Mempelai Perempuan Rahasia

Taman Surga

Dalam diri manusia terdapat cinta, rasa sakit, rindu, dan keinginan. Sekalipun seratus ribu dunia menjadi milik mereka, niscaya mereka tidak akan merasa puas dan tenang. Meski mereka sudah menjajal setiap keahlian, mempelajari astronomi, kedokteran, dan lain sebagainya, tetap saja mereka tidak puas karena belum mendapatkan apa yang mereka tuju. Orang-orang menyebut Sang Kekasih sebagai “ketenteraman hati,” karena di sanalah hati mereka menemukan ketenteraman. Lantas bagaimana bisa seseorang dapat menemukan ketenteraman dan keputusan selain dari-Nya?

Semua kesenangan dan pencarian ini laksana anak tangga. Anak tangga bukanlah tempat untuk menginap dan ditinggali, melainkan hanya sebatas jalan untuk dilewati. Betapa bahagianya orang yang bangun dan menyadari hal ini lebih awal karena ia tidak akan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai puncak tangga, dan usianya tidak akan terbuang percuma di tingkatan anak tangga itu.

Seseorang bertanya:

“Tentara Mongol telah merampas harta kami secara paksa, tapi dari waktu ke waktu mereka mengembalikan harta itu kepada kami. Ini merupakan kondisi yang aneh. Bagaimana menurutmu?”

Maulana Rumi menjawab:

“Semua yang sudah direbut paksa oleh tentara Mongol telah masuk ke dalam genggaman dan gudang-gudang Allah. Contohnya, kamu mengisi sebuah kendi dengan air laut kemudian kamu pergi. Selama air itu masih berada di dalam kendi, ia akan tetap menjadi milikmu dan tidak ada seorang pun yang berhak menggunakannya. Jika ada orang yang mengambil air itu dari kendi tanpa seizinmu, berarti ia adalah seorang pencuri. Tetapi jika air itu dituangkan kembali ke dalam lautan, maka air akan menjadi halal bagi semua dan bebas dari kepemilikanmu. Dengan demikian, maka harta kita menjadi haram bagi mereka dan harta mereka halal bagi kita.”

“Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam. Jemaah adalah rahmat.”

Rasulullah Saw. senantiasa bertindak atas nama jemaah. Hal ini dikarenakan berkumpulnya jiwa-jiwa akan memberikan pengaruh yang sangat besar dan penting, yang tidak bisa dihasilkan oleh satu jiwa. Inilah alasan kenapa masjid dibangun, yaitu agar orang sekitar bisa berkumpul sehingga rahmat serta manfaat menjadi berlipat. Tempatnya dijauhkan dari perumahan agar dapat dibedakan dan menutupi aib. Itulah beberapa faidah. Masjid-masjid jami’ dibangun agar para penduduk kota dapat berkumpul semuanya. Sementara Ka’bah dibangun agar umat manusia dari kota-kota dan musim-musim yang berlainan dapat berjumpa.

Seseorang berkata:

“Ketika tentara Mongol pertama kali datang ke tanah ini, mereka telanjang dan tidak memiliki apa-apa. Mereka mengendarai banteng dan senjata mereka terbuat dari kayu. Tapi sekarang, mereka tampak rapi dan cukup makan, mereka juga memiliki kuda-kuda Arab yang cantik dan peralatan perang yang modern.”

Maulana Rumi berkata:

