Kontekstualisasi Model Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah Pada Pendidikan Era Revolusi 4.0 untuk Mewujudkan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur ( MKTIA GBQ VII ))

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Realitanya (Das Sein), pendidikan di negeri ini sungguh sangat memprihatinkan. Apalagi kalau kita melihat kondisi pendidikan di berbagai daerah terpencil, pedalaman, pesisir, bagaimana anak-anak usia sekolah yang seharusnya memiliki hak untuk mengecap pendidikan yang layak, ternyata jauh dari harapan. Menurut bahan Pusat data Badan Koordinasi Kependudukan Keluarga Berencana (BKKBN) tahun 2007 menunjukkan bahwa dari 100 orang siswa, 5 diantaranya pernah melakukan hubungan seks pranikah. 119 sekolah di lima daerah di Jakarta dan 8.941 siswa sekolah menengah atas ikut ambil bagian dalam research ini. Selanjutnya survey yang dilakukan oleh BKKBN di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2008 menyebutkan bahwa sekitar 63 dari remaja terlibat dalam hubungan seks pranikah dan 21 remaja putri melakukan aborsi. Kemudian, data mengejutkan datang dari Dinas Kesehatan tahun 2009 menunjukkan bahwa remaja-remaja di kota Medan, Jakarta Pusat, Bandung, dan Surabaya mempunyai teman yang berhubungan seks sebelum menikah sebesar 35.9 %.1
Di sisi lain terdapat problematika materi ajar yang terkesan fragmentaris atau terpecah-pecah dan kurang konsisten. Hal ini menyulitkan peserta didik dalam transfer of knowledge dari guru, sehingga perannya untuk mewujudkan character output menjadi kurang optimal. Selain itu, pemerataan level materi ajar dan penilaian hasil capaian pelajar yang difokuskan pada capaian akademis saja pada akhirnya hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal (intellectual quotient) dan tidak menyentuh pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Padahal untuk mewujudkan output yang baik diperlukan kesinambungan antara (IQ, EQ, SQ) yang bersumber dan berkembang dalam RQ (religious quotient).

1 Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press (GP Press)), hal. 10.
2

Idealitanya (Das Sollen), di dalam sistem pendidikan Indonesia, eksistensi Pendidikan Agama Islam memiliki peran yang sifatnya sangat signifikan dalam membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam ialah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.2
Hal tersebut telah tercermin oleh pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah. Masa pemerintahan tersebut merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang. Pada zaman ini umat Islam mencapai titik tertinggi perdaban ilmu pengetahuan yang dibuktikan dengan banyak melakukan kajian kritis berupa ilmu pengetahuan serta teknologi, sehingga terbentuk suatu pola ilmu pengetahuan baik aqli (rasional) ataupun yang naqli yang yang sangat signifikan perannya dalam majunya bidang pendidikan waktu itu.
Di sisi lain untuk mewujudkan Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang didefinisikan sebagai negeri yang baik yang diampuni tuhan, atau dalam falsafah Jawa “gemah ripah loh jinawi” diperlukan transformasi sosial yang mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan dari kehidupan kegelapan (Adz-Dzulumat) menuju pada kehidupan yang bercahaya (An-Nur). Dari kebodohan (jahiliyah) menuju Islam.
Dalam hal ini, terdapat keterkaitan antara pendidikan Islam Dinasti Abbasiyah dengan tujuan pendidikan era revolusi 4.0, dimana tidak hanya unsur akademisnya saja yang diperhitungkan namun karaker juga memegang peran penting sebagai fondasi utama suatu generasi dalam memajukan bangsanya. Serta menjadikan pendidikan islam dinasti Abbasiyah sebagai teladan dalam upaya mewujudkan generasi unggul guna mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Oleh karena itu, kontekstualisasi pendidikan islam masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era revolusi dapat dijadikan alternatif dalam

2 Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung : Nuansa Aulia, 2008), hal. 12.
3

memaksimalkan kualitas sumber daya manusia sehingga mampu mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

