Legalitas Hasil Cetak Tweet Sebagai Alat Bukti Penghinaan


Legalitas Hasil Cetak Tweet Sebagai Alat Bukti Penghinaan

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) mengatur beberapa konten yang dilarang, antara lain perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, pemerasan atau pengancaman, termasuk penghinaan atau pencemaran nama baik.

Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Esensi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE dan KUHP ialah tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum.

Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif.

Kriteria yang lebih objektif untuk menilai hubungan antara muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dan korban dapat dibangun berdasarkan konten dan konteks dari tiap-tiap kasus. Konten yang dipermasalahkan dapat dinilai dari sisi bahasa. Sedangkan, konteks dapat dinilai dari sisi sosial maupun psikologi. Sanksi dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut adalah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [1] UU ITE).

Pasal 5 UU ITE memberikan dasar penerimaan alat bukti elektronik dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE memberikan dasar hukum bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya ialah merupakan alat bukti hukum yang sah. Dari ketentuan ini maka alat bukti dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:

  1. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
  2. Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik

Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) UU ITE menegaskan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya… merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.” Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan pidana, perdata, agama, militer, tata usaha negara, mahkamah konstitusi, termasuk arbitrase.

sumber: hukumonline.com