“Kala itu, ketika mereka sedang putus asa, lemah dan tidak memiliki kekuatan, Allah menolong mereka dan menjawab doa-doa mereka. Sekarang, ketika mereka tampak begitu rapi dan perkasa, Allah menghancurkan mereka dengan makhluk yang paling lemah agar mereka menyadari bahwa karena pertolongan dan anugerah dari Allah-lah mereka mampu menaklukkan dunia, dan bukan karena daya dan kemampuan mereka sendiri. Dulu mereka tinggal di gurun, jauh dari manusia, tanpa daya dan kekuatan, miskin, telanjang, dan fakir. Tanpa diduga-guga, beberapa dari mereka datang ke daerah Khawarizmi sebagai pedagang, lalu mereka mulai melakukan transaksi jual-beli. Mereka membeli Kirbas (baju dari katun putih) untuk menutupi tubuh mereka. Lalu orang-orang Khawarizmi menghentikan transaksi jual-beli mereka, pedagang-pedagang mereka dititahkan untuk dibunuh, mereka juga dibebani untuk membayar pajak, orang-orang Khawarizmi tidak lagi mengizinkan mereka untuk menjejakkan kaki di tanah mereka. Orang-orang Mongol itu datang kepada raja mereka dan berkata, “Mereka telah menghancurkan kami.” Raja meminta waktu selama sepuluh hari, dan kemudian masuk ke dalam gua yang dalam. Di dalam gua itu sang raja berpuasa sepuluh hari, dan dengan khusyuk merendahkan diri kepada Tuhannya. Lalu datanglah suara dari Allah, “Aku terima permohonan dan tawasulmu. Keluarlah! Ke mana pun kamu pergi, kamu akan menang.” Demikianlah yang terjadi. Ketika mereka keluar, mereka menang dengan perintah Allah dan mereka menaklukkan dunia.

Seseorang berkata,

“Orang-orang Mongol juga percaya pada hari kebangkitan, dan berkata bahwa akan ada hisab.”

Maulana Rumi berkata:

“Mereka berbohong, mereka melakukan itu karena ingin diterima oleh umat Islam.”

Mereka berkata,

“Kami mengakui dan mempercayainya.”

Jamal ditanya,

“Dari mana kamu?”

Ia menjawab,

“Dari kamar mandi.”

Dijawab lagi,

“Ya, itu terlihat dari sepatumu!”

Jika mereka memang percaya akan keberadaan hari kebangkitan, apa buktinya? Maksiat, kezaliman, dan keburukan yang mereka lakukan seperti salju dan es yang dikumpulkan setinggi gunung. Padahal ketika matahari kesadaran, penyesalan, kabar tentang akhirat, dan rasa takut kepada Allah datang, ia akan melelehkan tumpukan salju dan es maksiat semuanya, seperti matahari yang mencairkan salju dan es yang menggunung. Jika sebagian tumpukan salju dan es berkata, “Aku melihat matahari dan sinarnya memandikan diriku,” tetapi tumpukan salju dan es itu tetap menggunung, maka orang yang waras tidak akan mempercayainya. Adalah hal yang mustahil jika matahari sudah datang tapi tumpukan salju dan es tetap kokoh.

Walaupun Allah SWT telah berjanji akan memberikan balasan atas perbuatan baik dan buruk di hari kiamat kelak, akan tetapi contoh dari balasan-balasan itu sudah Ia kirimkan kepada kita di setiap waktu dan kerlingan mata. Jika kebahagian masuk ke dalam hati seseorang, maka itu adalah balasan baginya karena membuat orang lain bahagia. Jika seseorang bersedih, maka itu juga merupakan balasan baginya karena membuat orang lain sedih. Ini semua adalah hadiah dari dunia yang lain dan tanda bagi hari pembalasan nanti, agar orang-orang bisa memahami yang banyak dari yang sedikit ini, sebagaimana kamu mengambil segenggam gandum sebagai contoh dari gandum-gandum yang ada di dalam karung.

Baginda Rasulullah Saw., meskipun beliau memiliki keagungan dan kebesaran, pada suatu malam merasakan sakit di tangannya. Turunlah wahyu yang memberitahukan pada beliau bahwa rasa sakit yang dialaminya itu adalah efek dari rasa sakit di tangan ‘Abbas, karena beliau telah memenjarakan dan mengikat tangannya bersama para tawanan yang lain.