  1. Bagaimana karakteristik model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah?
  2. Bagaimana kontekstualisasi model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era revolusi 4.0?
  3. Bagaimana kontekstualisasi model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era revolusi 4.0 untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur?
    1.3 Tujuan Penelitian
    Tujuan dari penelitian ini adalah:
  4. Mengetahui karakteristik model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah.
  5. Mengetahui kontekstualisasi model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era revolusi 4.0.
  6. Mengetahui kontekstualisasi model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era revolusi 4.0 untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur
    1.4 Manfaat Penulisan
    Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan sebagai bahan acuan pembanding atau pertimbangan bagi penelitian lebih lanjut.
    Secara praktis penelitian ini memiliki manfaat sebagai tawaran solusi mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur melalui kontekstualisasi pendidikan masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era revolusi 4.0.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kontekstualisasi
Teori kontekstualisasi oleh J. R. Firth, yang pada tahun 1930 menyatakan bahwa kontekstualisasi adalah sebuah metode komunikatif (menceritakan, menyampaikan) dengan bahasa sebagai instrumen kompleksnya. Pemikiran ini melahirkan ide tentang konteks situasi atau teori kontekstual dalam analisis makna.

2.2 Konsep Pendidikan Islam Dinasti Abbasiyah
Tujuan pendidikan hanya satu, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah serta mengharapkan keridhaannya. Sedangkan pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam. Adapun tujuannya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)Tujuan keagamaan dan akhlak,
2)Tujuan kemasyarakatan,
3)Cinta akan ilmu pengetahuan,
4)Tujuan kebendaan
Konsep pendidikan Dinasti Abbasiyah meliputi karakteristik pendidikan pada masa tersebut, yakni:

  1. Perkembangan ilmu naqli, Ilmu yang bersumber dari naqli (Al-Qur’an dan Hadits) contohnhya: ilmu kalam, ilmu tafsir, dan ilmu hadist
  2. Perkembangan ilmu aqliyah, ilmu yang berdasarkan pada pemikiran (rasio). contohnya: ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu fisika dan matematika, ilmu Astronomi, ilmu sejarah dan geografi.
    2.3 Konsep Pendidikan Era Revolusi 4.0
    Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan dan hambatan pendidikan Islam juga terus mengalami perkembangan dan perubahan. Jika pada beberapa dekade silam percakapan akrab antara peserta didik dengan guru terasa tabu, maka dalam teori pendidikan modern, hal ini justru merupakan hal yang wajar dan merupakan sebuah keharusan. Interaksi semacam itu justru menjadi indikasi keberhasilan proses pendidikan. Pada era pendidikan Islam tradisional, guru menjadi figur sentral dalam kegiatan pembelajaran. Ia merupakan sumber

3 Ibid., hal. 47-48. 4 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), hal. 46-47. 5 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenada Media, 2003), hal. 58-60.
5

pengetahuan utama di kelas, bahkan dapat dikatakan satu-satunya (teacher centered), namun lebih berpusat pada peserta didik (student centered).6
2.4 Konsep Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur
Kata baldatun berasal dari kata balad, secara bahasa biasa diterjemahkan dengan tempat sekumpulan manusia hidup. Baldatun thayyibatun berarti mengacu pada tempat bukan pada kumpulan orang. Namun penyusun tetap memasukkan ungkapan tersebut dalam istilah masyarakat ideal dengan pertimbangan faktor kebahasaan.7
Karakter negeri saba’, yang secara eksplisit dijelaskan dalam Al-Qur’an. Ibnu katsir dalam tafsirnya mengungkapkan beberapa keutamaan. Negeri yang memiliki bendungan Irom yang airnya mengalir dari sela-sela dua gunung, kemudian air sungai tersebut berkumpul dibendungan tersebut dengan air hujan. Dari situlah masyarakatnya menanam tanaman, sehingga tumbuh subur. Di negeri tersebut tidak ada nyamuk dan kuman, serta mendapat pertolongan Allah swt. Ibnu katsir menyimpulkan bahwa itu semua karena mereka istiqomah untuk mengesakan Allah dan beribadah kepada-Nya, akan tetapi ketika mereka mulai menyembah matahari maka Allah menghancurkan kemakmuranya.8
Dari uraian diatas, maksud dari baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah negeri yang baik bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya dan juga bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dari Allah SWT.

6 Rhenald Kasali, Disruption ,Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Ube, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017), hal. 16. 7 Mohamad Alwi Lutfi. dkk, Peran Nahdlatul Ulama Dalam Membina Nasionalisme Indonesia Ssebagai Upaya Mewujudkan Baldatun Tayyibatun Warabun Ghafur, (Brebes: 2014), hal. 14. 8 Ibnu Katsir, Tafsirul qur’anil adzim, as saba’:15, Maktabah Syamilah, hal. 507.

BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang menggali dari berbagai buku atau literatur. Dengan demikian, penelitian ini merupakan library research yaitu teknik penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam materi baik berupa buku, majalah, jurnal, dan beberapa tulisan lain yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan penelitian ini.9 Mestika Zed menjelaskan bahwa studi kepustakaan ini memiliki empat ciri, yaitu:
a. Bahwa peneliti berhadapan langsung dengan teks (nash) atau data angka dan bukan dengan pengetahuan dari lapangan atau saksi mata tempat kejadian. b. Data pustaka bersifat “siap pakai” (ready-mode), artinya peneliti tidak pergi kemana-kemana, kecuali hanya berhadapan Iangsung dengan bahan sumber yang sudah tersedia di perpustakaan. c. Data pustaka umumnya adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan. d. Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya kapan pun ia datang dan pergi data tersebut tidak akan pernah berubah karena ia sudah merupakan data “mati” yang tersimpan dalam rekaman tertulis (teks, angka, gambar, rekaman, tape, atau film)10
3.2 Sumber Data
Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari. Data ini disebut juga dengan data tangan pertama atau data yang langsung berkaitan dengan objek riset.11 Sumber data primer dalam penelitan ini adalah buku-buku mengenai pendidikan. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh.12 Dalam studi ini, data sekundernya adalah buku-buku yang

9 Afifuddin, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal.111. 10 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hal. 45. 11 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal.91. 12 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal.91.
8

mendukung penulis untuk melengkapi isi dari karya tulis ini. Dalam hal ini, sumber data sekunder berupa tulisan-tulisan dan literatur yang relevan dengan penilitian ini.
3.3 Teknik Pengumpulan
Data Teknik pengumpulan data adalah cara yang dapat digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data dan diharapkan data tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan. Dalam pengumpulan data ini penulis menelusuri, kemudian membaca, dan mencatat bahan-bahan yang diperlukan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan pembahasan.13 Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi.
Dalam penelitian ini sebagaimana telah disebutkan diatas data datanya adalah buku, majalah, dokumen, peraturan, notulen, literatur, dan sebagainya.14 Jadi, dokumentasi adalah mencari data atau informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan objek kajian dan bermanfaat dalam kajian ini, seperti buku, literatur, dan sebagainya.
3.4 Teknik Analisis
Data Analisis data adalah upaya mencari dan menata secara sistematis catatan untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai ternuan bagi orang lain.15 Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah content analysis atau “kajian isi”, yakni suatu teknik membuat inferensi (simpulan) yang dapat ditiru (replicable) dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis ini bersifat sistematis dan generalis. Selanjutnya, setelah melakukan content analysis, penulis menggunakan metode deskriptif untuk langkah selanjutnya. Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk memberi gambaran atau mendeskripsikan data yang telah terkumpul, sehingga peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya.

13 Moh Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 103. 14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Malang:Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hal.78. 15 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika, 1996), hal.104.
9

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Model Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah
Khalifah Bani Abbasiyah adalah Khalifah yang berkuasa di Baghdad yang saat ini menjadi ibukota Irak. Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Dinasti Abbasiyah merupakan pelanjut Dinasti Umayyah. Ia merupakan perwakilan dari kekhalifahan terbesar dan terpanjang dalam sejarah Islam Klasik.16 Bani Abbasiyah membawa peradaban Islam pada puncak kejayaannya, dan terutama pada perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat maju.17 Ada beberapa upaya yang dilakukan pada masa Bani Abbasiyah terkait kemajuan dan perkembangan pendidikan Islam, diantaranya:

  1. Metode Talaqqi Talaqqi artinya belajar secara langsung kepada seseorang yang ahli dalam membaca Al-Qur’an.18 Metode ini mencakup dua faktor yaitu adanya kerjasama yang maksimal antara guru dan murid.19 Sebagaimana yang diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah dalam halaqah, yang merupakan institusi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college. Sistem ini merupakan gambaran tipikal dari murid-murid yang berkumpul untuk belajar pada masa itu. Guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan, membacakan karangannya terhadap suatu karya atau yang lain. Murid akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lantai, dan melingkari gurunya.20

16 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004). 17 Harun Nasution, Islam Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, hal. 71. 18 Sa’dulloh, 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur’an,(Depok: Gema Insani, 2008), hal. 54. 19 Eli Ernayanti, Implementasi Metode Takrir dalam Menghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, (Surabaya: tpn, 2009), hal. 39. 20 Serli Mahroes, Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah Pendidikan Islam, Jurnal Tarbiya Volume 1 No.1(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2015), hal. 92.
10

