Mari Bercermin dengan Akhlak Mulia dan Menyemai Pahala

Penulis : Mhd. Ridho

Bagi setiap muslim, bahkan semua umat manusia, mempelajari akhlak mulia dan mengamalkannya adalah sesuatu yang niscaya. Betapa tidak, akhlak mulia adalah suatu perilaku yang membuat pelakunya menjadi sorotan dan perbincangan oleh orang banyak. Hal ini akan terus terjadi meskipun pelakunya telah meninggalkan dunia yang fana. Karena, pada dasarnya, manusia memang menyukai perbuatan baik dan membenci perbuatan buruk. Sorotan dan perbincangan yang terjadi di antara manusia tersebut maksudnya adalah dalam konteks menyukai perbuatan baik. Orang-orang yang diketahui memiliki akhlak mulia ialah para ulama dan orang-orang saleh lain yang semisalnya. Kalau para ulama dan orang-orang saleh terdahulu pada memiliki akhlak mulia, lantas bagaimana dengan kita?

Meskipun pada dasarnya akhlak terbagi menjadi dua macam, yaitu akhlak terpuji dan akhlak tercela, namun dalam artikel ini saya hanya akan mengupas ringkas persoalan akhlak dari sisi baiknya saja (yang terpuji), karena melihat telah banyaknya umat Islam berpaling dari sisi ini. Hal ini terjadi karena mengabaikan dua petunjuk yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya yang mulia, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Selain itu, karena saya juga melihat bahwa tema yang ditetapkan oleh panitia penyelenggara lomba ini hanya mengarah pada konteks akhlak mulia, bukannya akhlak tercela. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya akan memaparkan kepada pembaca tentang akhlak mulia yang dengannya kita mestinya senantiasa bercermin untuk membentuk akhlak mulia itu sendiri pada diri kita masing-masing.

Akhlak mulia (terpuji) sejatinya merupakan cermin bagi orang-orang yang ingin bercermin untuk melihat apakah selama ini dirinya sudah memiliki akhlak yang baik atau belum. Sungguh, akhlak yang terpuji akan membuat orang-orang yang hina menjadi mulia, yang merasa jelek akan menjadi terlihat tampan dan cantik, yang miskin menjadi kaya, serta masih banyak lagi perubahan hidup yang akan diangkat dan diubah oleh akhlak mulia bagi para pelakunya. Dengan kata lain, akhlak mulia secara otomatis akan memberikan keuntungan yang jelas kepada siapa pun dengan tidak memandang jabatan pelakunya, statusnya, rupanya, umurnya, serta keadaan ekonominya. Bukahkah kita sangat mengharapkan keuntungan ini, wahai saudaraku? Sebaliknya, orang-orang yang menanggalkan akhlak yang baik dan mengenakan akhlak yang buruk, maka mereka akan menuai kehinaan dalam hidupnya, baik di dunia maupun akhirat. Bukankah kita tidak menginginkan kerugian ini, wahai saudaraku?

Bahkan, akhlak mulia merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh para nabi dan orang-orang saleh, yang dengannya mereka dan seluruh pelakunya menjadi lebih tinggi derajat dan kedudukannya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyifati rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu ayat yang menghimpun semua kebaikan akhlak.

Allah ‘azza wa jalla berfirman, yang artinya:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4).

Begitu pula akhlak yang mulia menjadi sebab Allah mencintai seorang hamba. Dari Usamah bin Syarik radhiallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hamba Allah yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Thabrani, sahih).

Menyempurnakan akhlak mulia merupakan salah satu di antara tujuan Rasulullah diutus, selain tentunya menegakkan tauhid di muka bumi ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Hakim).

Rasulullah juga telah menetapkan barometer akhlak mulia sebagai petunjuk bagi kita untuk memahami lebih jelas bahwa kepada siapa seharusnya kita lebih dahulu berakhlak mulia dalam hubungan kita kepada sesama manusia. Dan, dengan barometer ini pula kita bisa melihat seperti apa sebenarnya akhlak seseorang, apakah memang mulia atau sebaliknya, tercela. Barometer yang dimaksud adalah keluarga.

Rasulullah shallallau ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR. at-Tirmidzi, sahih).

Mengapa Rasulullah menjadikan “keluarga” sebagai “barometer utama” untuk menilai akhlak seseorang? Untuk pertanyaan ini, setidaknya ada alasan yang logis sebagai jawabannya, yaitu karena umumnya sebagian besar waktu seseorang habis di rumah untuk membersamai istri dan anak-anaknya. Di rumah, karakter dan akhlak seseorang akan tampak jelas seperti apa. Seseorang tentu saja tidak akan tahan menyembunyikan akhlak buruknya jika seandainya di rumah ia merupakan seorang yang memiliki akhlak yang buruk, sementara di luar rumah atau di tempat kerja ia menampilkan akhlak yang baik. Sebaliknya, jika seandainya orang tersebut memang benar-benar memiliki akhlak mulia, maka kapan pun dan di mana pun ia berada, akhlak mulia itu akan senantiasa menyertainya.

