Langit Yang Bersemayam Di Dunia Roh

Taman Surga

Dalam hati para pecinta terdapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh obat apa pun, tidak dengan tidur, bertamasya ataupun makan. Tidak ada yang dapat menyembuhkannya selain melihat sang kekasih. Karena “bertemu dengan sang kekasih adalah obat bagi orang yang sakit.” Pernyataan ini benar, sampai-sampai jika seorang munafik duduk di antara Mukmin, pada saat itu ia akan merasakan rasa aman karena pengaruh iman mereka. Sebagaimana firman Allah:

“Dan jika mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: “Kami telah beriman” [QS. al-Baqarah: 14] .”

Lantas bagaimana dengan seorang Mukmin yang duduk di samping Mukmin lainnya? Jika hal semacam ini bisa memberi pengaruh pada orang munafik, maka lihatlah berbagai manfaat dari berkumpulnya sesama Mukmin! Lihatlah bagaimana kain wol dalam besutan orang yang berakal akan menjadi permadani dengan ukiran yang begitu indah, dan bagaimana debu di sisi orang yang berakal akan menjadi istana yang indah! Ketika sentuhan seseorang yang berakal pada benda-benda padat ini dapat memberikan pengaruh, renungkanlah juga pengaruh seorang Mukmin pada Mukmin lainnya.

Dengan sentuhan jiwa parsial dan akal yang terjangkau saja, seluruh benda padat akan sampai pada tingkatan ini. Semua akan menjadi bayangan dari akal parsial karena suatu kemungkinan untuk mengukur seseorang dari bayangannya. Jika seperti itu kejadiannya, maka lepaskanlah kadar akal dan pikiran yang lazim agar dapat menampakkan langit, bulan, matahari, serta tujuh tingkatan bumi dan apa yang ada di antara langit dan bumi. Semua itu adalah bayangan dari akal universal. Jika bayangan akal parsial sesuai dengan bayangan kerangkanya, maka bayangan akal universal yang merupakan seluruh eksistensi semesta ini juga akan sesuai dengannya.

Sungguh para kekasih Allah menyaksikan langit yang lain selain langit ini. Di hadapan mereka, langit yang ini tidak memiliki arti dan tampak hina. Para wali telah menapakkan kaki mereka di atas langit-langit itu dan melewatinya:

Ada langit yang bersemayam di wilayah roh,

Di tangannya terdapat rantai pengikat langit dunia.

Hakim Sanai al-Ghaznawi.

Mengapa ini begitu menakjubkan sehingga satu orang, di antara manusia lainnya, memiliki keistimewaan untuk meletakkan telapak kakinya di atas kepala bintang Saturnus? Bukankah kita semua diciptakan dari jenis tanah yang sama? Tetapi Allah meletakkan suatu kekuatan dalam diri kita yang dengannya kita berbeda dari jenis lainnya. Kita dapat menggunakan kekuatan itu sehingga kita dapat menaklukkan jenis yang lain dan mengeksploitasinya sesuai keinginan kita. Sewaktu-waktu kita mengangkatnya dan di waktu yang lain kita akan membuangnya. Terkadang kita membentuknya menjadi sebuah istana, gelas, dan kendi, terkadang kita memanjangkan dan memendekkannya.

Bila asal kita adalah dari tanah itu dan berasal dari inti yang sejenis, kemudian dengan kekuatan itu Allah membedakan kita dengan yang lainnya, maka apa yang aneh bagi Allah untuk membedakan kita? Kita adalah satu jenis yang, kalau ditakar dengan tanah, hanya ibarat benda padat. Tuhan yang mengendalikan kita sedang kita tidak dapat menyadarinya, sementara Dia dapat menyadari kita.

Ketika aku berkata, “tidak menyadarinya,” aku tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa manusia tidak menyadarinya dengan sempurna, namun setiap kesadaran akan sesuatu adalah ketidaksadaran akan sesuatu yang lain. Bahkan bumi sekalipun, dengan semua benda padat di atasnya, menyadari apa yang diberikan Allah kepadanya. Karena jika bumi tidak menyadarinya, bagaimana mungkin ia bisa menerima siraman air, dan bagaimana mungkin ia bisa menjaganya serta menumbuhkan setiap biji sesuai dengan tuntutan?