Meskipun Nabi mengikat tangan Abbas atas perintah Allah, tapi beliau harus mendapatkan balasan dari perbuatannya tersebut, agar kamu mengetahui bahwa penangkapan, penderitaan, dan kesedihan yang menimpa dirimu adalah efek dari perbuatan buruk dan maksiat yang kamu lakukan. Meski secara detail kamu tidak bisa mengingat semua yang telah kamu lakukan, dari balasan itu kamu dapat menarik kesimpulan bahwa dirimu telah banyak melakukan kesalahan-kesalahan. Kamu barangkali juga lupa apakah perbuatan buruk itu kamu lakukan karena lupa atau karena ketidaktahuanmu, atau mungkin ditularkan oleh seorang teman yang tidak mengerti agama sehingga membuatmu melakukan pelanggaran terhadap Tuhan. Renungkan balasan itu, sampai titik mana kamu rentangkan tanganmu, atau sampai sejauh mana kamu tersiksa? Sudah jelas bahwa siksaan adalah balasan dari ketidakpatuhan, dan kesenangan adalah balasan dari kepatuhan. Demikian juga ketika Rasulullah Saw. ditegur oleh Allah karena mengenakan cincin di jarinya: “Kami tidak menciptakanmu untuk bermain-main dan tidak berbuat apa-apa.”

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minun: 115)

Renungkan hal ini, dan tegaskan apakah kamu menjalani kehidupanmu dalam kemaksiatan atau kepatuhan!

Allah SWT mengutus Musa as. untuk membantu urusan-urusan manusia. Meski ia segan karena kesibukannya melayani Allah, Dia tetap mengutusnya untuk membatu urusan manusia demi kepentingan umum. Khidir juga sepenuhnya sibuk melayani Tuhannya. Pada Mulanya, Rasulullah juga sibuk melayani Tuhannya. Lalu Allah memerintahkannya:

“Ajaklah manusia, nasihati mereka, dan perbaiki kesalahan mereka.”

Beliau menjadi sedih dan tersiksa sembari berkata:

“Oh Tuhan, dosa apa yang telah kulakukan? Mengapa Kau melemparku dari hadapan-Mu? Aku tak menginginkan manusia.”

Allah kemudian menjawab:

“Wahai Muhammad, jangan kau berputus asa, aku tidak akan membiarkanmu sibuk dengan urusan manusia, bahkan di dalam derasnya kesibukanmu itu, kau tetap bersama-Ku. Ketika kau sibuk bersama manusia, tak sedetik pun waktumu bersama-Ku akan diambil darimu. Bahkan meski kamu berada di tengah-tengah lautan manusia, kau tetap bersama-Ku.”

Seseorang bertanya:

“Apakah hukum-hukum azali yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT akan berubah?”

Maulana Rumi menjawab:

“Apapun yang diputuskan oleh Allah di dalam azal, bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan didera dengan keburukan, sama sekali tidak akan pernah berubah."

Karena Allah SWT itu Maha Bijaksana, bagaimana mungkin Dia berfirman: “Lakukanlah keburukan agar kamu memperoleh kebaikan.”

Apakah bisa seorang yang menanam gandum akan menuai jelai? Atau sebaliknya ia menanam jelai tapi menuai gandum? Tentu itu mustahil. Para wali dan para Nabi semuanya sudah berkata bahwa balasan bagi kebaikan adalah kebaikan, dan balasan dari keburukan adalah keburukan.

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun, niscaya dia juga akan melihat (balasan) nya.” (QS. al-Zalzalah: 7-8)

Jika yang kamu maksud adalah hukum azali seperti yang baru saja aku jelaskan, maka ia sama sekali tak akan pernah berubah. Kita berlindung kepada Allah! Tapi jika yang kamu maksud adalah balasan kebaikan dan keburukan yang bertambah dan berubah, artinya setiap kamu menambah kebaikan, maka akan bertambah pula balasan kebaikan tersebut, dan sebaliknya jika kamu terus menimbun pundi-pundi keburukanmu, maka akan lebih banyak keburukan yang akan menunggumu, maka tentu saja ini akan terus berubah sesuai kadarnya. Yang jelas, asal hukum itu tidak pernah berubah.

Salah seorang yang menyangkal bertanya:

“Terkadang kita melihat orang yang menderita menjadi sangat bahagia, dan orang yang sangat bahagia menjadi begitu menderita?”

Maulana Rumi menjawab,

“Ya, orang yang menderita itu kemudian berbuat kebaikan, atau berpikir untuk melakukan kebaikan, maka jadilah ia orang yang bahagia. Sementara orang bahagia yang kamu sebutkan tadi menjadi menderita karena ia kemudian melakukan keburukan-keburukan, maka berubahlah ia menjadi orang yang menderita. Seperti Iblis yang menentang Adam sembari berkata:

“Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Shad: 76)

Setelah menjadi guru bagi para malaikat, ia dikutuk selamanya dan diusir dari hadapan-Nya. Dari kasus ini kita juga bisa mengatakan: “Balasan kebaikan adalah kebaikan dan balasan keburukan adalah keburukan.”

