Kritik Presiden Dibui, di Manakah Kata "Demokrasi"?


Sumber: DOK.Universitas Indonesia
Menjadi seorang pemimpin, menerima kritik adalah hal wajar yang telah kita ketahui bersama. Hal ini tentu demi meningkatkan pelayanan publik yang lebih baik kedepannya. Permintaan tersebut juga disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi agar masyarakat secara aktif mampu memberikan aspirasinya kepada pemerintah. Namun sayangnya kritik yang dilayangkan justru membawa beberapa nama masuk ke jurang pengadilan. Seperti Aktivis Dandhy Dwi Laksono yang ditangkap atas cuitannya mengenai kondisi di Papua, Musisi Ananda Badudu yang ditangkap karena menggalang dana untuk mendukung aksi demonstrasi mahasiswa terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, serta masih banyak yang lainnya. Lantas di manakah kata “demokrasi” jika mengkritik presiden harus dibui? Bagaimanakah teman-teman menyikapi hal demikian?

Referensi:

Topik yang menarik untuk didiskusikan dari kak Trian Mayarani. Menyorot hal ini , permasalahan mengenai sistem demokrasi yang tidak berjalan dengan baik ini sebenarnya merupakan suatu masalah yang kompleks, dan tidak berpusat pada satu substansial. Sehingga agak kurang tepat jika permasalahan ini dikerucutkan kepada bapak Jokowi, yang mungkin terspotlight kepada beliau dikarenakan polemik ini muncul dimasa kepemimpinan beliau , dan sebenarnya hal ini pernah terjadi bahkan lebih parah pada masa Orde Baru.
Seperti yang kita tahu jalannya birokrasi di Indonesia masih tergolong buruk, terutama di bidang eksekutif pemerintahan. Sehingga terjadi banyak kesenjangan yang terjadi kalangan masyarakat dan pemerintah . melihat kesenjangan yang ada ,hal ini sebenarnya menjadi Tantangan Etika dalam Berdemokrasi bagi kita semua.
Salah satu sistem yang saya maksud , seperti contoh kubu kubu pada setiap partai politik yang menghasilkan subjektivitas dan disintegritas. Hal ini dikarenakan beberapa dari anggota eksekutiv baik DPRD, Gubernur, Bupati yang diusung oleh salah satu partai tertentu yang mana partai tersebut telah ikut menyumbang suara . Sehingga kepentingan menjadi tepecah antara kepentingan idealism untuk memajukan Negara dan kepentingan untuk membesarkan partai politiknya. Sehingga dalam pengambilan kebijakan banyak tindakan oleh pemerintah yang tergolong subjective dan merugikan rakyat itu sendiri. Dan jika dikorelasikan dengan kejadian diatas, ketika ada oknum pemerintahan yang merasa terganggu kepentingannya karena dari masyarakat ada yang mencoba mengritik dan mebuka praktik kotornya sehingga diberikan hukuman dengan mengesampingkan konsep demokrasi dan padahal Negara sendiri yang menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap rakyat . Dan presiden sendiri juga serba dilema untuk mengambil kebijakan karena kondisi politik Indonesia yang seperti saya jelaskan sebelumnya.
Lalu, How to solve this things ? Apakah lebih baik Partai Politik dibubarkan saja? Dikutip dari KOMPASTV, Ganjar Pranowo pernah berkata :

“ There are no democracy , Without the Politics “

, Artinya tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Maka dari itu jika kita para pemuda merasa ada yang tidak benar dalam suatu partai politik kita harus masuk di dalamnya, karena partai politik butuh orang orang baik bukan orang orang yang serakah. Tentunya sebelum masuk kesana perlu dibekali dengan ilmu, pengalaman, serta idealisme integritas yang matang agar kita tidak malah hanyut terbawa arus. Pemuda adalah pemegang estafet bangsa, mereka pasti akan ada saatnya untuk meninggalkan gedung pemerintahan. Satu dua orang menggerakkan berjuta orang pasti akan susah , namun satu orang menggerakkan dirinya sendiri pasti akan jauh lebih baik , terimakasih.

