Mengapa Anjing Bisa Jadi Sahabat Manusia?


Anjing dikenal sebagai sahabat terbaik manusia, padahal kerabat dan nenek moyangnya, yakni serigala, dikenal sebagai hewan yang suka menyendiri.


Anjing dikenal sebagai sahabat terbaik manusia, padahal kerabat dan nenek moyangnya, yakni serigala, dikenal sebagai hewan yang suka menyendiri.

Anda pasti pernah mendengar ungkapan bahwa anjing adalah sahabat terbaik manusia. Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana anjing seperti Hachiko bisa begitu setia terhadap manusia? Padahal, saudara dan nenek moyang anjing, serigala, dikenal sebagai hewan yang suka menyendiri.

Sebuah studi yang dilakukan oleh ilmuwan hewan Monique Udell dari Oregon State University dan Bridgett vonHoldt, seorang ahli biologi evolusioner dari Universitas Princeton, menemukan jawabannya.

“Kita pernah menduga bahwa selama proses domestikasi, anjing mengembangkan kognisi sosial mutakhir yang tidak dimiliki serigala,” kata Udell seperti yang dikutip dari Science Alert 20 Juli 2017.

Namun, ternyata jawabannya berada pada tingkat genetik. Dalam studi tersebut, Udell dan vonHoldt menemukan kemiripan antara kromosom anjing dengan kromosom manusia yang memiliki sindrom Williams-Beuren.

Sindrom Williams-Beuren adalah kelainan perkembangan yang mempengaruhi fitur wajah manusia dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk kelainan jantung, kelainan pada otak, dan sistem saraf.

Salah satu tanda gejala psikologis sindrom ini adalah sikap hipersosial yang ditandai dengan tidak adanya penghambat sosial. Orang-orang yang memiliki kelainan ini akan bersikap ramah, meski terhadap orang asing, dan memiliki empati yang terlewat tinggi.

Sebelumnya, vonHoldt telah mengamati kesamaan antara varian gen yang bertanggung jawab terhadap sindrom tersebut pada manusia - disebut daerah kritis sindrom Williams-Beuren (WBSCR) - dan keberadaan mereka pada DNA anjing.

Untuk mengetahui varian yang sama juga menyebabkan sifat hipersosial pada anjing, Udell dan vonHoldt lalu menggunakan 18 anjing peliharaan dan 10 serigala yang bergaul dengan manusia. Mereka melakukan serangkaian eksperimen berbasis perilaku dengan orang yang dikenal oleh hewan-hewan tersebut dan orang asing dalam mengukur keramahan.

Dibandingkan dengan serigala, anjing terbukti lebih mudah bergaul. Kemudian, ketika mengurutkan genom hewan di laboratorium, ditemukan bahwa variasi di wilayah kromosom enam pada DNA anjing sejajar dengan sikap sosial anjing tersebut.

Lebih lanjut, penyisipan genetik (transposons) pada WBSCR yang mempengaruhi protein GIF21 ditemukan sangat terkait dengan hipersosialisme pada anjing. Jika penyisipan genetik lebih sedikit, anjing akan bertingkah layaknya serigala dan suka menyendiri, dan sebaliknya.

Anehnya, yang memengaruhi sindrom Williams-Beuren pada manusia bukannya penyisipan, melainkan penghapusan genetik pada kromosom tujuh (setara dengan kromosom enam pada anjing).

Temuan ini pun membuat Udell dan vonHoldt kebingungan. Mereka tak sepenuhnya memahami apa yang terjadi dan dengan jumlah sampel yang sedikit, Udell dan vonHoldt harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan.

Walaupun demikian, penelitan ini adalah langkah maju untuk mengetahui bagaimana genetika dasar memengaruhi perilaku sosial pada anjing dan manusia.

“Kami belum menemukan ‘gen sosial’, tetapi kami menemukan komponen (genetik) penting yang membentuk kepribadian binatang dan membantu proses penjinakkan serigala liar menjadi anjing,” ujar vonHoldt menjelaskan.