Krisis Obesitas: Apa yang Menjadi Pelakunya?

Satu sendok teh minyak, ditakar dengan ketelitian, adalah bagaimana Profesor Tim Benton mengingat bagaimana cara ibu Beliau menyiapkan makanan. Saat Beliau masih kanak-kanak pada 1960-an, minyak sayur masih merupakan komoditas yang berharga dan jarang digunakan.

Pada saat ini minyak begitu komersil dan murah sehingga kebanyakan dari kita menggunakannya secara bebas saat memasak—mulai sebagai salad dressing hingga menggoreng dengan banyak minyak. Bukan hanya pada masakan rumahan, minyak juga merupakan bahan yang paling sering kita beli di supermarket.

Bahkan, minyak sayur, terutama minyak kacang kedelai dan minyak sawit, merupakan dua dari delapan bahan masakan, selain gandum, nasi, jagung, gula, barley, dan kentang, yang kini diperkirakan memberi sumbangsih sebesar 5% dari kalori di seluruh dunia.

Dimanapun negara kita tinggal, kita semua mengonsumsi makanan dengan pola makan yang mirip, yaitu tinggi kalori dan rendah nutrisi. Hal tersebut menjadi sasaran bagi Prof. Benton, dekan riset strategis di University of Leeds yang berspesialisasi di penyediaan dan keamanan makanan. Beliau mengaitkannya langsung dengan dunia perdagangan global.

Produksi minyak sayur dan lading minyak sama-sama meningkat secara signifikan selama tiga puluh tahun terakhir.
Peningkatan tersebut dipicu oleh beberapa regulasi perdagangan yang membuat mengekspor dan mengimpor minyak menjadi lebih murah dan mudah, selain peraturan pemerintah. Subsidi di beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia, yang ditujukan untuk meningkatkan produksi untuk ekspor, membantu menurunkan harga minyak sayur.

“Berkompetisi di pasar global membutuhkan proses produksi yang sangat efisien. Kini kita menerapkan sistem makanan berdasarkan kalori yang murah,” menurut Prof. Benton.

Tentu perdagangan makanan ini pada banyak kasus membantu menurunkan angka kelaparan dan, seperti yang diutarakan Prof. Benton, membantu orang termiskin dari yang miskin untuk memiliki akses menuju kalori murah. Namun Beliau berpendapat, hal tersebut mengakibatkan lebih banyak orang memakan barang import yang kurang sehat, dibandingkan memakan apa yang tersedia di lokal, sehingga dapat menjadi alasan mengapa kita semakin gemuk.

Lebih dari 50% populasi dunia tidak dalam kategori berat badan sehat, menurut Prof. Benton dalam laporan terbaru pada produksi makanan. Dan jumlah obesitas sedunia telah meningkat dua kali lipat sejak 1980.

“Pada beberapa tempat, yang termiskin masih kesulitan untuk mendapat kalori yang cukup dan memiliki berat badan di bawah angka sehat, namun pada negara maju, kemiskinan seringkali tidak menghentikan orang untuk memakan dan meminum kalori, namun dapat menghentikan mereka untuk menjalani pola makan penuh gizi,” tulis Beliau pada laporan tersebut.

Prof. Corinna Hawkes, ketua dari Centre for Food Policy at City dari University of London, berpendapat bahwa peningkatan terbesar pada sumber kalori sejak era globalisasi dimulai datang dari ladang minyak sawit.

“Ada peningkatan yang sangat tiba-tiba dan signifikan terhadap ketersediaan kacang kedelai dan minyak sawit dan hal tersebut bagi saya secara langsung berkaitan dengan kebijakan yang membantu membuatnya lebih mudah untuk dipasarkan,” menurut Beliau.

Benih minyak kini merupakan salah satu ladang yang paling sering di pasarkan, dan sebagian besar makanan pabrikan mengandung minyak sawit atau minyak kedelai, yang dapat memperpanjang waktu batas penyimpanan, lanjut Beliau. “Karena kini menjadi lebih mudah dan murah untuk industri makanan pabrikan untuk mengimport, tidak ada hambatan untuk menggunakan minyak,”

Sejumlah kecil lemak merupakan bagian penting untuk menjaga pola makan yang sehat dan seimbang, namun lemak tinggi kalori sehingga memakannya secara berlebihan dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan atau obesitas. Lemak trans dan lemak saturasi juga dikaitkan dengan penyakit jantung.