Ketika seseorang bersungguh-sungguh mengerjakan suatu perbuatan dan membiasakannya, maka kesadaran akan perbuatan itu akan membuatnya tidak menyadari pekerjaan lain. Namun kelalaian ini tidak berarti kelalaian total. Misalnya beberapa orang ingin menangkap seekor kucing, tetapi mereka sama sekali tidak pernah mendapat kesempatan untuk menangkapnya. Sampai suatu saat, kucing itu sedang sibuk memburu seekor burung, sehingga dia melalaikan orang yang hendak menangkapnya, akhirnya kucing itu pun tertangkap.

Jadi, seseorang tidak pantas untuk terlalu menyibukkan diri dengan segala urusan dunia, Seyogianya manusia menjalani segalanya dengan mudah dan tidak bergantung dengannya agar ia tidak tersakiti dengan hal ini ataupun hal itu. Harta simpanan (hati) pantang untuk sakit, karena jika dunia ini sakit, maka dunia lain yang akan mengobatinya. Tetapi jika dunia lain sakit—semoga Allah melindungi kita darinya—lalu siapa yang akan mengobatinya? Misalnya kamu memiliki banyak baju dari bermacam jenis dan saat itu kamu hendak tenggelam, maka baju mana yang akan kamu selamatkan? Meskipun semua pakaian itu berharga bagimu, namun pada saat terdesak, kamu yakin hanya akan menyelamatkan apa yang berharga di tanganmu, karena ia bagaikan satu mutiara dan batu yakut yang dengannya manusia dapat membuat seribu hiasan.

Dari sebuah pohon, tampak buah yang manis. Meski buah itu hanya satu bagian, namun Allah telah mengutamakan yang parsial itu atas yang universal dan membedakannya dengan memberinya rasa manis, yang tak diberikannya pada buah yang lain. Dengan fungsi rasa manis, buah yang parsial menjadi lebih unggul dari yang universal. Buahlah yang menjadi intisari serta tujuan dari sebatang pohon itu. Allah berfirman: *

“Bahkan mereka tercengang karena telah datang pada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri* [QS. Qaf: 2] .”

Seseorang berkata: “Aku telah mencapai sebuah kondisi yang tidak muat ditempati oleh Nabi Muhammad dan malaikat yang mulia.” Syekh menjawab: “Sungguh aneh jika seorang hamba memiliki kondisi di mana Nabi Muhammad tidak muat di dalamnya. Bahkan Nabi Muhammad tidak memiliki sebuah keadaan yang tak mampu menampung orang yang ketiaknya berbau busuk seperti dirimu!”

Seorang pelawak ingin membawa sang raja pada perasaan yang lebih baik. Setiap orang bersepakat untuk memberikan hiburan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, tetapi raja itu benar-benar sedang dalam keadaan kesal. Dalam keadaan marah, raja itu berjalan ke tepi sungai. Sang pelawak menyusuri jalan di tepi yang lain untuk mendekati raja, tetapi raja tidak memedulikan kehadirannya dan terus memandangi permukaan air. Ketika si pelawak merasa kewalahan, ia berkata: “Wahai raja, apa yang Anda lihat di air sungai itu sampai memandangnya seperti itu?” Sang raja menjawab: “Aku melihat suami dari seorang istri yang tidak setia.” Si pelawak menimpali: “Hambamu ini juga tidak buta.”

Sekarang, kamu mungkin memiliki waktu di mana Nabi Muhammad tidak terkandung di dalamnya, tetapi Nabi Muhammad tidak memiliki kondisi di mana orang yang berbau busuk seperti dirimu tidak terkandung di dalamnya! Pada akhirnya, kadar dari keadaan rohani yang kamu dapatkan itu bersumber dari berkah dan pengaruhnya. Karena pada awalnya, semua berkah dituangkan padanya dan kemudian beliau membagikannya pada yang lain, demikianlah aturannya. Allah berfirman:

“Salam sejahtera bagimu wahai Nabi, seiring rahmat Allah beserta berkah-Nya. Kucurahkan padamu segala anugerah.”

Nabi Mahummad menjawab:

“Dan kepada seluruh hamba Allah yang berbuat baik.”

