Matahari Ucapan Itu Amat Lembut

Taman Surga

Maulana Rumi pernah ditanya tentang makna bait ke 277 dalam kitab Matsnawi berikut:

Kamu adalah pikiranmu, wahai saudaraku

Tak tersisa darimu selain tulang belulang dan urat-urat syaraf.

Kemudian beliau berkata: “Renungkanlah makna ini; Pemikiran ini adalah isyarat menuju pemikiran yang tertentu itu. Kami mengungkapkannya dengan istilah pemikiran agar maknanya menjadi lebih luas. Sejatinya ia bukanlah pemikiran itu sendiri. Jika demikian, maka ia bukanlah jenis pemikiran sebagaimana yang umum dipahami oleh manusia. Yang kami maksud dengan istilah ‘pemikiran’ adalah makna hakikinya. Jika ada orang yang ingin menakwil makna ini dengan lebih banyak contoh agar bisa dipahami oleh orang awam, maka katakanlah: ‘Manusia adalah hewan yang berbicara.’

Ucapan adalah sebuah pemikiran, baik tersembunyi maupun nampak. Sementara selain itu adalah hewan. Karenanya, sangat benar jika dikatakan bahwa manusia adalah ungkapan dari sebuah pemikiran, dan sisanya adalah ‘tulang belulang dan urat syaraf ’ semata. Kata-kata itu seperti matahari, yang mana semua manusia memperoleh kehangatan dan kehidupan darinya. Matahari akan selalu ada dan hadir. Selamanya umat manusia akan mendapatkan kehangatan darinya, tetapi hakikat matahari tidak selalu bisa terlihat. Manusia tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya menyandarkan kehidupan dan kehangatan padanya. Ketika pemikiran diungkapkan melalui sebuah kata atau pun frasa, baik dengan cara mensyukuri atau merintih dan dengan kebaikan atau kejelekan, maka matahari akan menjadi tampak sebagaimana matahari di atas cakrawala yang selalu bersinar itu.

Sinar matahari itu tidak akan tampak kecuali jika ia memantul ke dinding. Demikian juga dengan cahaya dari matahari ucapan, ia tidak akan tampak selain dengan menggunakan huruf dan suara. Meskipun esensinya senantiasa ada—karena matahari itu begitu lembut dan dia adalah maha halus—ia membutuhkan sebuah unsur yang padat untuk menyingkapnya sehingga ia bisa terlihat dan tampak.

Seseorang berkata: “Sesungguhnya makna yang dimiliki Allah itu tidak nampak, tetapi sederet kata bisa melukiskan makna tersebut. Ketika mereka berkata: ‘Allah melakukan ini, memerintahkan begini dan melarang berbuat ini,’ makna itu akan menjadi hangat dan terlihat. Meski kelembutan Allah selalu ada dan menerangi orang itu, ia tetap tidak akan mampu untuk melihatnya sebelum ia menjelaskan hal itu dengan perantaraan perintah, larangan, ciptaan, dan kekuasaan.

Ada sebagian manusia yang—karena kelemahannya—tidak boleh meminum madu. Tapi ketika madu itu dihidangkan ke hadapan mereka melalui perantaraan makanan yang lainnya seperti zardah (semacam kue bolu), halwa dan lain-lain, mereka bisa menyantapnya dan akhirnya mereka bisa menikmati madu dalam bentuk yang lain.

Jadi, sudah jelas bahwa ucapan adalah matahari yang lembut yang akan terus menyinari tanpa henti. Tetapi untuk dapat melihat dan menikmati sinarnya, kamu membutuhkan media yang tebal. Ketika kamu bisa melihat sinar dan kelembutannya tanpa media yang tebal dan semua itu menjadi tabiatmu, maka kamu akan berani memikirkannya dan mengambil kekuatan darinya. Di dasar lautan kelembutan itu, kamu akan melihat warna-warna yang menakjubkan dan pemandangan yang memukau. Tetapi apa anehnya semua itu? Ucapan itu selamanya ada dalam dirimu, baik kamu bicara atau diam, dan bahkan sekalipun tidak ada ucapan dalam pikiranmu.