Metode ini biasanya dilakukan pada sistem halaqah. Inti tujuan dari pendidikan sistem halaqah adalah untuk membentuk insan muslim yang memiliki kepribadian dan gaya hidup yang islami.21
2) Multicultural Education Bangsa Indonesia adalah bangsa multikultural, dan plural terdiri dari masyarakat yang sangat beragam baik adat istiadat, budaya, golongan dan lainnya. Setiap golongan mempunyai karakteristik dan kepentingan yang berbeda-beda.22
Menurut Baker,23 tujuan pendidikan multikultural adalah untuk membantu siswa: 1) Memahami latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat; 2) Menghormati dan mengapresiasi ke-bhineka-an budaya dan sosio-historis etnik; 3) Menyelesaikan sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh purbasangka; 4) Memahami faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang menyebabkan terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan etnik; 5) Meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis masalah-masalah rutin dan isu melalui proses demoktratis; 6) Mengembangkan jati diri yang bermakna bagi semua orang.
Dalam hal ini peneliti menyimpulkan, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menjadikan kultur sebagai basis pembelajaran dimana semua potensi kultur dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal dengan kesesuaian karakteristik kultur yang ada. Dari beberapa ahli penulis menyimpulkan, pendidikan multikultural bisa diartikan sebagai sebuah proses pendidikan yang memberi peluang sama kepada seluruh masyarakat, menghargai keragaman, dan mengembangkan seluruh potensi masyarakat dalam upaya memperkuat jalinan hidup bersama.
3) Rihlah Ilmiah Secara literal, rihlah berasal dari akar kata rahila-yarhilu-rihlatan yang berarti melakukan perjalanan (al-irtihâl) dengan menggunakan kendaraan [unta

21 Satria Hadi Lubis, Menjadi Murabbi Sukses, (Jakarta: Kreasi Cerdas Utama, 2003), hal 11. 22 Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Bandung: Mizan,1998) hal. 174. 23 Yaya Suryana dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural: Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep, Prinsip,dan Implementasi, hal. 199.
11

dan lainnya].24 Makna rihlah ini dapat dilihat dalam Q.S.Quraisy/106:2, yaitu îlâfihim rihlatasy-syâta’i wash-shayf [(yaitu) kebiasaan mereka (orang-orang Quraisy) bepergian di musim dingin dan musim panas]. Dalam beberapa penafsiran, diungkapkan bahwa rihlah yang dimaksud pada ayat ini adalah perjalanan ke luar daerah dengan tujuan berdagang.25 Dalam sejumlah ayat AlQur’an, juga diisyaratkan agar manusia melakukan suatu perjalanan, misalnya ungkapan Al-Hijrah26, atau Al-Sirah27, untuk mempertahankan kehidupan mereka.
4) Mujadalah (Dialektika) Secara etimologis, term yang berakar dari huruf-huruf jim-dal-lam menurut catatan Ibn-Faris mempunyai pokok pengertian upaya memperkuat sesuatu dan membatasinya dari kemungkinan meluasnya pembicaraan yang sedang terjadi. Kata ”jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.28 Sebagaimana Q.S. An-Nahl:125.
Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS AnNahl [16]: 125)29
Lebih ditegaskan lagi, bahwa kata wajadilhum (bantahlah) menunjukkan agar seorang aktivis dakwah senantiasa meluruskan pandangan yang salah, dan

24 Muhammad ibn Mukarram ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Abu Al-Qasim ibn Habqah Ibn Manzhur, Lisan Al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.). 25 Muhammad ‘Ali, Shafwah Al-Tafasir Al-Shabuni, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), vol.3, hal. 580. 26 Q.S. An-Nisa/ 4:97. 27 Q.S. An-Naml/ 27:69. 28 Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah (Gresik: Dakwah Digital Press, 2007), hal. 30. 29 Q.S. An-Nahl:125/16.
12

menolak dengan cara yang cerdas setiap pendapat yang tidak sejalan dengan AlQur’an dan As-sunah.30
4.2. Kontekstualisasi Model Pendidikan Islam Dinasti Abbasiyah Pada Pendidikan Era Revolusi 4.0
Kajian yang objektif tentang model pendidikan Dinasti Abbasiyah yang berintikan dinamika intelektual akan mengantarkan orang kepada kesimpulan, bahwa pendidikan islam Dinasti Abbasiyah merupakan konsep yang universal. Kontekstualisasi model pedidikan islam Dinasti Abbasiyah diakui kebenarannya secara universal, tanpa memberikan ketimpangan maupun penekanan pada salah satu unsur pendidikan era revolusi 4.0 dimana teknologi telah menjadi basis dalam kehidupan manusia. Segala hal menjadi tidak terbatas akibat perkembangan internet dan teknologi digital. Era ini telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, kebudayaan, terutama ke dunia pendidikan.31
Oleh karena itu, kualitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan agar mempunyai daya saing untuk mengahadapi era revolusi industri 4.0. Upaya pemenuhan tuntutan zaman juga dilakukan guna mencetak intelektualitas generasi muda penerus bangsa yang memiliki karakteristik: leadership, communication, emotional intelegence, problem solving, creative, critical thinking, dan team working yang menyesuaikan kebutuhan serta tuntutan zaman yang berimplikasi pada pendidikan era revolusi 4.0 dengan realisasi penerapan karakteristik model pendidikan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah sebagai berikut:

  1. Metode Talaqqi Istilah Talaqqi berasal dari bahasa Arab yang berarti “mempertemukan”. Talaqqi adalah istilah yang digunakan untuk belajar Al-Qur’an menghafal secara langsung atau face to face dengan guru baik sendiri maupun berkelompok.

30 Tata Sukayat, Quantum Dakwah (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 43. 31 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQur’an, 1984/1985).
13

Metode Talaqqi juga sering disebut dengan mus afaḥah atau biasa disebut privat.32
Metode ini relevan pengembangannya dalam pendidikan era revolusi 4.0 karena pembelajaran metode ini dilakukan secara langsung dengan potensi keberhasilan yang tinggi dengan pemusatan perhatian siswa pada apa yang disampaikan oleh guru sehingga metode ini direkomendasikan sebagai alternatif pembelajaran modern masa kini, dimana generasi muda telah dibutakan oleh semakin canggihnya teknologi yang berkembang. Metode ini dilakukan siswa dengan cara duduk melingkari gurunya (halaqah). Kemudian, guru akan menyampaikan materi yang diajarkan, disusul dengan siswa yang berpikir kritis untuk aktif bertanya tentang apa yang diajarkan oleh sang guru. Secara tidak sadar, keseluruhan proses tersebut memenuhi tujuan pendidikan era revolusi 4.0 yakni mencetak generasi dengan karakter: cakap dalam berkomunikasi, mampu berpikir kreatif, dan berpikir kritis.
2) Multicultural Education Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial, politik, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Pendidikan multikultural yang dimaksud dalam penelitian ini berfokus pada lingkup tradisi keagamaan, tradisi kemasyarakatan, status sosial ekonomi, dan gender yang dianut oleh guru dan peserta didik.33
Melalui multicultural education generasi muda dapat mengembangkan substansi communication dalam multiple social lifestyle. Pada masyarakat multikultural ini, dengan banyaknya diferensiasi sosial masyarakat tercipta suatu keharmonisan, demokrasi, saling menghargai, toleransi terhadap perbedaan,

32 Maftuh Basthul Birri Sirojuddin, Petunjuk Mengaji dan Mengajar Al-Qur’an di MMQ (Sidoarjo: Pondok Pesantren Lirboyo, 2009), hal.36.

33 Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 27.
14

kesederajatan dan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai satu kesatuan.34 Hal tersebut telah menjadi sunatullah yang diabadikan dalam Q.S. AlHujurat:13.35

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Berdasarkan konsep multicultural education, sistem pengasahan dan pengembangan communication yang konteksnya mengarah pada kehidupan sosial. Hal ini berdasar pada kontekstualisasi Pendidikan multikultural sendiri yang dimaksudkan secara sederhana sebagai satu pendidikan tentang keragaman budaya, pendidikan dengan budaya yang beragam. Menurut Muhaemin ElMa’hady pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan.36
Selain itu pendidikan multikultural membangun generasi muda yang memiliki jiwa leadership yang melahirkan jiwa pemimpin yang moderat dan memiliki kontrol dalam emotional intelegence. Hal ini sesuai dengam lima dimensi dalam multicultural education yang digagas oleh James Bank. 37 Berdasarkan uraian di atas dapat peneliti simpulkan bahwa, multicultural education mampu memenuhi tujuan pendidikan era revolusi 4.0 yakni mencetak

34 Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. (Jakarta: Grasindo, 2004), hal. 82. 35 Q.S. Al-Hujurat:13/49. 36 El-Ma’hady, Muhaemin. Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural, 2004, hal. 2. 37 A. Bank, James (ed). Multicultural Education: Issues and Perspectives. (London: Allyn and Bacon Press. 1993), hal: 3-24.