Jadi, tidak selamanya orang-orang (teman) yang menurut kita baik ketika bersama kita, mereka benar-benar baik. Artinya, bila ingin menilai akhlak teman kita tersebut, janganlah hanya menilai sebatas pada apa yang tampak darinya, melainkan kita perlu memastikannya melalui pengamatan atau wawancara sederhana terhadap keluarganya. Tentunya, kegiatan tersebut juga tidak lepas dari memperhatikan tujuan dan etika kita supaya tidak terkesan kepo .

Adapun potret kemuliaan akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap keluarganya dapat dilihat dari beberapa hal dalam hadis berikut.

  1. Nabi turut membantu istrinya dalam urusan dapur
    Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah tatkala bersamamu (di rumah)?” ‘Aisyah menjawab, "Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ibnu Hibban).

  2. Nabi berpenampilan yang baik di hadapan istrinya
    Dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha, dia berkata, “Jika memasuki rumah, hal yang pertama kali dilakukan Nabi adalah bersiwak.” (HR. Muslim).

  3. Nabi tidak pernah bosan menasihati keluarganya
    Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan kepada para suami, “Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri.” (HR. Tirmidzi, hasan menurut al-Albani).

Adapun contoh-contoh riil akhlak mulia berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah jumlahnya adalah banyak sekali. Namun, dalam artikel ini saya hanya mengutip beberapa akhlak mulia yang dipandang oleh para ulama sebagai akhlak yang utama. Dan ini tidak berarti akhlak yang lain—yang tidak saya sebutkan—tidak ada keutamaannya.

1. Sabar

Di antara akhlak mulia yang utama adalah sabar. Dan kesabaran yang paling utama adalah bersabar di saat tertimpa cobaan. Kesabaran termasuk akhlak yang menjadi sebab kecintaan Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman, “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imran: 146).

Rasulullah bersabda, “Tidak ada karunia yang paling baik dan luas yang diberikan kepada seseorang selain kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Senyum

Senyum merupakan akhlak mulia yang paling mudah dilakukan. Namun, kebanyakan orang Islam sulit sekali dan enggan melakukannya, karena mungkin tidak mengetahui manfaatnya. Contohnya adalah hadis dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallahu 'anhu bahwa beliau mengatakan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melarangku untuk bertemu beliau semenjak aku masuk Islam dan tidaklah beliau melihat aku kecuali beliau tersenyum ke wajahku.” (HR. Bukhari).

Terkait hadis di atas, al-Hafizh adz-Dzahabi mengomentarinya sebagai berikut: “Ini adalah akhlak Islam. Sepatutnya orang yang punya sifat bawaan cemberut dan tegang, sulit senyum untuk berlatih suka senyum, memperbagus akhlaknya dan membenci dirinya yang memiliki akhlak yang buruk. Sebuah keniscayaan melawan dan menghukum diri sendiri agar bisa menjadi orang yang mudah tersenyum.”

Kemudian juga dari Abdullah bin Harits radhiallahu 'anhu berkata, “Saya tidak melihat seorang pun yang paling banyak senyumnya melebihi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad).

3. Malu

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya termasuk sesuatu yang didapatkan manusia dari kenabian pertama adalah ungkapan, ‘Jika kamu tidak tahu malu, maka perbuatlah sekehendakmu!’.” (HR. al-Bukhari).

4. Dermawan

Di antara tingkatan akhlak mulia yang paling tinggi adalah itsar. Itsar itu apa? Itsar adalah mendahulukan orang lain dalam urusan dunia walaupun kita sebenarnya butuh. Sampai-sampai Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Diin menyatakan bahwa itsar adalah tingkatan dermawan (as-sakha’) yang paling tinggi.

Sifat ini juga dimiliki oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia pernah bersedekah dengan seluruh hartanya. Rasulullah lantas bertanya kepadanya, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku titipkan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Umar bin Khattab lantas mengatakan, “Itulah mengapa aku tidak bisa mengalahkanmu selamanya.” Sebelumnya Umar bersedekah dengan separuh hartanya dan menyisakan separuhnya untuk keluarganya. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

5. Membantu orang lain yang memerlukan bantuan

Rasul al-Amin shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh pula membiarkannya tanpa pertolongan. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah memenuhi kebutuhannya, barang siapa mengeluarkan seorang muslim dari sesuatu kesengsaraan (di dunia), maka dengan (perbuatan)nya itu, niscaya Allah mengeluarkannya dari kesengsaraan di antara kesengsaraan-kesengsaraan Hari Kiamat. Dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aibnya di Hari Kiamat kelak.” (HR. Bukhari).

Sangat benar sekali ungkapan yang mengatakan bahwa “suatu perkara yang tidak akan habis tatkala dibagi adalah kebahagiaan”. Oleh karenanya, dalam hadis disebutkan bahwa Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata, "Bahwa seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan kerasnya hatinya. Maka beliau berkata: “Jika engkau ingin hatimu menjadi lembut, maka berilah makan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad).

