Mengapa Banyak Orang Meromantisasi Kota Yogyakarta?

Siapa yang tidak tau kota Yogyakarta? Yogyakarta selalu menjadi destinasi wisata setiap orang. Dari anak kecil hingga dewasa. Dibilang Jogja adalah kota yang ngangenin, dari jalanannya, suasananya, makanannya, dll. Bahkan ada lagunya, yang dinyanyikan oleh Adhitya Sofyan.

Kota Yogyakarta sama panasnya dengan kota-kota lain seperti Surabaya. Pun terkadang macetnya juga sama. Terdapat banyak copet juga, terutama di sekitaran wilayah pariwisata. Orang-orang di Jogja menyebutnya “klitih”. Selain itu ketimpangan sosial di Yogyakarta juga sangat terlihat, seperti kota-kota lain. Contohnya, kita bisa melihat bangunan megah kraton, dan di samping-sampingnya para pembecak dengan baju yang lusuh. Bahkan pernah ada berita, tukang becak yang sudah meninggal di depan pintu keraton yang tertahan jenazahnya karena tidak mampu membayar biaya penguburan.

Lalu apa yang membuat kota Yogyakarta begitu diromantisasi? Apa yang special dari Yogyakarta dibandingkan kota-kota lain? Apa yang membuat kalian jatuh cinta dengan kota ini?

Saya sebagai mahasiswa luar kota yang menghabiskan hampir 4 tahun di Yogyakarta, memiliki perasaan romantis dengan kota tersebut … seperti … bagaimana cara menjelaskannya ya? Ada rasa nyaman dan kangen saja pada kota Yogyakarta melebihi kota asal saya sendiri, namun perasaan seperti ini relatif dari individu ke individu, kita bisa skip bagian yang hanya jadi perkenalan ini.

Pertama saya ingin mengkritik beberapa paragraf di atas,

  1. Kalau boleh tahu penulisnya siapa ya?
  2. Untuk makanan artinya anda tidak keluar dari zona ‘perangkap turis’ dimana makanan memang mahal atau bisa lebih mahal di daerah yang sudah sangat komersil, seperti Jogja kota dan Jogja Utara. Jika kita berjalan-jalan ke tempat wisata lain yang tidak ‘mainstream’ kita bisa menemukan kuliner yang lebih spesial dan murah. Bahkan dalam kehidupan kos saya sehari-hari saya bisa makan kenyang hanya dengan Rp.10.000 saja, oleh kenapa itu saya tidak setuju jika makanan Yogyakarta dibilang tidak murah. Kenyataan bahwa anda bisa makan sampai 100rb di angkringan mungkin memang salah anda sepenuhnya. Pengalaman buruk dari satu individu menurut saya tidak adil jika dijadikan perwakilan tunggal dan satu-satunya tolak ukur penilaian untuk memulai diskusi ini.
  3. Untuk masalah kesenjangan ekonomi sayangnya memang merupakan masalah yang cukup parah di Yogyakarta, terutama penduduk usia lanjut yang hidup di perkampungan di sekitar Jogja kota dan tidak memiliki anak untuk merawat mereka, namun jika ingin menggunakan logika dimana spesialnya Yogyakarta bisa ditemukan di kota lain, kesenjangan sosial seperti ini juga bisa ditemukan di kota lain kok, bahkan lebih parah, seperti di Jakarta.

Saya jujur tidak suka dengan pembangunan argumen diskusi di post ini karena seakan mengajak orang berdiskusi menggunakan konteks setengah mata dari pengalaman personal sendiri yang buruk, tanpa mengetahui konteks keseluruhannya atau yang benar tanpa dukungan konkret selain opini pribadi.

Kedua, terlepas dari argumen di atas, saya ingin menjawab kenapa Yogyakarta sangat diromantisasi …

  1. Yogyakarta adalah pusat kebudayaan orang Jawa dimana budaya Jawa masih sangat kental di kehidupan sehari-hari penduduknya, menyebabkan suasana yang unik dan berkesan berbeda dari kota lainnya.

  2. Yogyakarta merupakan kota pelajar dengan banyaknya Universtitas, terutama UGM. Banyak generasi di Indonesia yang menghabiskan masa muda mereka di Yogyakarta sehingga romantisasi kota Yogyakarta merupakan hal yang banyak orang juga dapat rasakan.

  3. Alasan terakhir dan yang menurut saya paling penting adalah bahwa sumber pendapatan terbesar kota Yogyakarta datang dari kuliner dan turisme, sehingga penting bagi kota Yogyakarta untuk menjual keromantisannya, seperti Paris di Perancis misalnya. Romantisasi Yogyakarta merupakan hal yang disengaja.

Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan dari reply saya, terima kasih.

Terima kasih atas kritik dan sarannya, Kak @stylo. Menjawab pertanyaan kakak, siapa penulisnya merujuk ke saya sendiri yang berpengalaman selama kurang lebih berada 3 bulan menetap di sana.

Mengenai makanan, kakak sepenuhnya tidak salah. Karena saya berada di Jogja Kota dan saya merasakan beberapa kali saya makan di sana dimahalkan karena saya tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa.

