusi yang lebih canggih dan efektif. Menggabungkan konsep-konsep ini dapat membantu perusahaan mengidentifikasi risiko dengan lebih baik, meningkatkan adaptabilitas produk, dan meminimalkan kemungkinan kegagalan di pasar yang semakin kompetitif.