6. Menahan amarah

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa ada seseorang yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah nasihat kepadaku!” Rasulullah menjawab, “Engkau jangan cepat marah!” Kemudian orang itu mengulangi pernyataan tersebut berkali-kali. Dan Rasulullah menjawabnya dengan ungkapan, “Engkau jangan cepat marah!” (HR. Bukhari).

Rasulullah memberikan janji kepada orang-orang yang mampu melampiaskan amarah namun menahan amarahnya pada saat ingin benar-benar marah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa menahan amarah ketika ia mampu melampiaskannya, maka di hari kiamat akan dipanggil oleh Allah di hadapan semua makhluk-Nya dan ditawari memilih bidadari sekehendak-nya.” (HR. Bukhari).

Ditanyakan kepada Abdullah bin Mubarok rahimahullah ta’ala, "Simpulkan untuk kami apa itu akhlak mulia dalam satu kalimat pendek!” Jawaban beliau, “Tinggalkan amarah.”

7. Berkata-kata baik

Saudaraku, satu kalimat yang ringan diucapkan dengan penuh kelembutan namun mendatangkan pahala sebagai ganjaran kepadanya, dan hal ini termasuk salah satu bentuk sedekah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Satu kata yang baik adalah sedekah.” (Muttafaq ‘alaih).

8. Akhlak mulia minimalis

Yahya bin Muadz ar-Razi rahimahullah mengatakan, "Hendaknya tiga sikap ini kau berikan kepada setiap mukmin: (1) Jika engkau tidak mampu membantunya minimal jangan menyusahkannya, (2) Jika tidak bisa membuatnya gembira minimal jangan membuatnya sedih, (3) Jika tidak bisa memberi apresiasi minimal jangan mencelanya.”

Inilah akhlak yang ideal dan akhlak minimalis kepada sesama muslim terutama kepada orang yang punya hubungan khusus dengan kita, misalnya, suami, isteri dan kerabat. Ketahulih saudaraku, jika Anda tidak bisa berakhlak seperti yang telah dipaparkan di atas, maka sebaiknya Anda minimal jangan menjadi sebab orang lain sedih, kecewa dan menangis.

Para ulama Islam, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, mereka adalah orang-orang yang senantiasa berhias dengan akhlak mulia. Mereka menanggalkan akhlak-akhlak yang buruk (tercela) dan mengenakan akhlak-akhlak yang mulia (terpuji) sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah perbuatan ini mereka lakukan, kecuali semata-mata hanyalah untuk memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat serta mengharapkan wajah Allah Yang Maha Mulia.

Dalam hubungannya dengan tema, tidaklah seseorang mampu berakhlak mulia, kecuali bila hatinya telah diberi petunjuk oleh Allah ‘azza wa jalla dan bersih dari segala sesuatu yang mengotorinya. Dengan demikian, sebagai seorang yang beriman, kita tidak boleh berputus asa dari mencapai harapan-harapan kita—setelah berharap kepada Allah—yaitu, bisa mempelajari akhlak mulia berdasarkan tuntunan Nabi, serta bisa senantiasa berhias dengannya, kapan pun dan di mana pun kita berada. Sungguh beruntung orang-orang yang Allah beri kemudahan dalam berhias dengan kemuliaan akhlak, namun sungguh merugi orang-orang yang berpaling dari tuntunan teladan yang mulia, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

REFERENSI

  • Al-Munajjid, Muhammad Saleh. 1998. Kiat Berpegang Teguh dalam Agama Allah . Alih Bahasa: Abullah Haidir. Tanpa kota: tanpa penerbit.
  • Andirja, Firanda. 2020. Agar Hidup Lebih Bermakna . 23 April 2020. Diunduh dari http://www.firanda.com.
  • Anonim. 2004. Akhlak dalam Perspektif Islam . Tanpa kota: tanpa penerbit.
  • Ash-Shughayyir, Falih bin Muhammad. 2017. Dahsyatnya Pengaruh Amal Shalih dalam Kehidupan Seorang Muslim (Terj. Fahrizal Tirmidzi). Cet. II. Jakarta: Darul Haq.
  • Daqiqil’ied, Imam Ibnu. 2008. Syarah Empat Puluh Hadis . Alih Bahasa: Hidayat Mustafid. Riyadh: Kantor Kerjasama Dakwah, Bimbingan dan Penyuluhan bagi Pendatang.
  • Munandar, Aris. 2020. Nasihat Ulama Penggugah Jiwa . Yogyakarta: Maktabah Hasyim. 23 April 2020. Diunduh dari http://www.muslim.or.id.
  • Tuasikal, Muhammad Abduh. Sudahlah Biarkan Dia Duluan! Kisah Itsar pada Masa Salaf . 31 Maret 2020. Diunduh dari http://www.rumaysho.com.
  • Wahyudi, Ari. 2020. Untaian Faidah Pelipur Lara . 20 April 2020. Diunduh dari http://www.muslim.or.id.
  • Zaen, Abdullah. Barometer Akhlak Mulia . 5 April 2020. Diunduh dari http://www.ibnumajjah.wordpress.com.

Sumber gambar: https://www.tokopedia.com/

1 Like