Saya bisa menyimpulkan bahwa ogja diromantisasi biasanya dilakukan oleh orang yang punya pengalaman dinamis saat mereka merantau dan kuliah di Jogja. Sedangkan sayanya mungkin yang sedang sial saja ketika berada di sana sehingga tidak menemukan arti “romantis” yang anda maksud dan yang orang-orang maksud.

Benar, diskusi ini berdasrkan opini saya pribadi. Saya minta maaf apabila ada kesalahan saya dalam menulis diskusi ini dan membuat pembaca tergiring akan opini pribadi saya. Akan segera saya perbaiki, Kak. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Kalau menurut saya tidak masalah sih kak menambahkan opini pribadi. Lagipula kan yang penulisnya pertanyakan kan mengapa sih orang lain beranggapan demikian, sedangkan saya(penulis) tidak ?

Jujur saya pernah liburan beberapa minggu di jogja, dan saya sangat betah dan rindu untuk balik lagi kesana, padahal saya cuman beberapa minggu. Tapi berdasarkan statemen ini

Saya pikir ada benarnya juga, apa bedanya dengan kota-kota lain ? Khususnya dengan kota tempat saya tinggal.

Sebenarnya ini jadi catatan bagus juga. Selain supaya tidak terlena dengan kecintaan. Beberapa teman saya merasa bahwa saya mau tinggal dan kerja di jogja aja karena gini gini gini. Atau tinggal di bali aja karena gini gini gini. Padahal hampir semua kota sama aja.

Atau teman-teman saya yang dari pelosok desa juga ingin merantau ke kota bandung karena katanya enak dan sebagainya. Udah hidup disini, ga seperti yang dibayangkan.

Seperti pandangan ini juga saya baru tau loh, soalnya saya gak tinggal dan berkuliah disana. Sepertinya argumen yang cukup kuat untuk mengatakan mengapa orang meromantisasi kota Yogya.

Kalau saya sendiri selama liburan disana merasa sangat nyaman karena tidak seramai Bandung, dan cuacanya juga hangat. Cuman kayanya argumen saya tersebut tidak cukup kuat melawan fakta bahwa sama aja kaya kota lain.

Menurut saya yang pernah liburan ke jogja hanya beberapa hari saja dan saya rasakan wilayah wisata Yogyakarta khususnya malioboro dipenuhi denga orang yang berperilaku dan cara berkomunikasinya dengan baik. Akan tetapi, dalam hal meromantisisasi pada kota Yogyakarta saya belum bisa jawab mengenai hal tersebut. Sepertinya argumen yang saya berikan belum kuat dan sesuai untuk mengatakan mengapa orang lain meromantisasikan kota yogyakarta ini. Karena, saya liburan di jogja maupun di kota lain yang saya rasakan bisa membuat saya bahagia, melepas penat, dan menambah koleksi foto pastinya.

Kebetulan Yogyakarta adalah tempat tinggal nenek dan kakek saya. Hampir setiap tahun saya menyempatkan untuk mudik ke Yogyakarta, sehingga saya sudah sangat familiar dengan kota tersebut.

Saya setuju dengan argumen yang mengatakan bahwa banyak yang meromantisasi Jogja karena merupakan tempat kuliahnya dulu. Sebagaimana kita tahu masa kuliah adalah masa yang memiliki banyak kenangan, kan? Apalagi banyak mahasiswa Jogja yang merupakan perantau sehingga waktu kebersamaan dengan teman cenderung lebih banyak (karena tidak tinggal dengan orang tua).

Bagi saya pribadi, mengapa saya menyukai Yogyakarta adalah karena sentimen masa kecil. Tentu saja, karena itu serasa seperti kampung halaman, tempat kakek nenek saya. Saya merasa Jogja adalah kampung saya meskipun saya sendiri anak Bekasi asli.

Selain itu, setidaknya suasana disana lebih baik daripada di Bekasi dalam beberapa hal. Lalu lintas lebih lancar, tidak seperti macetnya Jabodetabek, Lingkungan lebih tertata, banyak tempat wisata dan ruang terbuka hijau, dan unsur budayanya masih begitu terasa.

Sebenarnya tidak hanya Yogyakarta saja yang diromantisasi. Kota-kota lain seperti Bandung, Bogor, Solo, Surabaya, Semarang dll juga punya romantisasi nya sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini disengaja agar bisa meningkatkan sektor pariwisata daerah.

Ya, saya setuju dengan pendapat kak @nichobisma dan pendapat kang @Deden_ImamBuchori . Romantisasi terjadi karena ada pengalaman sentimentil pribadi antara individu dengan sebuah kota.

Setiap kota memiliki kelebihannya sendiri-sendiri. Seperti kalau ingin menikmati pemandangan penuh dengan gedung-gedung pencakar langit, bisa pergi ke Jakarta, Surabaya atau kota-kota besar lainnya. Apabila ingin pergi ke pantai, Jogja bisa jadi salah satu kota referensinya begitu juga dengan kota Malang. Apabila ingin pergi ke tempat-tempat sejuk dengan pemandangan alam yang indah, bisa pergi ke Bali atau Bandung. Dan lain sebagainya.

1 Like