Orang yang lain bertanya,

“Seorang laki-laki yang bernazar untuk berpuasa. Jika kemudian ia tidak berpuasa, apakah ia dikenai kafarat (denda) atau tidak?”

Maulana Rumi menjawab,

Dalam mazhab Imam Syafi’i disebutkan bahwa ia dikenai kafarat karena nazar merupakan bagian dari sumpah. Sementara setiap orang yang melakukan sumpah palsu, maka ia akan dikenai kafarat. Sedangkan dalam mazhab Imam Abu Hanifah, nazar tidak berarti sumpah, sehingga orang yang tidak menjalankan nazar tidak dikenai kafarat.

Sumpah itu sendiri terbagi menjadi dua: Mutlaq dan Muqayyad . Sumpah Mutlaq itu seperti ucapan: “Aku harus berpuasa hari ini.” Sedangkan sumpah Muqayyad itu seperti ucapan: “ Aku harus melakukan begini jika Fulan datang.”

Maulana Rumi menambahkan,

“Seseorang kehilangan keledainya. Kemudian ia berpuasa selama tiga hari dengan niatan mengharap dapat menemukan keledainya kembali. Setelah tiga hari, ia benar-benar menemukan keledainya namun dalam kondisi sudah menjadi bangkai. Orang itu bersedih. Dalam kesedihannya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sembari berkata, “Jika aku tidak makan selama enam hari dari Bulan Ramadan sebagai ganti dari puasaku selama tiga hari, maka aku bukanlah manusia, dan kamu tidak akan dapat menaruh kepercayaan lagi kepadaku.”

Seseorang bertanya,

“Apakah arti dari penghormatan, selawat, dan pujian terhadap Nabi?

Maulana Rumi menjawab,

“Ini berarti bahwa ibadah, pengabdian, dan rasa hormat itu bukanlah berasal dari kita, karena kita tidak cukup memiliki daya untuk melakukannya. Pada hakikatnya, penghormatan, selawat, dan pujian terhadap Nabi itu semuanya adalah untuk Allah dan bukan untuk kita, semuanya dari Allah dan semuanya adalah milik Allah."

Seperti pada saat musim semi, di mana orang-orang bercocok tanam, mereka keluar ke jalanan, bepergian, dan membangun. Ini semua adalah anugerah dan hadiah-hadiah dari musim semi. Sebab jika tidak, maka mereka akan tetap seperti dulu, berada di dalam rumah dan di gua-gua. Dari sini, kita bisa memahami bahwa hasil cocok tanam, kesenangan, dan kenikmatan ini berasal dari musim semi. Ia adalah induk dari kesenangan-kesenangan, dan pemilik hadiah-hadiah itu.

Para manusia hanya melihat pada sebab, mereka menganggap bahwa hasil itu muncul karena adanya sebab-sebab itu. Di hadapan para wali, sebab tidak lebih hanya sekedar selubung yang menutupi musababnya. Seperti halnya seseorang yang berbicara di belakang sebuah tirai.

Orang-orang menyangka bahwa tirai itu dapat berbicara, mereka tidak mengerti bahwa sebenarnya tirai itu tidak berfungsi apa-apa selain sebagai selubung. Ketika orang tersebut keluar dari tabir itu, barulah ia mengerti bahwa tabir itu hanyalah alat. Para wali Allah melihat tindakan-tindakan yang dilakukan di balik sebab sehingga semua menjadi tampak dengan jelas. Seperti seekor unta yang keluar dari balik gunung, seperti tongkat Nabi Musa yang bertransformasi menjadi ular, dan seperti dua belas sumber mata air yang mengalir dari batu yang keras. Seperti Nabi Muhammad Saw. yang memecah bulan tanpa bantuan alat apapun, seperti Nabi Adam yang datang ke dunia tanpa ayah serta ibu dan Nabi Isa yang juga datang tanpa ibu, seperti berseminya mawar dan bunga-bunga lainnya dari api yang memandikan Nabi Ibrahim, dan demikian seterusnya.