Sesungguhnya jalan Allah itu amat menakutkan, penuh dengan rintangan dan terhalang oleh salju yang tebal. Beliaulah orang yang pertama kali mengorbankan hidupnya mengarungi medan berbahaya itu. Beliau memperbaiki dan membuka jalannya, sehingga siapa pun yang menyusuri lintasan ini adalah dengan petunjuk dan pertolongannya. Karena beliau telah menerangi jalan pertama kali dan meletakkan rambu-rambu serta pasak kayu di sepanjang jalan yang berbunyi: “Jangan berjalan ke arah ini, jangan pergi ke arah itu, jika kamu menuju ke arah itu kau akan binasa sebagaimana kaum ‘Ad dan Tsamud, dan jika menyusuri jalan ini kamu akan menggapai solusi sebagaimana keadaan orang-orang yang beriman.” Secara keseluruhan, al-Qur’an menjelaskan hal ini:

“Padanya terdapat tanda- tanda yang nyata [QS. Ali ‘Imran: 97] .”

Maksudnya, di atas lintasan-lintasan ini Kami telah menancapkan tanda-tanda penunjuk. Siapa pun yang ingin merusak satu dari seluruh pasak kayu itu, semua orang akan menyerangnya dengan berkata: “Kecuali kamu adalah seorang perompak, mengapa kamu rusak lintasan kita, mengapa kamu ingin menghancurkan kita?”

Ketahuilah bahwa Muhammad adalah seorang pemandu. Seandainya tidak ada seorang pun yang mendatangi Muhammad, maka ia tidak akan sampai pada kita. Seperti halnya ketika kamu ingin bepergian ke suatu tempat, pertama kali akal akan menjadi penunjuk jalan yang berkata: “Sebaiknya kamu pergi ke tempat ini, sebab di sana ada kemaslahatan untukmu,” lalu mata akan memerankan fungsinya sebagai penunjuk jalan dan organ tubuh lainnya akan bergerak sesuai dengan instruksi dari penunjuk jalan, meskipun organ-organ tidak punya ilmu sebagaimana mata, dan mata juga tidak punya ilmu seperti yang dimiliki oleh akal.

Walaupun sebagian manusia adalah pelupa, tetapi orang lain tidak akan melupakannya. Ketika kamu mencurahkan kesungguhan dengan urusan dunia, kamu akan lupa pada hakikat dari sesuatu. Kamu harus mencari kerelaan Allah dan bukan kerelaan makhluk, karena kerelaan dan cinta serta kasih sayang yang dimiliki semua makhluk adalah pinjaman dari-Nya yang diletakkan dalam diri mereka. Jika Dia belum berkehendak, maka Dia tidak akan memberikan ketenangan dan kenikmatan apa pun. Karena adanya sebab-sebab kenikmatan, roti, kemewahan dan kenikmatan, maka segala sesuatu menjadi penderitaan dan ujian. Semua sebab ini seperti pena di tangan kekuasaan Allah. Dia-lah yang menggerakkan dan menulis. Jika Dia belum berkehendak, maka pena tidak akan bergerak.

Kamu melihat pena dan berkata: “Pena ini seharusnya memiliki tangan.” Kamu dapat melihat pena namun tidak dapat melihat tangannya. Dengan melihat pena itu, kamu dapat mengingat tangan. Mana yang kamu lihat dan katakan padanya? Bila mereka selamanya melihat tangan lalu berkata: “Seharusnya ada pena juga.” Namun saat mereka melihat keindahan tangan, mereka tidak akan menyadari keberadaan pena dan akan berkata: ”Apa yang diperbuat oleh tangan ini tidak mungkin tanpa adanya pena.” Ketika dirimu tidak mengingat keberadaan tangan karena senangnya memandang pena, bagaimana dirimu menunggu mereka untuk mengingat pena sepertimu, padahal mereka sedang asyik memandang tangan itu? Ketika kamu menemukan kelezatan pada roti manis yang terbuat dari beras sehingga kamu tidak ingat akan kelezatan roti gandum, bagaimana mungkin dirimu akan menunggu mereka untuk mengingat roti manis padahal mereka sedang menikmati roti gandum? Jika Dia memberimu kebahagian di atas bumi sehingga membuatmu tidak menghendaki langit, yang merupakan tempat sejati kebahagiaan, dan karena bumi mendapatkan kehidupannya dari langit, lantas bagaimana mungkin penduduk langit akan mengingat bumi?

Sekarang, jangan kamu menganggap bahwa semua kebaikan dan kelezatan itu berasal dari sebab tertentu, karena makna yang dikandung sebab itu hanyalah pinjaman. Allah-lah yang memberikan mudarat dan manfaat. Ketika mudarat dan manfaat berasal dari-Nya, mengapa kamu harus bergantung pada sebab-sebab itu?