15

generasi dengan karakter: berjiwa pemimpin, cakap dalam berkomunikasi, cerdas dalam emosional, dan mampu berpikir kreatif.
3) Rihlah Ilmiah Menurut Abdul Hakam Ash-Sha’idi dalam bukunya yang berjudul “Bepergian (Rihlah) Secara Islami” rihlah adalah suatu perjalanan atau kegiatan bepergian yang salah satu tujuannya adalah untuk tujuan keagamaan seperti menuntut ilmu, menunaikan ibadah haji, jihad di jalan Allah SWT, berziarah ke tempat-tempat mulia, mengunjungi kerabat atau saudara karena Allah SWT, dan bepergian untuk mengambil ibrah atau menegakkan kebenaran dan keadilan. Selain itu juga rihlah juga merupakan perjalanan yang dapat bertujuan untuk kesenangan atau tamasya semata.38
Dalam penelitian ini, kegiatan rihlah yang dimaksud disini adalah suatu perjalanan ke luar kelas, baik perjalanan jarak dekat maupun jauh untuk tujuan ‘keagamaan yakni menuntut ilmu, belajar dengan terjun langsung ke lingkungan sosial, namun tetap menyeimbangkan antara tujuan pembelajaran dan tujuan kemasyarakatan dengan tujuan untuk urusan kesenangan (rekreatif). Dalam proses tersebut, peserta didik dituntut untuk menganalisa masalah yang ada di lapangan, kemudian peserta didik diminta berpikir kritis dalam menemukan solusi atas permasalahan tersebut dengan cara team working untuk dapat mengomunikasikan hasil observasi dalam bentuk laporan. Dalam kerja tim, dibutuhkan partisipasi anggota yang berjiwa pemimpin dalam upayanya memenuhi tugas yang dibagi dalam kelompok. Jadi, ia harus mengerti tentang bagaimana bertanggung jawab dalam kelompok yaitu melakukan pekerjaan sesuai tugas yang telah dibagi sesuai kesepakatan.
Pendidikan juga seharusnya mampu membawa anak-anak untuk taat kepada hukum, khususnya Agama Islam, karena hukum juga pada sejatinya memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai dan watak, baik nilai itu bersumber dari agama, maupun ajaran etika atau moral dari selain agama, atau dari keduanya.39

38Abdul Hakam Ash-Sha’idi, Bepergian (Rihlah) Secara Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hal. 28-29. 39 Qodri A. Azizy, Pendidikan [Agama] untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hal. 3.
16

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan rihlah ilmiah memenuhi tujuan pendidikan era revolusi 4.0 yakni mencetak generasi dengan karakter: berjiwa pemimpin, cakap dalam berkomunikasi, mampu menyelesaikan masalah, kerja tim, dan berpikir kritis.
4) Mujadalah (Dialektika) Secara etimologis, term yang berakar dari huruf-huruf jim-dal-lam menurut catatan Ibn Faris mempunyai pokok pengertian upaya memperkuat sesuatu dan membatasinya dari kemungkinan meluasnya pembicaraan yang sedang terjadi. Kata ”jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat atau berdialek bagaikan menarik ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.40 Sebagaimana Q.S. An-Nahl:125

Melalui mujadalah maka generasi muda akan melakukan critical thinking dan creative yang berdasar pada sudut pandang mujadalah dalam menghadapi objek yang berdasar pada kompleksitas suatu problem baik yang bersifat kaku dan keras sehingga terbentuklah suatu peluang untuk berdebat, diskusi (mujadalah) bersifat defensif. Pemahaman dari term-term mujadalah dalam Al-Quran berikut kandungan maknanya, secara operasional mujadalah dapat dijadikan sebagai usaha memperkuat pernyataan yang dipersoalkan dengan menggunakan argumentasi dan tujuan tertentu. Bila argumentasinya logis dan bertujuan menegakkan kebenaran, ia termasuk kategori terpuji (mahmudah). Sebaliknya, bila argumentasinya emosional dan bertujuan mempertahankan kebatilan, ia termasuk kategori tercela (mazmumah). Dengan demikina dapat dikatakan bahwa mujadalah pada hakikatnya adalah pernyataan yang sangat kuat. Karena, ia telah

40 Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah (Gresik: Dakwah Digital Press, 2007), hal. 30.
17

diperkuat dengan permasalahan (yang diperselisihkan), argumentasi dan tujuan yang tegas. 41 Melihat substansi pembahasan tersebut maka mujadalah dapat mengembangkan emotional intelegence generasi muda. Dimana generasi muda dituntut untuk bersikap secara dewasa dan bijaksana. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan rihlah ilmiah memenuhi tujuan pendidikan era revolusi 4.0 yakni mencetak generasi dengan karakter: berjiwa pemimpin, cakap dalam berkomunikasi, memiliki kecerdasan emosional, mampu menyelesaikan masalah, berpikir kreatif, kerja tim dan berpikir kritis.
4.3 Kontekstualisasi Model Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah pada Pendidikan Era Revolusi 4.0 Untuk Mewujudkan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur Pemunculan ide terbaru berupa kontekstualisasi model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era revolusi 4.0 bisa menjadi alternatif yang dapat dilakukan bangsa Indonesia dalam memajukan pendidikan dalam negeri. Berdasarkan penelitian yang di lakukan, kontekstualisasi pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah mampu memenuhi tujuan pendidikan era revolusi 4.0 yaitu leadership, communication, emotional intelegence, problem solving, creative, critical thinking, dan team working. Semua karakteristik model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah yang dikontekstualisasikan dengan pendidikan era revolusi 4.0 akan menghasilkan generasi yang memiliki karakter sesuai dengan kebutuhan guna mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sebagai berikut:

  1. Leadership; pemimpin mampu melakukan terobosan dan pembaruan signifikan, yang menghasilkan kesejahteraan bagi orang sekitar. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan indeks sumber daya manusia atau Human Capital Index, yang masih berada di posisi 69 dari 124 negara. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi semakin penting bagi Indonesia.
  2. Communication; dengan beragamnya bahasa serta kebudayaan, tentu dibutuhkan komunikasi yang efektif agar bisa saling memahami sesama. Komunikasi yang efektif juga akan menjadikan kita semakin menghargai

41 Aswadi Syuhadak, Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah, hal. 42.
18

perbedaan yang ada, sehingga tercipta suasana belajar yang nyaman karena, adanya timbal balik argumen.
3) Emotional Intelegence; mengetahui pentingnya kecerdasan emosional (emotional intelegence) untuk menunjang hasil belajar peserta didik, maka pengetahuan tentang kecerdasan emosional penting untuk dimiliki oleh setiap guru agar mampu mengembangkan kecerdasan emosional peserta didik.
4) Problem Solving; mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah-masalah, serta mengambil keputusan secara obyektif, rasional dan berpikir secar logis maupun analitis. Mengembangkan kemampuan tersebut dapat membuat siswa secara mandiri menemukan jalan untuk memecahkan masalah yang dia alami.
5) Creative; berpikir secara kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika seorang individu memunculkan suatu ide baru. Dengan kreatifitas, orang dapat mengembangkan skill dan pengetahuan, untuk mengembangkan usahanya dan menemukan hal-hal dan inovasi baru dalam hidupnya. Sehingga orang yang selalu berfikir kreatif akan memiliki banyak ide untuk mengembangkan usahanya dan menunjang nilai ekonominya.
6) Critical Thinking; berfikir secara kritis dalam pendidikan dapat memperluas cakupan pemahaman siswa dari segi manapun, berpikir kritis juga mengandung makna sebagai proses penilaian atau pengambilan keputusan yang penuh pertimbangan dan dilakukan secara mandiri. Hal tersebut memudahkan siswa untuk mendapatkan banyak informasi dan ilmu dalam belajar.
7) Team Working; setiap orang mungkin memiliki pemikiran yang berbeda. Akan tetapi dalam kerja sama tim kita harus sepakat satu sama lain. Kerja sama tim dapat meningkatkan kerjasama dan komunikasi, biasanya kerja sama tim merupakan kelompok yang memiliki perbedaan keahlian sehingga dijadikan kekuatan dalam mencapai sebuah tujuan. Karena itu perlu untuk di ingat bahwa kerja sama tim dilakaukan demi mencapai sebuah tujuan tertentu secara bersama.
19

BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan

  1. Pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah adalah puncak kejayaan Islam di bidang ilmu dan pengetahuan, yang terdiri dari beberapa karakteristik: metode talaqqi (pembelajaran tatap muka antara guru dengan murid), multicultural education (pendidikan berbasis keberagaman budaya pada murid), rihlah ilmiah (perjalanan atau melakukan kunjungan guna menuntut ilmu), dan mujadalah (mendiskusikan suatu masalah guna mencari jalan keluar). Tujuan dari pendidikan Islam Dinasti Abbasiyah adalah menghasilkan generasi dengan kemampuan intelektual dan kemampuan spiritual yang seimbang. 2) Karakteristik model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah dapat dikontekstualisasikan pada pendidikan era revolusi 4.0 dengan perwujudan nilai leadership, communication, emotional intelegence, problem solving, creative, chritical thinking, dan team working. Implementasi nilai tersebut akan menghasilkan generasi yang dinamis, menjunjung tinggi norma, menguasai ilmu dan teknologi yang berperadaban, serta berakhlakul karimah. 3) Kontekstualisasi model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era 4.0 akan mewujudkan generasi yang dapat mewujudkan negeri yang dengan karakter: leadership, communication, emotional intelegence, problem solving, creative, chritical thinking, dan team working.
    5.2 Saran
    Peneliti menyarankan pembaca dapat turut berkontribusi untuk mengoptimalkan upaya kontekstualisasi model pendidikan Islam masa Dinasti Abbasiyah pada pendidikan era revolusi 4.0. Kemudian, peneliti berharap agar penelitian ini dapat ditindaklanjuti oleh pihak terkait guna mencerdaskan generasi penerus bangsa dan perbaikan moral masyarakat.
    20

DAFTAR PUSTAKA
‘Ali, Muhammad. 2001. Shafwah Al-Tafasir Al-Shabuni. Beirut: Dar al-Fikr. vol.3.
A. Bank, James (ed). 1993. Multicultural Education: Issues and Perspectives. London: Allyn and Bacon Press.
Afifuddin. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Ash-Sha’idi, Abdul Hakam. 1998. Bepergian (Rihlah) Secara Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Azizy, Qodri A. 2003. Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: CV. Aneka Ilmu.
Azwar, Saifuddin. 2009. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Ql-Qur’an. 1984/1985.
El-Ma’hady, Muhaemin. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural. ttk.ttb.
Ernayanti, Eli. 2009. Implementasi Metode Takrir dalam Menghafal Al-Qur’an di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng. Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Surabaya: tpn.
Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif). Jakarta: Gaung Persada Press (GP Press).
Kasali, Rhenald. 2017. Disruption ,Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Ube. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
21

Katsir, Ibnu. tth. Tafsirul qur’anil adzim. as saba’:15. Maktabah Syamilah.
Lubis, Satria Hadi. 2003. Menjadi Murabbi Sukses. Jakarta: Kreasi Cerdas Utama.
Lutfi, Mohamad Alwi. dkk. 2014. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Membina Nasionalisme Indonesia Sebagai Upaya Mewujudkan Baldatun Tayyibatun Warabun Ghafur. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan. Vol. 18. No 2.
Mahfud, Choirul. 2008. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahroes, Serli. 2015. Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah Pendidikan Islam. Jurnal Tarbiya. Volume 1. No.1. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Moh, Wan. Daud, Nor Wan. 1998. Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan
Muhajir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika.
Muhammad ibn Mukarram ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Abu Al-Qasim ibn Habqah Ibn Manzhur. tth. Lisan Al-‘Arab. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Nasution, Harun. 1985. Islam Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1. Jakarta: UI Press.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Q.S. An-Nahl/16:125
Q.S. An-Naml/27:69
Q.S. An-Nisa’/4:97
Sa’dulloh. 2008. 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur’an. Depok: Gema Insani.
Sirojuddin, Maftuh Basthul Birri. 2009. Petunjuk Mengaji dan Mengajar AlQur’an di MMQ. Sidoarjo: Pondok Pesantren Lirboyo.
22

Sukayat Tata. 2009. Quantum Dakwah. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryana Yaya dan Rusdiana. 2015. Pendidikan Multikultural: Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep, Prinsip,dan Implementasi. Bandung: Pustaka Setia.
Susanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.
Susanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Syuhadak, Aswadi. 2007. Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah. Gresik: Dakwah Digital Press.
Syuhadak, Aswadi. 2007. Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah. Gresik: Dakwah Digital Press.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 3.
Yunus, Mahmud. 1989. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hidakarya Agung.
Zed, Mustika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.