Kami berkata: “Sesungguhnya ucapan akan selalu ada, seperti yang dikatakan; ‘Manusia adalah hewan yang berbicara.’ Predikat kebinatangan ini akan selamanya ada bersamamu selama kamu hidup, sebagaimana ucapan yang selalu ada bersamamu. Seperti halnya aktivitas makan yang bisa menampakkan karakter hewani, meski ia bukan syarat. Dengan cara yang sama, ucapan menuntut adanya pembicaraan dan penyia-nyiaan, meski ia juga bukan syarat.

Manusia memiliki tiga keadaan. Pertama, mereka tidak melihat Allah sama sekali, tetapi menyembah dan patuh pada selain-Nya; perempuan, laki-laki, harta, anak, batu dan debu. Mereka tidak menyembah Allah. Lalu ketika mereka mendapatkan sedikit pengetahuan dan pencerahan, mereka tidak menyembah selain kepada Allah. Setelah mempelajari dan melihat lebih banyak, mereka diam dan tidak berkata: “Aku tidak menyembah Allah” dan tidak juga berkata: “Aku menyembah Allah,” sebab mereka telah melewati dua tingkatan ini. Tidak ada suara yang mereka keluarkan pada alam.

Allah tidak hadir dan tidak juga gaib, sebab Dia yang menciptakan kedua dimensi tersebut. Oleh sebab itu, Allah tidak disifati dengan keduanya. Seandainya Dia hadir, maka di sana tidak boleh ada kegaiban. Tetapi kenyataannya kegaiban itu tetap ada meski Allah tidak hadir, sebab ketika Dia hadir, maka di sana akan terdapat kegaiban. Allah tidak disifati dengan kehadiran maupun ketidakhadiran. Sebab jika tidak demikian, dari sana bisa dipastikan adanya oposisi yang datang dari oposisi. Karena dalam kegaiban, lazim baginya untuk menciptakan kehadiran yang merupakan oposisinya, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, tidak bisa dikatakan: “Oposisi datang dari oposisi.” Kita juga tidak pantas berkata: “Sesungguhnya Allah menciptakan sesamanya,” karena Ia berfirman: “Ia tidak memiliki kawan.” Jika sesuatu dimungkinkan menciptakan sesuatu yang menyerupainya, maka di sana akan ada aktivitas pengunggulan tanpa ada yang mengunggulkan. Akhirnya akan menjadi keniscayaan adanya “Sesuatu yang menciptakan dirinya sendiri,” dan keduanya sama-sama tiada.

Ketika kamu sudah sampai di sini, berhentilah dan jangan pergi. Di sini akal tidak bisa beranjak lebih jauh lagi. Ketika dia sampai di tepi pantai, ia akan berhenti sehingga diam yang lama tidak ada dalam suratan takdirnya.

Setiap kata-kata, ilmu, seni, huruf, aroma dan rasanya diambil dari ucapan ini. Ketika ucapan itu tidak ada, tidak tersisa lagi rasa dari setiap amalan dan pekerjaan. Akhir dari bab itu tidak mereka ketahui sebab pengetahuan bukanlah syarat. Seperti halnya seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan kaya yang memiliki dua kambing, kuda dan yang lainnya. Lelaki itu menaruh perhatian pada kambing dan kuda serta menyirami beberapa kebun setiap saat. Meskipun ia sibuk dengan pelayanan itu, namun aroma dari segala amalnya bersumber dari keberadaan si perempuan. Jika perempuan itu ditakdirkan untuk pergi, maka rasa dari segala amalan itu tidak akan tersisa lagi dan kehangatan cinta perempuan di hati sang pria yang tidak lagi memiliki roh itu akan sirna. Demikianlah karena setiap pekerjaan dunia, dengan ilmu dan kecakapannya, memiliki kenikmatan yang bersandar pada pancaran aroma seorang bijak. Seandainya tidak ada aroma dan wujudnya, seluruh amalan itu tidak mungkin beraroma dan terasa nikmat, dan yang tersisa hanyalah bangkai belaka.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum