7-Eleven yang merupakan toko kelontong atau warabala 24 jam, tidak mampu mempertahankan eksistensinya di Indonesia. 7-Eleven harus menutup seluruh 7-Eleven yang beroperasi di Indonesia saat menginjak tahun ke-9 beroperasi. Kejadian ini menimbulkan beberapa pendapat dan analisis mengenai penyebab 7-Eleven yang mampu mempertahankan usahanya di berbagai negara tetapi harus menelan kepahitan gulung tikar di Indonesia. Sebuah media barat menjelaskan bahwa “nongkrong culture” orang Indonesia menjadi salah satu faktor sulitnya 7-Eleven bertahan di Indonesia. Sudah menjadi pemandangan biasa 7-Eleven selalu dipenuhi oleh pelanggan tetapi hanya membeli sedikit barang. Mereka hanya membeli satu item kemudian menghabiskan waktu berjam-jam untuk menikmati fasilitas ruangan ber-AC dengan WiFi gratis. 7-Eleven menawarkan lokasi strategis, makanan, nuansa nyaman, AC dan WiFi gratis yang kemudian menjadi daya tarik pelanggan. Mengusun konsep memberikan fasilitas yang nyaman untuk berkumpul dan bersosialisasi bersama temen atau keluarga berhasil mencapai puncak kejayaan pada tahun 2014.
Seiring berjalannya waktu 7-Eleven mulai menghadapi permasalahan income yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya operasional. Menurut Rosan Roelani ketua Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin), 7-Eleven menerapkan model bisnis yang salah dengan margin minimal dan persewaan tinggi. Pada tahun 2015 pendapatan 7-Eleven mulai mengalami penurunan. Beberapa pendapat baik dari dalam maupun luar negeri mengenai penurunan pendapatan 7-Eleven yang disebabkan oleh masalah regulasi dan birokrasi. Sebelumnya pada tahun 2012 7-Eleven sempat memperoleh surat peringatan dari Departemen Perdagangan mengenai penjualan barang ritel tanpa izin usaha yang sesuai. Kemudian masalah regulasi bergulir kembali dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang perubahan kedua atas Permendag Nomor 20/M-DAG/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Minuman berakohol yang menjadi salah satu competitive advantage 7-Eleven tidak dapat beredar bebas dan dijual di Indonesia, sedangkan PT Modern Sevel Indonesia belum siap menghadapi kondisi ini. Kendati demikian Mentri Menteri Perindustrian Airliangga Hartarto mengatakan masalah internal sebenarnya berada di balik kebangkrutan Sevel. Dia menyangkal bahwa larangan menjual minuman beralkohol di balik kematian perusahaan.
Ditengah masalah regulasi dan berbagai isu internal, Indomart dan Alfamart yang sejak awal 7-Eleven beroperasi di Indonesia sudah menjadi kompetitor semakin mengembangkan usahanya dan meningkatkan pendapatan mereka. Tidak hanya melakukan penjualan makanan, minuman dan barang kebutuhan sehari-hari lain, Indomart dan Alfamart yang telah lebih lama beroperasi di Indonesia serta memiliki jaringan yang luas mulai mengembangkan usaha di bidang pelayanan termasuk bill payment dan traveling booking. Indomart dan Alfamart yang tidak terpengaruh dengan kebijakan pengenai peredaran alkohol mampu merebut pasar dan mengembangkan jaringan lebih luas disaat 7-Eleven tidak memiliki perencanaan yang mumpuni untuk menghadapi permasalahan regulasi tersebut.
Kegagalan menjual 7-Eleven Indonesia kepada Charoen Pokphand Group yang merupakan pengelolah 7-Eleven Thailand juga disebut menjadi faktor semakin menurunnya kemampuan bertahan 7-Elevendi Indonesia. Nilai saham 7-Eleven juga semakin turun.
Baik disebut karena ketidakseimbangan biaya operasional dengan pendapatan, masalah birokrasi dan regulasi Indonesia yang tidak sesuai dengan 7-Eleven, maupun gempuran dari kompetitor seperti Indomart dan Alfamart, 7-Eleven pada dasarnya kurang melakukan perencanaan masa depan dan penyesuaian dengan culture di Indonesia sendiri yang merupakan negara dengan mayoritas muslim sehingga minuman beralkohol dapat menimbulkan pro dan kontra.
Walaupun mengalami kebangkrutan di Indonesia, 7-Eleven memiliki pasar terbesar di salah satu negara timur pula yaitu Jepang. 7-Eleven di Jepang melakukan manajemen baik dalam hal operasional, pelanggan, maupun perencanaan masa depan. 7-Eleven di Jepang menerapkan cara tetap membawa formula besar dari Amerika tetapi tetap memperhatikan selera lokal. Sean Thompson, senior director of private brands for Dallas-based 7-Eleven menuturkan bahwa salah satu strategi 7-Eleven yang menjual rice ball menjadi strategi yang tepat. Rice ball sendiri merupakan makanan rumahan Jepang yang tidak dijual di toko maupun restaurant. Rice ball menjadi item sukses di Jepang. Tidak berhenti di keberhasilan menjual rice ball , 7-Eleven Jepang terus mengupayakan menjual produk dengan memperhatikan konsumen, salah satunya dengan menciptakan kemasan rice ball yang mudah dibuka sehingga tidak memakan banyak waktu. Hal tersebut jelas sesuai dengan culture masyarakat Jepang yang menghargai waktu dan cenderung bergerak cepat. Memahami kebutuhan konsumen, menyediakan apa yang dibutuhkan konsumen, menyesuaikan dengan regulasi dan budaya masyarakat Jepang, memberikan produk berkualitas, dan mempertimbangkan jumlah item karena di Jepang real estat mahal merupakan beberapa strategi 7-Eleven di Jepang.
Selain itu 7-Eleven di Jepang menjual banyak hal yang merupakan kebutuhan pelaggan mulai dari makanan, majalah, suus, gurita yang diiris, bahkan pemesan jam tangan. Shop Amerika merupakan inovasi 7-Eleven Jepang yang menawarkan barang-barang mewah impor. 7-Eleven Jepang juga mempertimbangkan dalam melakukan pengadaan barang sebagai persediaan. Adanya analisis pola penjualan untuk melakukan perencanaan masa depan dan sebagai informasi berharga perusahaan pusat menjadi bantuan efektif untuk pengambilan keputusan.
Mike Allen seorang Analisis di Barclays de Zoette Wedd menganggap Toshifumi Suzuki yang merupakan presiden 7-Eleven Jepang berhasil menciptakan kesuksesan dengan menerapkan visi tentang ritel sebagai bisnis informasi. Toshifumi Suzuki juga menuturkan bahwa penting untuk melakukan inovasi manajemen dan memperbaiki metode.
Pada akhirnya alasan 7-Eleven tetap bisa menjadi pasar terbesar 7-Eleven sedangkan 7-Eleven di Indonesia bangkrut adalah karena kemampuan 7-Eleven Jepang menyesuaikan budaya dan selera masyarakat, memanfaatkan teknologi dengan baik dalam bidang manajemen dan pengambilan keputusan, manajemen biaya, serta tidak kalah pentingnya memperhatikan regulasi dan norma yang ada di negara Jepang.
Referensi
Why 7-Eleven failed in Indonesia - Mini Me Insights
http://gres.news/news/economy/114389-expert-opinions-on-7-elevenacutes-bankruptcy/0/
https://asia.nikkei.com/Business/Companies/Why-7-Eleven-is-closing-in-Indonesia?page=2
http://www.nytimes.com/1991/05/09/business/new-japanese-lesson-running-a-7-11.html?pagewanted=all
https://csnews.com/listening-key-7-elevens-store-brand-success-0