LGBT, sebuah penyakit atau bukan?

LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) sering kali disebut sebuah penyakit atau kelainan jiwa. Namun, tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa LGBT bukanlah suatu penyakit namun takdir. Di Indonesia sendiri, LGBT masih dianggap tabu dalam segi agama maupun kebudayaannya.

Jadi, bagaimana nih tanggapan teman-teman akan permasalahan LGBT ini? Apakah LGBT merupakan sebuah penyakit atau tidak?

1 Like

Pada awalnya, LGBT dikategorikan sebagai salah satu gangguan mental. Akan tetapi, pada tahun 1975, American Psychological Association menyatakan bahwa orientasi seksual seseorang, seperti lesbian, gay, dan biseksual, bukanlah merupakan gangguan mental.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga berencana untuk menghapus transgender dari kategori gangguan mental. Transgender kemudian akan diklasifikasikan ke dalam istilah ketidaksesuaian gender.

Putusan-putusan ini dibuat karena para ahli psikologi tidak menemukan adanya hubungan antara orientasi dan identitas seksual dengan kondisi kesehatan mental seseorang.

Sebaliknya, orientasi dan identitas seksual seseorang dianggap sebagai aspek normal dari seksualitas manusia. Oleh sebab itu, bisa disimpulkan bahwa LGBT bukanlah merupakan gangguan mental.

Kendati demikian, Anda tentu bisa saja memiliki pendapat atau pandangan Anda sendiri mengenai LGBT. Namun, ada baiknya kita tidak memandang sebelah mata atau mendiskriminasi kelompok LGBT.

Pasalnya, penelitian menyebutkan bahwa kelompok LGBT lebih berisiko menderita berbagai gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, hingga melakukan percobaan bunuh diri, akibat diskriminasi yang diterimanya dari masyarakat

Kesimpulannya adalah, LGBT adalah sebuah ganguan mental yang dialami seseorang dan gangguan mental ini berorientasi pada kelainan seksual.

Summary

https://dppkbpmd.bantulkab.go.id/memahami-istilah-lgbt-lebih-dalam/

1 Like

LGBT disebabkan oleh multifaktor. Di antaranya seperti keluarga dan mengakses pornografi. Jika otak seseorang terlalu sering mengakses pornografi utamanya hubungan seksual sesama jenis, dia mengatakan, maka otak bisa mengikutinya. Ini karena sifat otak yang fleksibel seperti plastik. Ini ditambah media sosial (medsos) yang menjadi pintu masuk utama anak terjangkit LGBT.