Saya setuju terkait kritik kepada pemerintah bukan hanya ada di era Presiden Jokowi saja. Pemerintah Orde Baru yang lahir dalam suasana krisis ekonomi, kekalutan politik dan huru-hara sosial yang hebat pada pertengahan tahun 1960-an tentu tidak lepas dari kritik tajam masyarakat. Tidak sedikit juga orang yang mengkritik berakhir dengan penangkapan dikarenakan unsur-unsur lain yang tidak dibenarkan seperti hinaan, tindakan anarkis, maupun cara penyampaian kritik yang salah. Dikarenakan bangsa Indonesia menganut ideologi Pancasila bukannya liberal, diharapkan dalam menyampaikan kritik harus bercermin kepada kepribadian Pancasila.

Referensi :

Benar dalam permasalahan ini sudah tidak ada kata demokrasi karena menurut saya bukan berarti kalau seorang Presiden bisa kita bebas caci maki harkat dan martabatnya, mengkritik kebijakannya tidak ada masalah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyadarkan atau mengajukan kritik kepada pendapat yang kebijakan pemerintah tidak ada masalah. Dan itu delik aduan, dan harus dilaporkan langsung oleh Presiden sendiri

Demokrasi di Indonesia, sebagaimana diwujudkan dalam konstitusi negara, adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun, ketika kritik terhadap presiden dapat berujung pada penahanan, pertanyaan pun muncul: sejauh mana demokrasi sebenarnya dihargai dan dijalankan di Indonesia?

Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa demokrasi bukanlah suatu entitas yang statis. Ia merupakan konsep yang terus berkembang dan bisa diinterpretasikan berbeda oleh berbagai kelompok masyarakat. Di Indonesia, perjalanan demokrasi pasca-Reformasi 1998 telah mengalami perkembangan yang signifikan. Pemilihan umum, hak asasi manusia, dan kebebasan berpendapat menjadi bagian integral dari struktur demokrasi.

Namun, ketika kritik terhadap presiden atau pemerintah secara keseluruhan menghasilkan tindakan penahanan, hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait dengan keseimbangan kekuasaan. Demokrasi idealnya menciptakan mekanisme checks and balances untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Pemahaman ini menciptakan tuntutan agar kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia dihormati sepenuhnya.

Penahanan kritikus presiden bisa menandakan adanya ketidakseimbangan dalam sistem demokrasi. Apakah proses hukum yang berlaku benar-benar independen? Apakah ada tekanan politik yang mempengaruhi proses tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini mencuat dan menyulut perdebatan tentang apakah demokrasi sesungguhnya dihargai atau hanya menjadi topeng untuk kekuasaan otoriter.

Selain itu, penting untuk mencermati ruang lingkup kebebasan pers. Sebuah demokrasi yang sehat membutuhkan media yang bebas dan independen sebagai penjaga kebenaran dan kontrol terhadap pemerintah. Jika wartawan atau media diintimidasi atau dibatasi dalam melaporkan kritis terhadap pemerintah, hal ini dapat mengancam esensi demokrasi itu sendiri.

Perlu diperhatikan juga adanya mekanisme partisipasi warga negara dalam proses politik. Apakah rakyat memiliki akses yang cukup terhadap informasi? Apakah ada hambatan bagi partisipasi politik mereka? Pertanyaan ini relevan dalam menilai sejauh mana demokrasi di Indonesia dihargai.

Selanjutnya, konsep demokrasi sosial perlu dicermati. Apakah kebijakan pemerintah mampu mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi? Apakah hak asasi manusia dijamin bagi seluruh lapisan masyarakat? Konsep demokrasi yang inklusif harus mampu memastikan bahwa semua warga negara merasakan manfaatnya, dan bahwa tidak ada kelompok yang dikesampingkan.

Penting untuk mengingat bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang terus berkembang. Oleh karena itu, respons terhadap kritik terhadap presiden haruslah mencerminkan semangat untuk meningkatkan demokrasi, bukan membatasinya. Peningkatan dalam transparansi, akuntabilitas, dan kebebasan berpendapat harus terus ditekankan agar demokrasi di Indonesia bisa tumbuh dan berkembang.

Dalam merangkum, demokrasi di Indonesia tidak hanya dapat diukur dari segi formalitas institusional, tetapi juga dari realitas pelaksanaannya. Penahanan kritikus presiden menjadi cerminan kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi. Untuk menjaga makna demokrasi yang sejati di Indonesia, perlu adanya komitmen untuk memperkuat prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti supremasi hukum, hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan partisipasi warga negara. Hanya dengan mengakui dan menanggapi tantangan ini, Indonesia dapat melangkah menuju demokrasi yang lebih kokoh dan inklusif.