Dengan begitu, ketika mereka melihat sesuatu, mereka mengerti bahwa sebab hanyalah merupakan media, sementara penyebab utamanya bukanlah sebab itu sendiri. Sebab-sebab hanyalah sampul agar orang-orang mau berpikir.

Allah berjanji pada Nabi Zakaria untuk mengaruniainya seorang anak. Zakaria kemudian berseru:

“Aku dan istriku sudah sangat tua. Alat syahwatku telah lemah, dan istriku tidak lagi subur. Ya Allah, dari istri seperti itukah Engkau hendak mengaruniaiku seorang anak?”

“Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku sudah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?” (QS. Ali ‘Imran: 40)

Datang sebuah jawaban:

“Sadarlah Zakaria, kamu telah kehilangan ujung dari tali itu. Aku telah menunjukkan padamu seratus ribu kali bahwa semua itu tidak memiliki penyebab. Kamu benar-benar telah melupakannya, kamu lupa bahwa sebab hanyalah media. Sungguh Aku mampu, saat ini juga, memberimu seratus ribu anak tanpa perantaraan istri dan tanpa mengandung. Jika Aku memberikan satu isyarat, semua orang akan tumbuh menjadi dewasa semuanya. Bukankah Aku yang telah menciptakanmu di dunia roh tanpa ibu dan ayah?—bukankah kamu sudah rasakan keramahan dan pertolongan-Ku sebelum kamu datang ke dunia ini?—Mengapa kamu melupakan semua itu?”

Semua Nabi, wali, dan manusia lainnya, yang baik maupun yang buruk, dapat dijadikan sebagai contoh sesuai dengan tingkat kedudukan dan esensi yang mereka miliki. Para budak dari negeri kafir dibawa ke negeri Islam, kemudian dijual. Sebagian dibawa saat berusia lima tahun, ada juga yang sepuluh hingga lima belas tahun. Semuanya masih anak-anak. Karena mereka dididik bertahun-tahun bersama orang-orang Islam hingga menjadi tua, mereka benar-benar lupa akan kondisi yang ada di negerinya dahulu, dan tidak ada satu pun yang mereka ingat. Sementara para budak yang dibawa ketika berusia sedikit lebih tua dari masa kanak-kanak, mereka sedikit banyak akan mengingat yang ada di negerinya dahulu. Jika yang dibawa jauh lebih tua lagi, maka tentunya akan lebih banyak yang ia ingat. Seperti halnya para roh di dunia sana, tepat di hadapan Tuhannya, ketika Ia berfirman:

“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami).” (QS. al-A’raf: 172)

Makanan-makanan roh itu adalah kalam Tuhan, yang tak berhuruf dan bersuara. Ketika mereka lahir ke dunia ini sebagai bayi, kemudian mendengar kalam itu, mereka tidak dapat mengingat apapun yang sudah terjadi sebelumnya di dunia roh. Mereka merasa aneh dengan kalam ini. Itulah sekelompak manusia yang tertutup dari Tuhannya, mereka tenggelam dalam kekafiran dan kesesatan. Sementara sebagian orang yang masih memiliki sedikit ingatan, memendam rindu yang membara dalam hati mereka untuk kembali ke dunia roh itu. Mereka itulah orang-orang yang beriman. Beberapa dari mereka justru mendengar kalam itu, lalu tampak dengan jelas dalam pandangan mereka akan keadaan-keadaan masa lalu yang ada di masa roh dahulu. Semua tabir tersingkap dari mereka dan bergabung dengan kesatuan itu. Mereka adalah golongan para Nabi dan wali.

Sekarang, aku akan berikan petuah kepada kekasih-kekasihku dengan sungguh-sungguh. Ketika mempelai perempuan makna menampakkan diri di hadapan kalian dan rahasia-rahasia mereka tersingkap, berhati-hatilah, jangan kamu ceritakan ini pada orang asing, jangan kamu jelaskan apa yang kamu saksikan pada orang lain, dan jangan ceritakan pada siapapun kata-kataku ini:

Jangan berikan kebijaksanaan pada orang yang tidak layak untuk menerimanya,
karena ia kelak akan menzalimimu.

