Mengapa bersentuhan fisik dengan yang bukan muhrim dilarang dalam islam ?

muhrim

Islam menjunjung tinggi kehormatan pria dan wanita. Islam sangat melindungi wanita. Bagaimana seharusnya wanita dan pria yang bukan muhrim diatur dengan jelas dan tegas dalam islam.

Ajaran agama islam itu meliputi semua aspek kehidupan. Tidak hanya perihal beribadah saja. Tapi juga hubungan dengan masyarakat, termasuk salah satunya hukum berjabat tangan. Pada dasarnya, berjabat tangan merupakan adab yang baik. Dengan berjabat tangan atau bersalaman, maka hubungan antar manusia akan semakin akrab. Berjabat tangan juga merupakan bentuk dari sikap saling menghormati. Aktivitas ini dipraktekkan pula oleh para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam.

Dalam hadis dijelaskan: “Apabila bertemu antara dua orang muslim kemudian kedua-duanya bersalaman serta memuji Allah kemudian kedua-duanya meminta ampun kepada Allah, maka Allah mengampunkan dosa kedua-duanya.” (HR. Abu Daud)

Meski berjabat tangan adalah akhlak terpuji. Namun ada batasan-batasan tertentu yang harus diikuti. Islam melarang keras laki-laki berjabat tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Persentuhan tangan antara laki-laki dan wanita bisa menjadi timbulnya syahwat. Bahkan akan berimbas pada kemaksiatan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita. (HR. Muttafaq ‘alaihi)

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah: 169).

Berjabat Tangan Bukan Muhrim Menurut Pandangan Ulama
Mayoritas ulama sepakat bahwa hukum berjabat tangan bukan muhrim adalah dosa atau dilarang dalam islam. Namun demikian, ada beberapa yang memberikan pengecualian-pengecualian tertentu.

Madzhab As-Syafi’i
Menurut ulama madzhab Syafi’i hukum berjabat tangan dengan yang bukan muhrim adalah haram. Tidak ada pengecualian. Baik berjabat tangan dengan orang muda ataupun tua, selama itu bukan muhrim maka tidak diperbolehkan. Menurut imam As-syafii, melakukan segala hal yang merangsang nafsu maka hukumnya haram. Baik itu melihat ataupun bersentuhan.

Namun demikian, apabila kondisinya benar-benar darurat (misalnya menolong wanita terluka di jalan, dokter memeriksa pasien atau sejenisnya) maka hukumnya menjadi mubah atau diperbolehkan.

Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawai, seorang ulama besar madzhab Syafi’i menjelaskan: “Sahabat kami berkata bahwa diharamkan untuk memandang dan menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah dewasa. Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian.”

Madzhab Maliki
Sebagaimana mazhab Syafi’i, Al-Maliki juga mengharamkan hukum berjabat tangan bukan muhrim tanpa adanya kain penghalang. Sekalipun ia merasa aman dari syahwat. Baik itu muda ataupun tua (sepuh) juga dilarang.

Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi juga melarang aktivitas berjabat tangan dengan non muhrim. Seperti dilansir di alkhoirot.net, Ibnu Najim mengatakan:

“Laki-laki tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan wanita walaupun aman dari syahwat karena itu diharamkan dan tidak adanya hal yang mendesak atau darurat.” (Al Bahr Ar-Raiq VIII/219).

Madzhab Hambali
Madzhab Hambali juga sepakat mengharamkan hukum saling memandang dan berjabat tangan antara wanita dan laki-laki yang bukan muhrim. Namun jika memandang seseorang yang sudah lanjut usia (tidak memiliki gairah nafsu lagi) maka diperbolehkan.

Dilansir dari muslim.or.id, dalam Majmu Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Haram hukumnya memandang wanita dan amrod (anak berusia baligh tampan yang tidak tumbuh jenggotnya) diiringi dengan syahwat. Barang siapa yang membolehkannya, maka ia telah menyelisihi Ijma (kesepakatan) kaum muslimin.”

Dalam kitab Al-Fusul dan Ar-Ri’ayah juga dijelaskan“Diperbolehkan berjabat tangan antara wanita dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki, laki-laki tua dengan wanita terhormat yang umurnya tidak muda lagi, karena jika masih muda diharamkan untuk menyentuhnya”.

Dalil-Dalil tentang Haramnya Hukum Berjabat Tangan Bukan Muhrim
Ada banyak dalil yang menjelaskan tentang hukum berjabat tangan bukan muhrim. Dan dalil-dali tersebut mengharamkan wanita bersalaman dengan laki-laki non muhrim.

Dari Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya salah seorang diantara kalian jika ditusuk dengan jarum dari besi , itu lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang bukan mahramnya” (HR. Thabrani- Baihaqi).

Dari ‘Urwah bin Az Zubair, bahwasahnya Aisyah radhiya radhiyyallahu ‘Anha berkata: “…Demi Allah, beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).

Dari Asma’ binti Yazid: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah melambai di pekarangan masjid pada suatu hari terdapat sekumpulan kaum perempuan sedang duduk di sisi masjid. Maka Rasulullah s.a.w. mengangkat tangannya sebagai tanda penghormatan dengan mengucapkan kalimat salam.’(HR. Tarmizi)

Hukum Berjabat Tangan dengan Wanita Tua yang Bukan Muhrim
Untuk hukum berjabat tangan dengan wanita tua (lanjut usia) yang bukan muhrim masih menuai perdebatan diantara ulama. Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, hukum berjabat tangan dengan wanita lanjut usia diperbolehkan. Dengan catatan, wanita tersebut sudah tampak tak memiliki syahwat (tidak memiliki gairah terhadap laki-laki). Sama halnya dengan berjabat tangan dengan anak-anak kecil tanpa syahwat juga tidak apa-apa.

Keringanan ini diberikan atas dasar riwayat dari Abu Bakar R.A yang pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua. Abdullah bin Zubair juga mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya. Maka, wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.

Pendapat diatas didasari atas firman Allah Ta’ala di Al-Quran yang menjelaskan bahwa wanita-wanita tua yang tidak memiliki gairah diberikan keringanan dalam hal berpakaian. Dan kita diharuskan berlaku sopan kepadanya.

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)

Sedangkan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berpendapat bahwa hukum berjabat tangan dengan non mahram tidak diperbolehkan. Baik itu dengan wanita muda atau waita tua serta menjabat tangan lelaki muda atau sudah tua. Tetap dilarang karena bisa memicu bahaya fitnah untuk setiap pihak.

Wanita-Wanita yang Termasuk Mahram (Muhrim)
Agar tak tersesat dalam perbuatan dosa (misalnya berjabat tangan dengan non mahramm), tentunya kita harus tahu siapa sajakah mahram kita.

Mahram adalah orang-orang yang masih memiliki hubungan darah dekat dengan kita. Baik dikarenakan adanya ikatan keturunan, pernikahan ataupun persusuan. Sehingga haram untuk dikawini. Diantara wanita-wanita yang termasuk mahram, yakni:

A. Mahram dari keturunan (nasab)
Ibu kandung, nenek dan seterusnya ke atas.
Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya.
Saudara kandung perempuan (kakak atau adik).
Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas.
Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas.
Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah.
Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah.

B. Mahram dari pernikahan
Ibu mertua, ibunya (nenek) dan seterusnya ke atas.
Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas.
Istri anak (menantu), istri cucu dan seterusnya ke bawah.
Anak perempuan istri dari suami lain (anak tiri).
Cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib (anak lelaki istri dari suami lain).

C. Mahram dari sepersusuan
Wanita yang menyusui dan ibunya
Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
Istri lain dari suami dari wanita yang menyusui.