Maraknya Fenomena Penistaan Agama, Benarkah Hukum Kurang "Tajam" Ke Pelaku?

WhatsApp Image 2021-08-26 at 19.52.58

Agama merupakan satu dari sekian unsur terpenting dalam masyarakat karena agama merupakan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Dalam arti sempit, agama adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya. Sehingga kebebasan bagi masyarakat untuk beragama harus dihargai, dijamin dan dilindungi. Kebebasan dalam beragama harus dipahami dengan pengertian yang luas seperti kebebasan untuk membangun tempat ibadah, melakukan ibadah sesuai ajaran agamanya, hingga dalam hal dakwah (publikasi). Kebebasan bergama sejatinya sudah diatur dalam UUD 1945 amandemen kedua pasal 28E ayat 1 dan 2, yang menjelaskan bahwa tiap warga negara diberikan kebebasan untuk: memeluk, meyakini, dan/atau menjalankan agamanya, memilih kewarganegaraan dan tempat tinggal, memilih pendidikan serta pengajaran. Sehingga dapat kita pahami bahwa memeluk agama atau mayakini suatu kepercayaan di Indonesia serta menjalankan aktivitas keagamannya merupakan hak bagi seluruh warga negara. Namun, akhir akhir ini banyak tindakan tidak terpuji terkait persoalan agama, yaitu penistaan agama.

Penistaan agama sendiri merupakan tindak penghinaan atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, adat istiadat, atribut atau simbol-simbol agama yang dipandang dengan suci dan keyakinan suatu agama yg hanya didasarkan pada pendapat pribadi seseorang. Penistaan agama bisa berupa tutur kata, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok atau orang atau lembaga atau organisasi dalam bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau kelompok lain yang berkaitan dengan agama. Padahal agama merupakan hal yang sakral bagi para pemeluknya. Sejatinya, para penista agama sudah mendapat hukuman atas apa yang diperbuat. Namun, bukannya membuat jera malah memuncul para penista penista agama baru dengan berbagai tindakan maupun ucapannya. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah hukuman bagi para penista agama kurang “tajam”, atau bahkan seharusnya para penista agama dihukum sangat berat?. Mengingat hal tersebut berkaitan dengan agama, sesuatu yang sangat sensisitf bagi setiap manusia.

Menurut kalian, apakah benar demikian? Lantas, hukuman apa yang pantas bagi para penista agama? Tulis pendapat kalian di kolom komentar yaa.

Summary

Lala, A., 2017. ANALISIS TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DAN SANKSI BAGI PELAKU PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA. Jurnal Ilmiah Indonesia, Maret, Volume 2(Issue 3), pp. 1-3.

Jika dilihat dari keadaan sekitar, masih banyak orang yang melakukan tindak penistaan agama, terutama di media sosial. Aku juga sangat setuju bahwa hukum kurang tajam ke pelaku karena hingga saat ini masih banyak sekali orang yang terus menerus melakukan tindakan tersebut dan tidak dikenai hukuman apa-apa. Padahal permasalahan ini sudah diatur dalam Pasal 156 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 156a KUHP juga menyebutkan bahwa, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Oleh karena itu, sudah sepantasnya pelaku penistaan agama mendapatkan hukuman yang telah diatur seperti diatas. Masih banyak kasus yang belum terlihat dan diperhatikan sehingga masih banyak juga orang yang berani melakukan penistaan agama.

Referensi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Buku Kedua - Wikisource bahasa Indonesia

Akhir-akhir ini sering kali kita lihat banyaknya penistaan agama yang terjadi baik di dunia maya bahkan di dunia nyata sekalipun, penistaan yang sering terjadi itu dapat berupa tulisan, perkataan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang berhubungan dengan unsur SARA yang dapat menimbulkan rasa kebencian orang yang mendengarnya.

Tidak tahu ini hanya perasaanku saja atu teman-teman juga ikut merasakannya, pelaku penistaan agama ini jika terekspos/ terlanjur viral maka pada awalnya memang akan diusut dan diberikan hukuman yang berlaku dan tentunya hukum sosial yang berasal dari masyarakat. Tapi ketika pelaku tersebut memiliki “kekuatan” lebih dengan mudahnya hukuman jadi diringankan, dan ada juga beberapa oknum yang dibayar untuk menjadi pendukungnya dengan memberikan statement positif yang bertujuan untuk melindungi pelaku. Tapi kejadian ini tidak hanya terjadi pada kasus penistaan agama saja sih, masih banyak kasus lainnya yang dibiarkan atau dianggap wajar jika terjadi. Memang pada dasarnya aku masih sangat menyetujui bahwa Hukum di indonesia ini tumpul keatas dan tajam ke bawah.

Penyelesaian masalah melalui jalur hukum harus dipuji, jika alternatifnya adalah respon kekerasan. Namun, khususnya dalam kasus “penistaan agama”, ada banyak alasan untuk meragukan bahwa seruan itu adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah, dan mungkin justru tak menjanjikan keadilan. Sebab utamanya adalah bahwa peristiwa penistaan agama, jika masuk pengadilan, kemungkinan besar merujuk merujuk pada Pasal 156A KUHP, yang tidak memiliki karir gemilang dalam sejarah Indonesia. Ini adalah bagian dari pasal-pasal karet “kejahatan terhadap ketertiban umum” dalam KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.

Setelah tahun 1998, target itu bergeser. Target lama tetap ada, meskipun bukan mengenai aliran-aliran kebatinan lama, tapi gerakan-gerakan baru seperti Salamullah yang dipimpin Lia Eden, atau Millah Abraham. Tak ada isu politik penting dalam mengejar kelompok-kelompok itu, namun alasan utamanya adalah “pemurnian” Islam (dan mungkin alasan soisal-ekonomi-politik lain). Selain itu, tujuan baru penggunaan pasal ini adalah sebagai upaya peminggiran intraagama, yaitu kelompok-kelompok dalam komunitas Muslim sendiri, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sebetulnya sudah eksis di Indonesia sejak jauh sebelumnya. Dalam Kristen, ada beberapa kasus serupa. Pasal penodaan agama jarang digunakan sebagai ekspresi perselisihan antaragama, kecuali dalam beberapa kasus. Melihat rentang wilayah penggunaan pasal KUHP itu, kita bisa segera mencurigai efektifitasnya. Bagaimana mungkin keyakinan (misalnya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir dalam Islam) dijaga dengan pasal yang sama yang memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu keras (seperti di Lombok pada 2010; seorang perempuan Kristen yang mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden” Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah.

Selain rentang implementasi yang demikian luas, persoalan lain adalah amat kaburnya standar pembuktian kasus-kasus semacam itu. Kasus-kasus yang diadili dengan Pasal 156A tersebut biasanya menggunakan cara pembuktian serampangan, dengan pemilihan saksi ahli yang tak jelas standarnya pula (dalam satu kasus pada tahun 2012, seorang yang diajukan sebagai saksi ahli agama bahkan tidak lulus sekolah). Penistaan atau penodaan bukan sekadar pernyataan yang berbeda, tapi—seperti dinyatakan Pasal 156A itu—mesti bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, bahkan mesti ada maksud supaya orang tidak menganut agama apapun.

Dalam kenyataannya, jika kasus ini masuk ke pengadilan, seperti dapat dilihat dalam banyak kasus, pertanyaan-pertanyaan tentang standar pembuktian kerap diabaikan. Penting dilihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000, dan tiba-tiba dalam 15 tahun terakhir demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali. Seperti halnya pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang “penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, upaya seperti ini biasanya memang menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan “kemurnian agama” (tentu dalam versi kelompok yang memiliki kuasa untuk mendiktekannya) dan tujuan politik. Pasal ini menjadi instrumen efektif untuk menjalankan politik “pemurnian” agama, yaitu penegasan kuasa politik suatu kelompok keagamaan. Pada tahun 2010, UU ini dan Pasal 156A diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Benar MK mempertahankan pasal ini, namun perlu dilihat juga catatan panjang yang diberikan para hakim MK tentang kelemahan-kelemahannya, dan saran agar pasal ini direvisi supaya tidak diskriminatif serta mendukung pluralisme Indonesia. Bahwa ada unsur politik, bukan semata-mata pidana, dalam pasal ini, tampak dalam pertimbangan MK yang panjang, hingga mengelaborasi persoalan filosofis mengenai hubungan agama dan negara, dan sejarah Indonesia sebagai negara berketuhanan.