Jangan kamu simpan kebijaksanaan dari orang yang layak menerimanya, karena itu berarti kamu telah menzaliminya.”

Nabi Isa as

Jika seorang perempuan cantik dan layak dipuja menyerahkan dirinya kepadamu secara pribadi di rumahmu, sembari berkata,

“Jangan tunjukkan diriku pada orang lain, karena aku adalah milikmu,”

maka apakah boleh dan layak bagimu untuk mempertontonkannya di pasar-pasar, dan kamu berkata pada semua orang,

“Ayo kesini, lihatlah si cantik ini!”

Tentu perempuan cantik itu tidak akan menerimanya. Ia akan pergi pada orang lain dan marah kepadamu. Allah telah menjadikan kata-kata ini haram bagi sebagian orang. Seperti halnya para ahli neraka Jahanam yang mengemis-ngemis kepada ahli surga, seraya berkata,

“Sekarang, di mana kedermawanan dan keluhuran hatimu?—sulitkah bagimu jika kamu alirkan sedikit saja kepada kami anugerah dan hadiah-hadiah yang sudah diberikan oleh Allah SWT sebagai bentuk sedekah dan perbuatan baik?”

Kami meneguk minuman yang baik milik orang baik — Ternyata beginilah manisnya minuman orang-orang baik

Kami minum lalu sisanya kami tuangkan ke bumi — Dalam cangkir kedermawanan, terdapat porsi untuk bumi.

Al Ghazali

Kami terbakar dan meleleh dalam panasnya api neraka ini. Tidakkah sulit bagimu untuk memberikan sedikit dari buah-buahan itu, atau kau tuangkan ke dalam tubuh kami satu atau dua tetes air surga yang segar?

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni syurga: “ Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.” Mereka (penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.” (QS. al-A’raf: 50)

Penghuni surga menjawab,

“Allah mengharamkan itu semua untukmu. Benih-benih kenikmatan ini berada di dunia. Karena di dunia kamu tidak menabur dan menyemai benih iman, kejujuran, dan amal kebajikan, lantas apa yang akan kalian panen di sini? Bahkan sekalipun kami berikan sedikit kenikmatan ini sebagai bentuk kedermawanan kami pada kerongkonganmu yang terbakar, niscaya tak sedikit pun dari nikmat ini yang akan sampai di perutmu, sebab Allah telah mengharamkannya pada kalian. Meski nikmat itu kamu letakkan ke dalam karung-karung besar, karung itu akan sobek dan nikmat itu akan jatuh darinya."

Sekelompok orang munafik datang kepada Nabi Muhammad Saw. Mereka menceritakan rahasia-rahasia dan melayangkan pujian kepada beliau. Nabi Muhammad berkata kepada para sabahatnya dengan menggunakan simbol,

“Khamarkanlah wadah-wadah kalian!”

Maksudnya, karena ada barang-barang kotor dan beracun (celoteh orang-orang munafik), maka tutuplah erat-erat mangkuk, cangkir, periuk, ceret, dan kendi kalian agar ia tidak terjatuh ke dalam wadah-wadah kalian, yang kemudian tanpa diketahui kalian meminumnya dan lantas teracuni.

Melalui gambaran ini, Rasulullah mengajak para sahabat untuk menyembunyikan hikmah dari orang-orang munafik, untuk menutup mulut mereka dan berhenti berbicara, karena mereka adalah tikus-tikus yang sama sekali tidak pantas memperoleh hikmah dan kenikmatan ini.

Maulana Rumi berkata,

“Amir yang baru saja pergi dari hadapanku itu, meskipun ia tidak mengerti secara detail, tapi secara umum ia sudah memahaminya, bahwa aku mengajaknya ke jalan Tuhan. Cara memohonnya yang amat santun, anggukan kepalanya, cinta dan kerinduannya yang mendalam, menunjukkan bahwa ia memang sudah paham. Ya, orang desa ini datang ke kota untuk mendengar kumandang azan salat, meskipun ia tidak memahami azan itu secara detail, tapi secara umum ia mengerti maksud dan artinya.”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum