Media Cetak Bisa Mati, Jurnalisme (Seharusnya) Tidak

sumber gambar

Bagaimana media besar berbasis cetak memandang perubahan karakter pembaca? Bagaimana dengan versi harian dan daring mereka yang sangat beda kualitas jurnalismenya?

tirto.id - “Saya kira [media cetak] tetap akan bertahan. Cuma memang ini situasi yang sedang mencari keseimbangan baru.”

“Tidak harus semua media cetak bermigrasi ke digital. Bahwa dalam beberapa hal mereka menampilkan versi digital, itu OK. Tetapi, saya kira, media cetak tetap masih akan bisa muncul.”

Dua pernyataan itu diutarakan Ignatius Haryanto, peneliti senior di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Haryanto juga menjadi anggota dewan penasihat Remotivi, lembaga studi dan pemantauan media berbasis di Jakarta, serta ombudsman di koran Kompas. Dari dua pernyataan itu, ia masih optimistis bahwa cetak tak bakalan mati.

Pada 2015, Haryanto mengunjungi dua kota di Kalimantan. Ia menyempatkan bertemu dengan pengelola media lokal di dua kota itu. Dalam obrolannya, ia bertanya soal seberapa besar pengaruh media daring (online) terhadap bisnis dan eksistensi koran mereka?

Kedua pengelola harian lokal itu memiliki jawaban senada, bahwa mereka belum merasakan ada pengaruh apa-apa, bahwa bisnis mereka masih jalan, bahwa koran mereka masih dibeli.

Bagi Haryanto, apa yang terjadi sekarang—melambatnya bisnis media cetak—lebih kepada pertarungan kualitas jurnalisme. Mereka yang kualitas jurnalismenya baik dan teruji akan tetap dibaca, apapun mediumnya.

Namun, bagaimana menilai mutu dan kualitas jurnalisme? Media daring di Indonesia semula, dan masih sering kita jumpai kini termasuk tempat saya bekerja, memproduksi berita-berita cepat dan pendek dengan satu-dua narasumber, disertai setumpukan tautan dari reportase yang dikerjakan secara bertahap dan mencicil. Belakangan ada kesadaran bahwa media daring tak cuma mengandalkan konten cepat saji. Kasus khusus di Indonesia, belum banyak media arus utama yang tumbuh dan besar di era Orde Baru, menerapkan standar yang sama dari versi cetaknya saat membuat portal daring.

Manajemennya juga berbeda. Ada sentimen antara wartawan cetak dan daring di satu perusahaan yang sama. Standar dan cara mendalami informasi pun lain. Bila kita merujuk kriteria dari sebuah penghargaan suratkabar nasional di Amerika Serikat maupun Kanada, misalnya, ada sejumlah kriteria sebuah karya jurnalisme dinilai berkualitas dan ulung.

Pada gagasan, misalnya, ukurannya pada apakah punya nilai signifikan bagi reporter dan pembaca untuk mendalami ide tersebut, layak berita, aktual, idenya orisinal dan kreatif, selain segar dan punya nilai inisiatif.

Dalam peliputan, karya tersebut mendalam sekaligus meluas, mampu menempatkan konteks dan latar belakang, akurat, verifikatif, komprehensif, sumber-sumbernya relevan baik resmi maupun orang biasa, menggambarkan secara detail yang mampu menggerakkan pembaca, menjawab rasa ingin tahu pembaca, selain menghibur dan menyimpan upaya gigih.

Dalam penulisan, yang dinilai adalah bahasa, gaya, suara, dan mood bisa secara tepat menempatkan konteks, dapat dipercaya, pembukaan menarik, jernih, fokusnya kuat, struktur dan menyusun kisah apik, menaruh kutipan atau anekdot secara efektif, narasi dan deskripsinya kuat, setia dengan akurasi, kreatif alias berani menghindari klise, plus mampu menarik pembaca dari awal sampai akhir.

Kriteria macam itu tentu takkan Anda dapatkan dalam penyajian atau fomat pemberitaan yang serba mengejar kecepatan. Sayangnya, di Indonesia, betapapun umur kebebasan media mulai terbuka sejak 1998 dan beragam media arus utama mengembangkan bisnis berita online mereka, sisi kedalaman atau laporan feature masih jarang dipakai. Hal ini mulai disadari sejak dua-tiga tahun terakhir.

Saya tertarik untuk mengetahui bagaimana pandangan beberapa manajemen media di Jakarta melihat tren kesadaran pada kualitas jurnalisme itu, antara cetak dan daring dalam perusahaan medianya, sekaligus apa yang tengah disiapkan sejalan perkembangan internet mengubah secara drastis lanskap media, yang pelan-pelan menggerus bisnis cetak.

Saya bertemu dengan Hery Trianto, pemimpin redaksi Bisnis Indonesia, harian tempat dulu saya bekerja, yang baru sepekan resmi bertugas di posisi barunya itu. Ia mengawali karier sebagai wartawan di Bisnis sejak Februari 2001.

Tak seperti banyak koran lain, Bisnis Indonesia diuntungkan oleh segmen pembaca yang spesifik, yakni investor, pelaku bisnis, korporasi, hingga pengambil kebijakan. Ini sedikit-banyak memberi ekosistem bisnis yang agak adem bagi Bisnis Indonesia.

Ia tak dijual eceran, distribusinya langsung ke para pelanggan, yang 97 persen adalah korporasi. Jadi, ketika Bisnis menaikkan harga jual hingga 48 persen pada 2015, alih-alih merugi, pendapatannya malah naik hingga 10 persen. Di antara koran-koran yang terbit di Indonesia, Bisnis Indonesia menjadi koran paling mahal dengan harga eceran Rp9.000. Di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur, ia dibanderol Rp10.000.

Bisnis Indonesia juga diuntungkan oleh aturan yang mengharuskan setiap perusahaan mempublikasikan laporan keuangan di media massa. Publikasi itu tentu tak gratis. Ia dihitung seperti iklan. Setiap musim laporan keuangan tiap kuartal alias tiga bulan, halaman Bisnis Indonesia kerap dipenuhi laporan keuangan.

Berbeda dengan jenis iklan lain, iklan laporan keuangan adalah iklan yang memiliki nilai khusus bagi para pembaca. Ia hal penting untuk diketahui para investor.

Menghadapi kemungkinan terus tergerus pembaca media cetak karena gempuran internet, Hery berkata pihaknya belum memiliki rencana jangka panjang untuk bisa mentransfer kualitas jurnalisme dari koran ke medium lain. Saat ini yang dilakukan hanyalah menjual e-paper (electronik paper).

Selain e-paper, Bisnis Indonesia juga memiliki portal berita Bisnis.com. Tetapi khas kebanyakan media daring di Indonesia, termasuk media tempat saya bekerja, cenderung mengandalkan kecepatan dan mengejar trafik. Tulisan di koran lebih mendalam, memiliki banyak sumber, dan terkadang dipadukan infografik.

“Online ini banyak sekali tantangannya, indikator kesuksesannya adalah trafik, tetapi pendapatan iklannya belum linear,” kata Hery. Maksud Hery, pendapatan iklan dari Bisnis.com belum bisa menutupi seluruh biaya operasionalnya. Jadi, selama ini operasional Bisnis.com masih disubsidi dari koran.

sumber