Era generasi milenial sepertinya sudah tidak jauh-jauh lagi dari kata stres. Para milenials merasa hidup mulai membosankan dan berat, apapun yang dilakukan terasa susah. Menginjak usia matang alias dewasa ternyata menjadi masa melelahkan bagi sebagian orang, khususnya bagi mereka yang memang sudah mendapatkan pekerjaan tetap dalam waktu yang lama.
Sayangnya, walaupun sudah dewasa dan punya pekerjaan, tetap saja timbul kebosanan yang dirasakan seseorang sampai bisa menyebabkan stres. Fenomena ini disebut burnout. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Freudenberger dan Maslach, seorang psikiater New York pada tahun 1976 di Amerika Serikat. Burnout adalah suatu kondisi ketika seseorang merasa jenuh dan lelah baik secara fisik maupun mental serta emosional dengan tuntutan pekerjaan.
Fenomena ini sudah banyak sekali beredar di masyarakat. Mereka merasa bahwa pekerjaan yang telah diemban justru membuat stres, memberi tekanan batin, dan tidak berpengaruh baik. Misalnya, seorang wanita karier yang memiliki pekerjaan sebagai manager keuangan, punya tugas yang harus ia selesaikan di kantor, tapi karena mengingat di rumah anak belum dimandikan haruslah ia pulang. Namun, setelah pulang anaknya justru menghancurkan rumah dengan memberantakinya, belum lagi bila ada ketidakcocokan antara dia dan suami. Streslah dia karena ditekan dari pekerjaannya sebagai wanita karier dan ibu rumah tangga.
Lalu apa bedanya burnout dan stres? Bukannya sama saja?
sumber v Qu
Stres adalah suatu kondisi ketika seseorang merasa begitu banyak tekanan yang dimilikinya dirasa tidak menimbulkan masalah jika dapat mengatasi tekanan itu. Sedangkan burnout adalah gabungan dari berbagai stres dalam kurun waktu yang lama. Jadi, sudah dapat dilihat perbedaannya, bahwa burnout kondisinya berkali lipat lebih berbahaya daripada stres.
Apakah burnout hanya dimiliki orang yang bekerja saja?
Burnout tidak hanya dialami orang yang sudah punya pekerjaan saja, melainkan pelajar juga sering mengalami burnout terhadap tekanan akademis selama di sekolah. Kondisi ini disebut academic burnout. Ciri-cirinya seperti; lelah karena tuntutan belajar, tidak punya motivasi, mulai merasa bosan dalam menerima pelajaran, punya masalah internal di luar akademis, dan lain-lain.
Sindrom burnout ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan karena dekat dengan masyarakat. Apalagi ketika pandemi datang pada tahun 2020 lalu, yang menyebabkan masyarakat Indonesia harus menetap di rumah, yang bekerja harus bekerja secara daring begitupun para pelajar dan akademisi. Tingkat strespun mulai meningkat karena dibatasinya mobilitas masyarakat, di rumah bukannya istirahat justru makin stres dan berujung burnout pada pekerjaan.
Untuk mencegah mengalami burnout, harus diketahui dulu apa saja gejala-gejala yang akan dialami seseorang. Gejala burnout terbagi menjadi dua, yaitu gejala fisik dan gejala psikologis.
Gejala fisik burnout
- Mudah lelah dan tidak punya energi
- Merasa pusing
- Punya gangguan pencernaan
- Tekanan darah meningkat
- Pola tidur terganggu sehingga susah tidur
Gejala psikologis burnout
- Produktivitas kerja menurun
- Sulit berkonsentrasi
- Daya kreativitas menurun
- Sering menunjukkan perilaku negatif
- Mood/kemauan yang simpang siur
Ada baiknya setelah mendapatkan gejala-gejala seperti di atas, seseorang yang mengalami burnout harus berani bertarung melawan burnout itu sendiri. Sebab gejala ini dialami individu, maka keputusan itu harus bisa diambil sendiri demi keselamatan jiwa. Namun, terkadang seseorang justru merasa takut dan enggan melawan burnout itu. Sehingga malah menambah stres. Padahal yang bisa menolong diri sendiri tentu hanya diri sendiri.
sumber : Suara.com
Sindrom burnout bisa diatasi dengan cara berikut:
-
Buatlah aktivitas yang kamu gemari disela aktivitas rutin.
Semua orang tentu punya banyak pekerjaan, tugas, dan masalah lainnya yang harus diselesaikan. Mereka mengejar waktu dan melupakan bahwa dalam setiap aktivitas itu ada selingan waktu. Misalnya, ketika sedang menunggu pesan dari pimpinan, bisa melakukan peregangan seperti olahraga, tidak muluk-muluk. Menggerakkan kepala, berlari kecil, keliling rumah itu juga sudah masuk olahraga. Lakukanlah hal yang kamu gemari di waktu kosongmu, jangan hanya fokus mengejar, tapi tak ada niat untuk mampir sejenak. -
Jaga pola makan
Hal ini sering disepelekan. Makanan adalah sumber energi setiap makhluk hidup, bila dari hal sekecil ini saja, hal yang biasa ini sudah mudah diabaikan, bagaimana dengan hal kecil lainnya? Penting bagi seseorang menjaga pola makan, setidaknya dari sarapan, makan siang, dan makan malam semuanya terlaksana tanpa ada yang bolong. Melalui aturan ini, tidak akan terkuras banyak energi seseorang karena sudah terisinya zat-zat yang dibutuhkan tubuh. -
Seringlah bercerita
Carilah teman, saudara, orang tua, atau bahkan kekasih untuk tempatmu berbagi cerita. Biarkanlah ceritamu ini mengalir deras seperti air di sungai, asal bercerita pada orang yang bisa mendengarkanmu, bukan membalikkan keadaan dengan bercerita balik. -
Konseling ke psikolog
Jika sudah tak ada yang bisa mendengarkan ceritamu, maka datanglah ke psikolog. Selain bisa bercerita sebebas mungkin, kita juga mendapat pencerahan dan motivasi agar bisa membuka pola pikir. Memang tidak semua psikolog dapat memberikan pencerahan seperti yang diinginkan, tapi lewat aktivitas ini bisa membantu kita mendapatkan insight-insight baru.
Burnout timbul karena tekanan-tekanan di kepala kita sudah begitu banyak, kini sudah saatnya seseorang untuk menyingkirkan tekanan-tekanan itu sebelum pikiran diambil oleh stres dan kegilaan. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, semua pasti ada jalan keluarnya, di waktu yang tepat. Sebagai makhluk sosial perlulah adanya interaksi dan komunikasi antarsesama. Karena bisa saja stres yang kita alami juga dialami orang lain, sehingga bisa jadi jembatan untuk berbagi.
Sekarang bagi kamu yang telah membaca sampai kata ini, apakah kamu mengalami stres atau burnout? Ceritakan pengalamanmu!