Prof. Hawkes berpendapat bahwa biaya rendah dan ketersediaan minyak telah merubah kebiasaan memasak beberapa negara. Di Cina, contohnya, makanan di goreng dengan banyak minyak dan di Brazil, masyarakat menggunakan jumlah minyak yang lebih banyak pada makanan tradisional.

Namun, selain peningkatan perdagangan ladang minyak, penting untuk ditekankan bahwa perdagangan buah dan sayur juga meningkat, sehingga pola makan beberapa orang telah membaik.

Ketidakseimbangan ini yang disebut oleh Prof. Hawkes sebagai “efek quinoa”. Meningkatnya permintaan negeri barat untuk makanan semacam “superfood”, yang tumbuh di pegunungan Andes selama ribuan tahun, telah menjadi pelaku utama peningkatan harga meroket dan ketidaktersediaan makanan tersebut bagi masyarakan negara tersebut. Efek tersebut menjadi kontroversi globalisasi, bahwa peningkatan tersebut secara tidak proporsional menguntungkan orang yang telah berkecukupan.

Namun penemuan dari studi terbaru dari London School of Economics (LSE), yang meneliti 26 negara dari 1989 hingga 2005 ketika globalisasi secara drastis meluas, mengkontradiksi hal tersebut. Riset tersebut menyimpulkan bahwa globalisasi sosial—perubahan cara kita bekerja dan hidu—adalah apa yang menyebabkan masyarakat gemuk, dibandingkan dengan ketersediaan makanan yang murah dan tinggi kalori yang diluaskan oleh perdagangan global. Pada dasarnya, fakta bahwa kita kini dengan mudah dapat bekerja, berbelanja, dan bersosialisasi tanpa menggerakan otot sama sekali adalah penyebabnya, menurut penulis studi, dr. Joan Costa-Font.

“Asupan makanan kita ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pre-global, dimana orang masih harus berjalan kaki untuk tiba di suatu tempat, dan dimana tidak banyak aktivitas yang ringan seperti saat ini. Individu mungkin memiliki kontak sosial yang lebih personal, memasak, dan menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan pekerjaan rumah pada masa lalu,” menurut Beliau.

dr. Costa-Font berkata riset tersebut menunjukan bahwa sekali seseorang mengadaptasi pola makan dan gaya hidup mereka berdasarkan perubahan ini—lebih sering bergerak dan makan lebih sedikit—berat badan normal akan kembali muncul.

Beliau memberi contoh Amerika Serikat. Di sana, tingkat obesitas sangat tinggi sampai nyaris 35%, namun angka tersebut nyaris sama seperti dekade yang lalu. “Ini berita baik dan sudah bernilai. Mungkin AS sudah mulai untuk mempelajari bagaimana makan dan mengubah gaya hidup seperti global. Hipotesis yang berkembang adalah peningkatan jumlah obesitas hanyalah transisi.”

Sumber: BBC Health.
Gambar: choc.org

obesityhelp

At least 2.8 million people each year die as a result of being overweight or obese. The prevalence of obesity has nearly doubled between 1980 and 2008. Once associated with high-income countries, obesity is now also prevalent in low- and middle-income countries. - The World Health Organization (WHO)

Lalu apa penyebab tingkat obesitas selalu meningkat dari tahun ke tahun ?

Berikut infografik terkait faktor-faktor penyebab obesitas pada anak-anak,

Faktor-faktor tersebut adalah :

  • Iklan makanan yang membidik anak-anak, sehingga anak-anak tergiur untuk mencobanya
  • Makan makanan dengan porsi yang besar.
  • Minum minuman yang banyak mengandung gula, terutama hal tersebut ada pada minuman ringan.
  • Menurunnya aktifitas fisik pada anak-anak, baik sebelum maupun sesudah sekolah.
  • Menurunnya pendidikan olahraga dan waktu istirahat di sekolah.
  • Meningkatnya ketersediaan makanan dengan harga murah tetapi tidak menyehatkan, misalnya mengandung kalori tinggi, gula tambahan dan beras atau gandum refinasi.
  • Meningkatnya waktu anak-anak di depan televisi, baik menonton film maupun bermain video game.
  • Lingkungan komunitas anak yang menghalangi anak untuk aktif bergerak.
  • Meningkatnya frekuensi anak makan makanan di luar.

Oleh karena itu, perlunya dibuat gerakan anak-anak ber-aktifitas fisik dan edukasi terus menerus kepada orang tua anak terkait menjaga kesehatan anak-anaknya.