Mengapa Berita Hoax Mudah Menyebar?

Menyebarkan sebuah informasi kini bisa dilakukan lewat ujung jari. Sayangnya, tak semua orang bisa mengenali mana informasi atau berita yang benar atau bohong.

Menyebarkan sebuah informasi kini bisa dilakukan lewat ujung jari. Sayangnya, tak semua orang bisa mengenali mana informasi atau berita yang benar atau bohong (hoaks).

Dibandingkan berita yang berdasar fakta, informasi bohong dengan judul-judul yang bombastis memang dengan cepat menjadi viral. Harian The New York Times menyebutnya sebagai “virus digital”.

Keterbatasan rentang perhatian manusia ditambah dengan informasi yang sangat deras di media sosial dianggap menjadi penyebab hoax gampang menyebar.

Penelitian menyebutkan, seseorang cenderung melihat “bias informasi” dan hanya menaruh perhatian, serta menyebarkan informasi yang sesuai dengan kepercayaannya. Bahkan meski informasi tersebut palsu.

Penjelasan lain mengenai fenomena hoaks ini menyatakan bahwa banyak orang kurang peduli pada kredibilitas sumber berita. Apakah sebuah informasi berasal dari situs “abal-abal” atau yang memiliki kaidah jurnalistik.

Di lain pihak, saat mencari informasi online kita sering mendapatkannya dari teman. Karena kita cenderung percaya pada teman, saringan kognitif di otak kita menjadi lemah. Kita percaya begitu saja pada apa yang ia bagikan. Apalagi kalau teman tersebut selama ini kita kenal jujur maka kita merasa tak perlu memeriksa apakah informasi itu fakta atau palsu.

Ini sebabnya media sosial menjadi lahan yang subur untuk menyebarkan kabar bohong.

Bagaimana menurut anda ?

Sumber

(Lusia Kus Anna/Kompas.com)

1 Like

Faktor utama yang menyebabkan informasi palsu (hoax) mudah tersebar di Indonesia adalah karakter masyarakat Indonesia yang dinilai belum terbiasa berpendapat atau berdemokrasi secara sehat. Maraknya isu-isu berita hoax atau fake news merupakan ancaman global yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia, seringkali merupakan berita yang berisi fitnah dan berita bohong yang tersebar luas melalui perantaraan media sosial.

Sulit untuk meredam penyebaran berita bohong atau hoax yang disebarkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab tersebut. Setiap individu atau kelompok dapat dengan mudah menyebarkan berita yang tidak benar, dan penerima berita seringkali pula dinilai tidak kritis dalam mencerna pemberitaan apakah berita tersebut benar atau tidak.

Kemudian, faktor mempengaruhi terjadinya persebaran hoax yang cepat diantaranya yaitu ketidaktahuan masyarakat dalam menggunakan media sosial secara bijaksana. Dengan mengatasnamakan kebebasan para pengguna internet dan media sosial khususnya banyak netizen yang merasa mempunyai hak penuh terhadap akun pribadi miliknya. Mereka merasa sah-sah saja untuk menggunggah tulisan, gambar atau video apapun ke dalam akunnya. Meskipun terkadang mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka unggah tersebut bisa saja melanggar etika berkomunikasi dalam media sosial.

Faktor selanjutnya adalah adanya semacam euforia dalam menggunakan internet dan media sosial. Seperti kita ketahui sebelum adanya reformasi, masyarakat di Indonesia mengalami keterbatasan dalam mengekspresikan pendapat dan berdemokrasi. Tetapi, semenjak reformasi bergulir masyarakatpun seakan mendapat angin segar untuk secara lebih bebas menyatakan aspirasi dan pendapat-pendapat mereka terkait persoalan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, bahkan persoalan keseharian dalam kehidupan pribadi mereka.

Banyak masyarakat yang memang secara arif bisa menyampaikan aspirasi mereka melalu media sosial. Namun, tidak sedikit juga yang malah kebablasan dalam menyampaikan aspirasinya tanpa memperhatikan etika dan norma dalam berpendapat. Sekali lagi dengan mengatasnamakan kebebasan, membuat pengguna media sosial (netizen) sering lupa diri sehingga tidak mengindahkan perkara etika dan moral dalam berkomunikasi melalui media sosial.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong.atau tidak bersumber’. Dalam Oxford English dictionary, ‘hoaks’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Sayangnya, banyak netizen yang sebenarnya mendefinisikan ‘hoaks’ sebagai ‘berita
yang tidak saya sukai’.
‘Hoaks’ atau ‘fake news’ bukan sesuatu yang baru, dan sudah banyak beredar sejak Johannes
Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439. Sebelum zaman internet, ‘hoaks’ bahkan lebih
berbahaya dari sekarang karena sulit untuk diverifikasi.
Namun, Tidak semua informasi yang salah adalah hoaks. Untuk mengenal berbagai klasifikasinya secara lebih luas, kita perlu mengetahui ragam information disorder atau kekacauan informasi.
Dikutip dari remotivi.com MacDougall (1958) mendefinisikan hoaks sebagai “kepalsuan yang sengaja dibuat-dibuat untuk menyamarkan sebagai kebenaran”. Lalu terdapat terminologi lain yang harus kita ketahui dalam mengidentifikasi kekacauan informasi, yakni disinformasi, misinformasi, dan malinformasi.

Disinformasi adalah informasi yang salah, dan orang yang menyebarkannya mengetahui bahwa hal tersebut adalah salah. Lalu misinformasi merupakan informasi menyesatkan yang dibuat atau disebarluaskan tanpa maksud manipulatif atau jahat. Sementara malinformasi adalah informasi yang didasarkan pada kenyataan tapi digunakan untuk menimbulkan kerugian pada seseorang atau kelompok (Wardle & Derakhshan, 2018).

Merujuk pada definisi yang ada, pengertian hoaks lebih dekat dengan pengertian dari disinformasi. Kata kuncinya yakni kesengajaan dalam memfabrikasi atau memanipulasi informasi yang salah. Jadi, untuk mengidentifikasi masalah kekacauan informasi, kita perlu menggunakan dua kriteria, yakni kesalahan informasi dan intensi untuk membahayakan.

Untuk mengatasi penyebaran hoaks inintentuna dengan adanya kesadarn untuk memverifikasi suatu informasi. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan di Indonesia, pada tahun 2018 skor PISA Indonesia dalam membca yakni 371, dengan rata-rata OECD 487. Dari skor tersebut dapat diasumsikna bahwa masih minim sekali budaya membaca sebelum menyebarkan informasi.
Tak jarang jika banyak saya temui Komentar serampangab terkait headline suatu berita. Padahal belum membaca secara menyekuruh isi atau substansi dari suatu berita.
Latar belakang mengapa orang dapat dengan mudah mempercaya suatu berita yakni karena pikiran manusia yang irasional.
Daniel Kahnenman menjelaskan dalam bukunya “Thinking Fast and Slow” manusia memikiki dua sistem berpikir. Yang pertama adalah sistem berpikir satu yang cenderung responsif dan irasional, sistem berpikir satu inilah yang lebih banyak mendominasi, karena impuls nya lebih cepat dibanding sistem berpikir dua yang proses impulsnya lebih lambat. Namun, kelebihan dari sistem berpikir dua ini lebih rasional tetapi lebih lambat.
Manusia cenderung berpikir irasional karena selama hal tersebut tidak mengganggu kelangsungan hidupnya ia akan mengabaikannya. Itulah makanya berita dengan headline yang aneh-aneh disoroti ketimbang berita dengan headline apa adanya atau dalam bahasa perkontenannya click bait. Selain itu menurut Dokter Ryu Hassan seorang ahlo neurologi juga berpendapat bahwa otak manusia cenderung irasiona dan pada zaman dahulu manusia memepecayakan segala sesuatu kepada apa yang diyakini memiliki kekuatan atau disebut Authority Based Truth. Di mana kebenaran didasrakan pada otoritas, wajar saja jika Kahnemant mengatakan dalam bukunya bahwa manusia cenderung dominan untuk berpikIr irasional.
Tantangan kita sebagai manusia modern yakni membiasakan diri untuk beepikir rasional. Dan karena itulah gunanya pendidikan.
Sayangnya pendidikan di Indonesai cenderung dogmatis. Atau dapat dikatakan hanya memberi isi atau subtansi tanpa mengajarkan bagaimana mengolah isi tersebut. Untuk itu perlu adanya kurikulum yang mengajarkan bagaimana seharusnya berpikir yang rasional.
Terlepas dari kekurangan pada kualitas pendidikan, kita mesti sadar dengan banjirnya informasi perlu alat untuk mengolah informasi. Yakni cara berpikir yang saintifik, kritis dan skeptis.

New York Times menyebut berita-berita bohong yang kerap kali dibumbui dengan judul yang bombastis dan menarik perhatian ini sebagai “virus digital”. Yang menjadi masalah adalah, virus digital ini cenderung lebih mudah menjadi viral dan dipercaya oleh banyak orang. Penyebab dari mudahnya informasi bohong ini menyebar adalah karena terbatasnya perhatian manusia dan banyaknya informasi yang muncul di media sosial atau internet.

Dalam sebuah penelitian, disebutkan bahwa manusia cenderung mengalami bias informasi karena hanya memperhatikan atau menyebarkan informasi yang sesuai dengan yang ia percaya atau ia sukai meskipun informasi tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya. Tak hanya itu, kebanyakan orang, termasuk masyarakat tanah air, juga cenderung tidak mempedulikan kredibilitas dari sumber berita. Sebagai contoh, sebuah berita berawal dari sebuah situs yang tidak memiliki kaidah jurnalistik yang jelas namun tetap saja dipercaya sebagai sumber informasi yang kompeten.

Penyebab lain dari berita bohong mudah menyebar adalah karena mudahnya kita mendapatkan berita dari teman atau orang-orang yang kita kenal. Karena kita biasanya juga percaya dengan teman atau keluarga tersebut, maka otak kita tidak benar-benar menyaring informasi tersebut dan mudah untuk mempercayainya, apalagi jika teman tersebut dikenal sebagai pribadi baik-baik dan mudah dipercaya. Sayangnya, di era dimana sangat banyak informasi yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya ini, kita tidak bisa begitu saja mudah mempercayai isi berita yang direkomendasikan atau dibagikan oleh orang-orang yang kita kenal.

Hoax bisa dengan cepatnya menyebar salah satunya karena minat baca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Bahkan menurut data Unesco, minat baca masyarakat Indonesia ada di peringkat 60 dari 61 negara. Lebih banyak yang aktif di media sosial ketimbang membaca, sehingga tidak mengherankan kalau media sosial kita banyak diisi berita-berita hoax

hal ini karena karakter masyarakat Indonesia yang cenderung mudah percaya dan menelan segala informasi yang didapat bulat bulat tanpa mengecek kebenarannya. Serta diperparah dengan kepanikan tinggi serta ilmu cocokologi yang semakin memudahkan sebuah berita palsu mudah sekali menyebar di kalangan masyarakat. Ini tentunya berbahaya karena bisa menimbulkan kegaduhan serta pola pikir yang salah di masyarakat.

Berita hoax dapat mudah tersebar karena kebiasaan sebagian banyak orang yang hanya langsung menelan berita yang diterimanya, tanpa memperhatikan sumber bacaan. Disamping itu, berita hoax yang mudah tersebar juga terjadi karena minat baca masyarakat Indonesia yang sangat rendah dan lebih aktif di media sosial sehingga media sosial banyak diisi oleh berita-berita hoax. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan menurut Mastel (2017) dalam Juditha (2018), bahwa saluran yang banyak digunakan dalam penyebaran hoax adalah situs web sebesar 34,90%, aplikasi chatting (Whatsapp, Line, Telegram) sebesar 62,80%, dan melalui media sosial yang merupakan media terbanyak digunakan yaitu mencapai 92,40%.

Summary

https://media.neliti.com/media/publications/261723-hoax-communication-interactivity-in-soci-2ad5c1d9.pdf

1 Like