Memori Perang Bubat: Larangan Pernikahan antara Sunda dan Jawa

image

Pernikahan beda etnis merupakan bentuk asimilasi yang banyak dijumpai, terlebih di wilayah masyarakat majemuk. Namun hal tersebut juga beriringan dengan pembicaraan mengenai “ etnis ini gaboleh nikah sama etnis itu “. Seperti halnya dapat ditemukan, adanya pelarangan mengenai pernikahan antara orang Sunda dan orang Jawa. Bukan tanpa sebab akibat, ternyata pelarangan ini diduga berangkat dari adanya konflik antara Kerajaan Majapahit (Jawa) dan Kerajaan Pajajaran (Sunda), hingga terjadinya peperangan yang dikenal sebagai Perang Bubat.

Bermula dari niatan Raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit menikahi Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari kerajaan Sunda. Niatan itupun juga didorong dengan adanya alasan politik yaitu untuk mengikat persekuatan dengan Kerajaan Sunda. Pernikahan kemudian direncanakan akan diberlangsungkan di Majapahit setelah dikirimnya surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana, ayah dari Dyah Pitaloka, untuk melamar putrinya. Selanjutnya Maharaja Linggabauana, Dyah Pitaloka, dan beserta rombongan berangkat dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Menurut Kidung Sundayana, momen tersebut mendorong niat Mahapatih Gajah Mada, sosok yang diandalkan oleh Majapahit, untuk menguasai Kerajaan Sunda pada pemenuhan Sumpah Palapanya dalam mempersatukan Nusantara karena hanya Kerajaan Sunda yang belum dikuasai oleh Majapahit. Sehingga Gajah Mada pun membuat pernyataan dan mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, namun menjadi simbol ditaklukannya Kerajaan Sunda dibawah Majapahit. Tentunya, dari pihak Linggabuana tidak menerima penyerahan Dyah Pitaloka dianggap sebagai simbol penyerahan sehingga menolak mentah-mentah permintaan tersebut.

image

Tidak bisa dihindari, timbul perselisihan antara Linggabuana dengan Gajah Mada hingga menyebabkan peperangan dengan pasukan di pihak Linggabuana yang sangat terbatas. Sementara saat Gajah Mada mengirim dan mengarahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat untuk melakukan penyerangan, sebenarnya Hayam Wuruk belum memberi keputusan, sehingga berdampak renggangnya hubungan antara Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Pasukan Linggabuana beserta rombongan pun tewas di medan perang, kecuali Dyah Pitaloka. Namun ia melakukan ritual bela pati (bunuh diri), yang didalam tata perilaku dan nilai yang berlaku pada kasta ksatria dianggap sebagai bentuk menjaga kehormatan bangsan dan negara saat gugurnya kaum laki-laki di medan perang.

Pangeran Niskala Wastu Kancana, adik dari Putri Dyah Pitaloka yang merupakan satu-satunya keturunan yang masih hidup karena tidak ikut bersama rombongan, naik tahta menjadi Prabu Niskalawatu Kancana. Ia membuat kebijakan tentang peraturan “ esti ti luaran“ (beristri dari luar) yang ditafsirkan sebagai bentuk pelarangan menikah dengan orang Jawa. Dengan dikeluarkannya perintah tersebut, menunjukkan putusnya hubungan diplomatik antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Majapahit. Bentuk pelarangan menikah antara Sunda dan Jawa inipun dilakukan secara turun temurun hingga menjadi sebuah mitos, yang tak jarang dilakukan sebagai bentuk patuh terhadap pantangan turun temurun tanpa mengetahui latar belakang, bahkan memunculkan gejolak emosional pada saat-saat tertentu.

Namun dewasa ini, pertikaian antara suku Sunda dan suku Jawa ini dianggap telah berakhir dengan ditandainya peresmian oleh Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Wali Kota Bandung, Ridwal Kamil, mengenai nama jalan di beberapa jalan baru di Jalan Ring Road Yogyakarta pada tahun 2017.

image

Jalan ini melingkar sepanjang 36,73 km yang terdapat dua ruas jalannya diberi nama Jl. Pajajaran dan Jl. Siliwangi yang berasal dari nama raja dan kerajaan Sunda. Dengan demikian, perselisihan antara Sunda dan Jawa ini dianggap sudah berakhir dan menjadi titik balik jalinan hubungan harmonis diantara Sunda dan Jawa.

1 Like