Menanggung Rasa (Challenge menulis Sastra)

Apa kau pernah merasa apa yang kurasa? Ketika ingin berkata banyak, namun mulut ini bungkam oleh perasaan yang menumpuk dan terpendam. Aku ingin berteriak lepas di udara, meminta tolong pada semesta, memaki alam atau meneriaki orang itu. Aku sangat ingin meneriakinya. Ah, tapi aku terlalu pengecut, aku yakin, semesta mungkin akan melarangku dan mencemooh jika kulakukan itu. Ya, memang begitu bukan, lidah-lidah yang kadang tak tau pun ikut bersuara, berkomentar. Mereka seolah tak mau ketinggalan kesempatan untuk ikut campur dalam masalah mata dan telinga yang belum tentu kebenarannya.
Terkadang aku bingung dengan cara kerja dunia. Mengapa yang jahat selalu terlihat berkuasa, semena-mena dengan yang berusaha. Mereka seolah terbiasa dengan semua tingkah laku mereka yang merugikan orang lain. Sedangkan yang baik akan mendapat kebalikannya. Jalan susah, berliku dan keberhasilan yang tak tentu.
Sekali lagi, aku ingin memaki, tapi anehnya, yang kulakukan hanyalah tersenyum. Ya, kau boleh berkata aku bodoh sekarang. Tapi, semua itu tak mudah jika orang itu adalah orang yang sangat dekat denganmu. Salah satu orang yang berperan besar dalam hidupmu. Ayahmu.
Andai aku orang yang tak punya perasaan, akan lebih mudah bagiku. Tapi manusia diberi rasa untuk menjadi lebih peka, dan aku tak suka itu. Aku tak suka jika aku menjadi lebih peka. Itu akan membuat telinga, mata dan hatiku juga lebih peka dengan lidah mereka. Ah, lagi-lagi lidah dan rasa. Aku harus lebih berhati-hati dalam melakukan semuanya. Rasa bisa memicu konflik dalam kasus ini.
“Dil, kau bantu ibu ya. Kedelai belum dicuci, ibu tidak kuat jika sendiri,” ujar ibu dengan nada memelas.
“Ayah kemana bu?” tanyaku sambil celingukan mencari sosok itu.
“Sudahlah, dia sedang mencari angin, biarkanlah. Dia lelah bekerja seharian.”
Ah, ibu. Selalu saja begitu, padahal dia lebih capek dibandingkan ayah yang hanya duduk menjual tempe di pasar.
“Baiklah bu, ayoh aku bantu,” ujarku akhirnya.
Ayah memang selalu begitu. Ia pergi malam hari tanpa tau kemana dan baru pulang ketika pagi datang. Ia akan tidur di dipan ruang tengah dan bangun untuk berjualan tempe di pasar, kemudian datang tidur sampai sore. Kadang ia bahkan lupa untuk mengambil daun pembungkus tempe sehingga aku yang harus turun mengambilnya. Jika malam datang, selepas isya dia akan pergi entah kemana. Begitu berulang.
Pernah ketika nenekku sakit, ayah tak keluar malam lagi. Ia rajin membantu ibu. Saat itu, ekonomi keluarga kami turun drastis. Aku sampai tak bisa membayar uang sekolah dan membeli buku pelajaran. Ayah akhirnya meminjam uang ke Bank dengan jaminan sertifikat rumah. Itulah sebabnya ia lebih focus untuk membantu ibu berjualan tempe agar bisa melunasi hutang kami. Syukurnya, keuntungan kami naik saat itu. Orang banyak bilang tempe yang kami buat lebih enak daripada buatan nenekku. Aku cukup senang dengan perubahan itu. Tapi ternyata perubahan itu tak berlangsung lama, hanya untuk beberapa minggu saja. Ayah mulai keluar malam lagi setelah dua bulan. Itu yang membuatku jengkel. Aku pernah menangis di suatu malam karena tanganku sakit akibat terkilir saat mengangkat kedelai, terlebih aku belum mengerjakan tugas daring dari sekolah.
Tak berhenti di situ saja. Akhir-akhir ini, semenjak nenekku sakit, mulai banyak berita-berita tak enak terdengar di telingaku. Ada yang bilang ayahku menipu orang, ada juga yang berkata ayahku berjudi, juga yang paling parah kudengar ayahku bisa saja kabur suatu saat dan meninggalkan kami dengan utang yang bertumpuk. Aku ingin sekali beteriak lantang dan mengatakan itu tidak benar, tapi berita itu ternyata lebih banyak datang dari keluarga besarku sendiri. Paman, bibi, pak de, bu de dan juga mbah Yoyok, adik dari nenekku.
“Dia menipuku. Dia bilang sapi itu harganya enam belas juta. Ternyata, harga sebenarnya hanya dua belas juta. Lihatlah, dia untung empat juta sendiri. Tapi, yang paling membuatku marah, kok tega uang sekolah anaknya tidak dibayar juga,” ujar mbah Yoyok, adik nenekku. Percakapan itu kudengar ketika aku sedang berada di rumah sakit menunggui nenek bersama mereka. Mereka terus saja bicara, tanpa tau aku sebenarnya terbangun. Aku hanya pura-pura memejamkan mata dan mendengar semua percakapan mereka. Aku ingin sekali berteriak menyangkal, tapi aku sendiri tak yakin kalau ayahku tidak bersalah.
“Lho iya loh. Dia masih saja pinjam uang kepadaku untuk membayar hutangnya. Dia saja jarang membantu si mbok sampai si mbok sakit begitu,” balas bulek Tia judes.
“Lha iyo loh. Padahal sudah minjam kesana kemari, uang sekolah anaknya belum di bayarkan,” Bu de Diyah ikut menanggapi.
Mereka terus saja berbicara hingga akhirnya Via, sepupu yang hampir seumuran denganku membangunkanku untuk pulang. Aku menangis malamnya saat ibu dan adikku sudah tidur. Hatiku sakit. Lagi-lagi aku mengumpulkan rasa itu. aku berdoa semoga ibu tak tau, agar tidak sakit hati. Sekali lagi, aku benci rasa ini. Bisakah aku tidak merasa saja?
:cherry_blossom::cherry_blossom::cherry_blossom:
Waktu demi waktu berlalu. Ekonomi kami semakin terpuruk. Tempe sering tidak habis dan terpaksa dibuang karena telah busuk. Ibu pun bingung tak bisa membeli kedelai lagi karena tak ada modal. Kami mulai kesusahan bahkan untuk makan, sedangkan kami juga harus merawat nenek yang sakit. Saat-saat itulah ayah jarang pulang ke rumah. Kami tak pernah tau kemana ia pergi. Sudah kami cari ke rumah teman-temannya namun tak jua kami temukan.
Berita tidak pulangnya ayah selama beberapa hari terakhir menjadi bahan omongan tetangga dan keluarga besarku. Diam-diam ibu menangis setiap malam di kamarnya. Tentu ibu merasa sakit hati dengan semua ini. Yang paling tak kusangka, adikku juga ternyata mulai peka dengan omongan orang.
“Kak, mereka bilang ayah itu penipu, pencuri, apa itu benar kak? Ayah bukan seperti itu bukan? Ayah orang baik kan? Ayah pergi untuk mencari uang bukan?” tanyanya seolah memohon aku mengatakan iya dan semua dugaan itu salah. Alih-alih menjawab, aku memeluknya.
“Jangan percaya omongan mereka. Mereka sendiri tidak tau apa yang mereka katakana adalah fakta atau dugaan belaka,” balasku.
Rumor terus beredar. Bukan hanya dari tetangga, keluarga besarku pun ikut berbicara langsung pada ibuku. Mereka bahkan secara terang-terangan meminta ibuku untuk bercerai dengan ayah.
“Tidak, aku tidak akan menceraikannya. Apa jadinya anak-anak jika hidup tanpa dia? Kamia akan makan apa hah?” tangisnya frustasi.
“Kami akan membantu,” balas Bu de Diah.
“Membantu apa? Kalian kira aku tidak tau kalian membicarakanku di belakang selama ini? Itu yang kalian sebut membantu?”
“Kami begitu agar kau sadar dia itu bajingan!” balas Bu de Diyah.
“Keluar kalian dari rumahku. Aku tidak butuh omongan buruk kalian. Pergi!” teriak ibu mengusir mereka semua. Ia segera mendorong mereka keluar dan menutup pintu. Saat itu, untuk pertama kalinya, aku melihat ibu marah seperti itu. Ia menangis meraung-raung di balik pintu. Aku pun merasa pilu mendengar tangisannya. Aku yakin, ibu selama ini memendam rasa sakit dalam hatinya dan semuanya kini pecah dalam tangis. Ah, lagi-lagi rasa.
Keesokan harinya, keadaan bukannya membaik, malah tambah keruh. Orang-orang kini berbicara terang-terangan di depan ibu saat kami berjalan pulang dari warung.
“Hei Karsinah, suamimu kemana? Dengar-dengar dia penipu. Apa sekarang sedang jadi buron?” celetuk seorang ibu gendut dengan mulut luwesnya.
“Bukan penipu, pencuri kelas kakap. Hati-hati loh bu, jangan-jangan rumah kita bisa dibobol sama dia,” tambah yang lainnya.
Ibu diam. Kulihat mukanya yang layu. Air mata mulai mengumpul di pelupuk matanya. Amarahku mulai tersulut, aku paling tak suka orang yang paling lembut ini disakiti.
“Ayahku bukan penipu atau pencuri. Kalian punya bukti apa sampai bilang begitu? Ada yang pernah lihat hah? Ada?” teriakku marah.
“Kalau sampai terbukti bagaimana?” balas warga lain sinis.
“Aku yang akan menangkapnya sendiri,” ujarku geram.
Bukannya takut, reaksi dari mereka justru tertawa. Menertawakanku. Aku ingin maju dan menyumpal mulut mereka satu-satu, tapi ibu segera menarik lenganku.
“Sudah, jangan ditanggapi lagi. Kita pulang saja ya,” ujarnya menarikku untuk mengikutinya. Aku akhirnya ikut saja.
“Kita tidak bisa membiarkan mereka bu. Mereka keterlaluan.”
“Sudahlah Dila, jangan hiraukan mereka. Ayahmu pasti akan pulang malam ini.”
Kata-kata ibu seperti sebuah sihir. Malamnya, ayah benar-benar pulang. Kali ini ia tak seperti biasanya yang pulang saat pagi menjelang, ayah datang di saat malam. Ayah pulang ketika aku masih terjaga mengerjakan tugas.
“Masyaallah mas, akhirnya kamu pulang juga,” ujar ibu senang lantas memeluknya.
Aku baru saja ingin keluar kamar saat kulihat ayah dengan wajah was-was berkata: “Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus pergi. Kali ini aku harus pergi jauh sebelum mereka datang.”
“Mereka siapa?” tanya ibu khawatir.
“Orang-orang yang salah paham. Aku tak bisa jelaskan banyak.”
“Ta… tapi…”
Ibu belum sempat melanjutkan kata-katanya, ayah sudah berjalan ke kamar dan keluar dengan memasukkan uang ke dalam tas.
“Aku bawa dulu uang ini,” katanya.
“Tapi uang itu untuk membayar uang sekolah Dila,” balas ibu.
“Akan kukembalikan dengan yang lebih banyak ketika aku datang,” janjinya.
Tanpa menunggu banyak waktu lagi, ia segera pergi keluar rumah. Aku terbelalak melihatnya. Bagaimana mungkin ia pergi begitu lama dan hanya kembali untuk meminta uang lantas pergi lagi? Ia seolah tak peduli akan kabar kami, kesusahan kami ketika dia tak ada. Aku tak bisa tinggal diam. Tanpa sepengetahuan ibu, aku mengambil sepedaku dan pergi mengikuti ayah.
Aku terus mengayuh sepedaku dan mengikuti kemana dia pergi. Beruntung ia tak sadar kuikuti karena jalanan yang gelap dan sepeda ini tak bermesin. Ayah berhenti di depan rumah salah satu temannya. Rumah ini rumah yang pernah kami datangi saat mencari keberadaan ayah. Pemiliknya adalah pengusaha travel dan tiket. Ia menjual tiket travel, bis, kereta, kapal bahkan pesawat. Tapi mengapa ayah datang kemari, ia tak biasa pergi jauh dari desa ini.
Aku meninggalkan sepedaku dan mengendap-endap mendekati mereka.
“Ayolah, aku butuh bantuanmu. Aku ketahuan. Mereka kini mencariku. Boleh jadi esok pagi mereka akan mendatangi rumahku,” ujarnya.
Ketahuan? Ketahuan apa? Siapa yang akan datang? Ayah sebenarnya kenapa? Semua pertanyaan itu kini berputar di otakku. Apa yang sedang terjadi di sini.
“Baiklah, aku bisa bantu. Tapi paling cepat berangkat besok malam.”
“Tak bisa pagi? Besok pagi?”
“Tidak ada kapal yang berangkat pagi untuk hari itu.”
“Huh, baiklah. Sekalian beri aku tumpangan untuk malam ini,” ujarnya.
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah pemilik travel itu. Aku semakin tak mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba saja, perasaanku tak tenang. Aku merasa suatu hal yang buruk akan terjadi.
:cherry_blossom::cherry_blossom::cherry_blossom:
Keesokan harinya, pintu rumah kami diketuk. Ada orang yang menunggu di depan pintu. Dua orang berseragam polisi. Seperti yang diduga, mereka menanyakan keberadaan ayah.
“Kenapa mencari ayah?” tanyaku ikut keluar.
“Ayah anda melakukan pencurian dan penipuan. Ia membawa kabur uang sebesar tiga puluh juta rupiah yang diduga digunakan untuk berjudi.”
Aku sungguh terkejut bukan main. Ibu langsung terduduk lemas. Tetangga yang berkerumun mulai bergunjing. Suasana ramai sekali.
“Tidak mungkin. Suamiku…” tangis ibu. Ia tak bisa berkata-kata. Aku segera menunduk dan memeluknya.
“Kami mohon waktu sebentar. Ayah juga tidak ada di rumah. Jika ada informasi, saya akan mengabari,” ujarku berusaha tegar.
Kedua polisi itu setuju, mereka akhirnya pergi. Di saat seperti itu, tetangga banyak sekali yang bergunjing. Beberapa diantara mereka bahkan mengatakan dengan keras-keras. Sengaja agar kami mendengar.
“Tuh kan, benar. Berarti kita bukan omong kosong. Sekarang, coba tangkap ayahmu kalau kamu bisa.”
Aku hanya diam. Ada rasa sakit di dalam hati ini. Semua rasa seolah bercampur aduk, menumpuk, meminta untuk dibebaskan. Ada sebuah dorongan dalam hatiku: rasa itu harus dibebaskan, semuanya harus diakhiri.
:cherry_blossom::cherry_blossom::cherry_blossom:
“Ayah, tolong ibu. Tolong ibu yah, kami tidak bisa hidup tanpa ayah,” uajrku memohon.
“Tapi ayah harus pergi. Ini demi kalian juga.”
“Tidak yah, kumohon.”
“Dila, sudahlah nak. Ayah tidak akan pergi lama. Ayah akan segera pulang membawa uang banyak untuk biaya sekolah Dila dan adik, biaya hidup kita,” tuturnya sambil mengelus kepalaku.
Aku muak mendengar kata-kata itu. ia seolah tengah berkata bijak, padahal ia adalah orang paling bajingan yang pernah kutemui.
“Ayah bohong,” ujarku dingin.
“Bukankah ayah berusaha melarikan diri sekarang?”
“Ayah egois. Ayah hanya memikirkan diri ayah sendiri. Bagaimana bisa ayah pergi, kabur setelah melakukan semua ini pada kami. Ayah tidak tau betapa menderitanya aku, ibu, adik. Kami terkucilkan oleh keluarga besar, dihina oleh tetangga, berusaha hidup mencari uang tanpa ayah. Kemudian, ayah datang mengambil uang yang susah payah di kumpulkan ibu dan membawa masalah? Ayah benar-benar orang terburuk yang pernah aku temui.”
“Dila, bukan begitu. Kau harus mengerti nak…”
“Ayah tidak boleh pergi.”
Beberapa detik kemudian, sirine polisi mulai berbunyi. Semakin alma semakin mendekat. Ayah kelabakan mencari jalan keluar.
“Ayah tidak boleh pergi,” ujarku sekali lagi sambil menahan kakinya.
“Lepaskan!” ia menendangku. Aku terhempas, namun segera memegangi kakinya lagi.
“Aku tidak ingin menanggung rasa lagi. Aku tak ingin ayah menyakiti ibu lagi dengankepergian ayah. Aku tidak ingin menanggung rasa sakit atas omongan orang dan aku tak berusaha mengubahnya.”
“Dasar anak sialan kamu!”
Brak!
Aku terlempar. Hidungku membentur kursi. Kurasakan cairan hangat pekat keluar dari hidungku. Ayah mulai mencari jalan keluar.
“Jangan bergerak.”
Polisi datang dengan menodongkan pistol. Ayah berusaha melarikan diri, tapi dengan sigap polisi langsung membekuknya dan meringkuknya ke lantai. Aku melihat ayah meronta-ronta dan berteriak memaki sebelum akhirnya suaranya hilang. Seorang polisi menuntunku berdiri.
Aku menatap kepergian ayah dengan mobil polisi itu. Tak pernah kubayangkan memang, semuanya akan berakhir seperti ini. Aku tau, mungkin aku akan menganggung rasa sakit yang lebih setelah ini, tapi aku akan menanggungnya sebagai ujian yang harus dijalani, bukan sebagai beban dan dendam. Meski sakit, tapi aku tak iri lagi pada ayah karena kita menanggung rasa yang sama.

By: Ulfa Husna K

Tuban, 22 September 2020

WhatsApp Image 2020-09-22 at 21.50.08

1 Like