“Sebaik-baik ucapan adalah yang sedikit dan produktif.” Sebaik-baik ucapan adalah yang sedikit dan memberi faedah. Dari segi faedah, surat al-Ikhlas yang sedikit mengungguli surat al-Baqarah yang panjang. Nabi Nuh berdakwah pada manusia selama seribu tahun, sedang yang beriman hanya empat puluh orang saja. Kita sangat tahu berapa lama waktu yang dihabiskan Nabi Muhammad dalam berdakwah, meski demikian ada banyak kaum yang beriman padanya, dan banyak wali dan para pembesar yang lahir darinya. Jadi, yang menjadi pertimbangan bukanlah pada banyak atau sedikit, melainkan pada tujuannya yaitu pemberian faedah dan transfer pengetahuan.

Bagi sebagian manusia, ucapan yang sedikit mungkin lebih bermanfaat ketimbang ucapan yang banyak. Seperti panci masak, ketika sumbu kompor di bawahnya terbakar dan api besar menyala, kamu tidak akan bisa memanfaatkan dan mendekati panci masak itu. Hal ini berbeda dengan lentera yang lemah namun bisa memberikan seribu manfaat. Dari sini, jelaslah bahwa tujuan sejatinya adalah faedah yang diperoleh. Bagi sebagian orang, tidak mendengar sebuah perkataan pun dan cukup dengan melihat saja, akan lebih berfaedah baginya. Hal itu dianggap sudah cukup memberi faedah bagi orang semacam ini, sebab jika mereka mendengar suatu ucapan, maka ucapan itu akan membahayakannya.

Seorang Syekh dari India datang mengunjungi salah seorang wali yang agung. Ketika dia sampai ke kota Tabriz dan sampai di depan pintu kediaman wali itu, terdengar suara dari dalam: “Pulanglah! Kamu sudah mendapatkan manfaat dari apa yang kamu cari dengan datang ke pintu rumah ini. Jika kamu memaksa untuk memandang wali, maka itu akan membahayakanmu.”

Ucapan yang sedikit dan berfaedah laksana sebuah lampu yang menyala di depan lampu yang redup lalu padam. Itu cukup baginya untuk dapat menggapai tujuannya. Bagaimanapun juga, Nabi bukanlah bentuk yang dapat dilihat, bentuk itu hanyalah tunggangan beliau. Nabi adalah kerinduan dan cinta yang abadi.

Seseorang berkata: “Mengapa muazin yang berada di atas menara tidak memuji Allah saja? Mengapa mereka juga menyebut Muhammad?”

Maulana Rumi menjawab: “Sungguh pujian terhadap Nabi Muhammad adalah pujian terhadap Allah. Ini sama dengan ucapan seseorang: ‘Semoga Allah memanjangkan umur baginda raja, orang yang membimbingku menuju raja, dan orang yang menyebutkan nama dan sifat-sifat raja kepadaku.’ Pujian atas manusia ini pada hakikatnya adalah pujian terhadap sang raja.”

Nabi berkata: “Beri aku sesuatu yang aku butuhkan. Berikan jubahmu, kekayaanmu, atau pakaianmu.” Apa yang akan diperbuatnya dengan jubah dan kekayaanmu? Ia ingin meringankan pakaianmu sehingga kehangatan matahari dapat kamu rasakan.

“Dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (QS. al-Muzammil: 20)

Allah tidak hanya menginginkan kekayaan dan jubah. Dia telah memberimu banyak hal selain materi, ilmu, pikiran, hikmah dan penalaran. Yang Dia maksud adalah:

“Sedekahkanlah padaku penalaran, pikiran, perenungan dan akalmu sebentar saja. Bagaimanapun juga, kamu telah memperoleh harta dengan perantaraan yang Aku berikan kepadamu.”

Allah juga meminta hal serupa dari seekor burung dan ular. Jika kamu mampu pergi telanjang di bawah matahari, maka itu lebih baik karena alih-alih akan menghitamkan dirimu, matahari itu justru akan mengubahmu menjadi putih. Atau minimal ia akan meringankan bajumu agar kamu turut menikmati keriangan matahari. Kamu sudah terbiasa dengan kepahitan, maka setidaknya cobalah kamu merasakan kemanisan juga barang sebentar.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum