Mengapa al-Quran dikumpulkan tidak berdasarkan urutan pewahyuan?

Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah sekaligus merupakan pemecah persoalan-persoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik, dengan pemecahan yang penuh bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

Mengapa al-Quran dikumpulkan tidak berdasarkan urutan pewahyuan?

Tiada satu pun instruksi yang datang dari Rasulullah Saw terkait dengan pengumpulan al-Quran berdasarkan urutan wahyu yang sampai di tangan kita sekarang ini.

Terdapat tiga pendapat sehubungan dengan pengumpulan al-Quran:

Pendapat Pertama:

Suyuti dalam al-Ithqan mengutip sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw dan kaum Muslim dengan bermulanya “Bismillahi al-Rahman al-Rahim” menjadi tahu bahwa surah sebelumnya telah berakhir dan surah setelahnya (baru) bermula.

Nukilan ini secara implisit menunjukkan bahwa pada masa Rasulullah Saw turun dan diwahyukan secara sempurna. Namun mengingat bahwa ulama bersepakat bahwa pada awal masa bi’tsat (pengutusan Rasulullah Saw), hanya beberapa ayat permulaan surah al-‘Alaq yang diturunkan dan terkadang sebuah ayat diturunkan dan Rasulullah Saw menempatkannya pada surah yang sesuai dengan konteks ayat tersebut.

Karena itu asumsi ini adalah asumsi yang tidak dapat diandalkan.

Pendapat Kedua:

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian pertama, terdapat sejumlah ayat yang disebutkan dalam sejarah yang ditempatkan sesuai dengan instruksi Rasulullah Saw. Pada pengumpulan pertama al-Quran yang terjadi pada masa Abu Bakar dan pada masa pengumpulan kedua al-Quran yang terjadi pada masa Usman tidak satu pun ayat yang mengalami pemindahan dari satu surah ke surah yang lain dan pada dasarnya Abu Bakar dan Usman tidak turut campur sehubungan dengan urutan dan susunan ayat-ayat al-Quran.

Meski sebagian surah seperti, “al-Fatiha” diturunkan secara sempurna, namun sebagian surah, khususnya surah-surah panjang al-Quran, disuguhkan secara gradual dan terkadang bersamaan (yaitu setiap jumlah surah yang turun dan secara gradual surah-surah yang dimaksud menjadi lengkap).

Dalam hal ini, Thabarsi berkata,

“Sehubungan dengan masalah urutan pewahyuan, urutan surah-surah, pada bagian pendahuluan setiap surah, apabila sebuah surah diturunkan hingga beberapa ayat, dan sebelum berakhirnya surah tersebut, terdapat surah lain yang diturunkan dan bahkan beberapa surah lainnya juga diturunkan secara utuh, kemudian sisa surah pertama diturunkan, maka dalam kondisi seperti ini standar urutannya (Makkiyah dan Madani) kembali pada awal-awal pewahyuan setiap surah.”

Karena itu urutan dan penempatan ayat-ayat pada pelbagai surah dilakukan berdasarkan instruksi Rasulullah Saw namun pada masa Usman beragam naskah al-Quran dikumpulkan dan masing-masing siapa yang menetapkan bagian-bagian dari naskahnya yang tidak terdapat pada naskah al-Quran orang lain harus menghadirkan dua orang saksi bahwa ayat-ayat ini mereka dengarkan dari Rasulullah Saw sehingga ditempatkan pada tempatnya.

Pendapat Ketiga

Sehubungan dengan urutan ayat-ayat kurang-lebihnya terdapat kesamaan pendapat bahwa urutan ayat-ayat dilakukan berdasarkan instruksi Rasulullah Saw dan merupakan hal yang telah ditentukan dari sananya (amr tauqifi). Namun sebagaimana yang telah disebutkan, sesuai dengan beberapa indikasi, urutan surah-surah, dilakukan pada masa sahabat.

Meski sebagian dari riwayat menunjukkan bahwa al-Quran telah dikumpulkan juga pada masa Rasulullah Saw yang apabila pengumpulan ini – yang juga merupakan pendapat kuat - kita terima, himpunan pengumpulan al-Quran dilakukan dalam tiga tahap: Pada masa Rasulullah Saw, pada masa Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua, terakhir pada masa Khalifah Ketiga.