Summary

https://crcs.ugm.ac.id/supremasi-hukum-untuk-penista-agama/

Di Indonesia, payung hukum mengenai penodaan agama diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan “Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama." Keputusan ini ditandatangani Presiden Sukarno pada 27 Januari 1965, tapi baru dilaksanakan pada tahun 1959 (UU No.5/1969) pada masa Presiden Soeharto.

Undang-Undang Penodaan Agama sendiri mencakup dua jenis tindakan, yakni penyimpangan dari enam agama yang diakui secara resmi dan penodaan atas keenam agama tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 4 dari Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965. Dalam catatan Amnesty International dari 2005 hingga 2014, terdapat 102 individu yang diadili dan dihukum menggunakan undang-undang penodaan agama.

Selain pasal 156(a) KHUP, pasal 157 KUHP juga digunakan untuk menuntut para penista agama. Aturan hukum ini digunakan untuk menuntut orang-orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia.Contohnya : Yusman Roy adalah salah satu yang tidak terbukti melakukan penodaan agama dari pasal 156(a) KUHP, tapi tetap dihukum dua tahun penjara dengan tuduhan menyebarkan berita yang mengakibatkan permusuhan (pasal 157 KUHP).

Menariknya, sejak 2011, penistaan agama tidak hanya melibatkan Pasal 156(a) dan Pasal 157 KUHP, melainkan juga Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Tren ini mulai berkembang semenjak media sosial menjadi sarana termudah untuk menyebarkan informasi. Beberapa orang juga dikenakan sanksi berlapis, seperti yang terjadi pada Sebastian Joe, Munarman, Eggi Sudjana, Otto Rajasa, dan Aking Saputra.

Melihat maraknya sangkaan penodaan agama ketika memasuki tahun politik dan transisi masa kepemimpinan, tidak menutup kemungkinan apabila isu ini kembali ramai dari 2018 - sekarang. Apalagi dengan adanya ragam konteks yang dapat dikaitkan terhadap isu penistaan agama, mulai dari konteks personal, politik, hingga politisasi agama.

Selain itu, aturan hukum yang mengatur penodaan agama menjadikan isu ini sebagai senjata ampuh yang dapat membungkam dan mengerangkeng lawan politik. Seseorang yang didakwa melakukan penodaan agama akan sulit mangkir dari tindak hukum dikarenakan pendakwaan dapat dilakukan dengan pasal berlapis, mulai dari Pasal 156(a) KUHP, Pasal 157 KUHP, hingga UU ITE.

Secara general, bicara soal hukum dan semakin maraknya pelaku penistaan agama, saya rasa ngga salah juga jika saya mengatakan kasus ini sama seperti pelaku penyalahgunaan narkoba atau korupsi. Kalo dipikir-pikir kedua pelanggaran tersebut hukuman yang termaktub di Undang-undang juga sudah berat, bahkan ada ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor No. 31 Tahun 1999. Tapi, hal ini juga dirasa tidak menimbulkan efek jera ke pelakunya juga, kan?

Of course, untuk kasus penistaan agama ini juga bukan hukumnya yang kurang ‘tajam’ tapi karena telah terjadi pergeseran makna dari "agamaku ya agamaku, agamamu ya agamamu” menjadi “agamaku ya harus kamu turuti”. Sehingga terkesan makin banyak orang yang ‘sensitif’ terhadap agama sampai ada ‘phobia’ salib seperti logo HUT RI ke 75 tahun lalu, dan undang-undang membenarkannya dengan delik penistaan agama. Apakah panasnya dunia politik punya andil? Saya rasa demikian. Namun saya tidak akan membahas ini lebih lanjut.

Lima tahun ke belakang, perdebatan soal agama sangat berpotensi menjadi diskusi yang tidak lagi sehat. Manusia menjadi lebih mudah panas ketika berdebat soal agama. Sekat dan level toleransi terhadap sesuatu menjadi kabur. Bahkan menjadi terbatas, yang mereka sentuh adalah jendela toleransi agama yang saat ini semakin mengecil.