Komunikasi Sebagai Penunjang Keberhasilan Penanganan Pandemi

Komunikasi Sebagai Penunjang Keberhasilan Penanganan Pandemi

Penulis : Yeha Regina Citra M

Sudah terhitung lima bulan Indonesia berjibaku melawan pandemi, sejak teridentifikasikannya kasus positif covid-19 pertama masuk ke negara ini pada bulan Maret. Sejak saat itu pula, informasi mengenai penyebaran virus pun semakin menggeliat dalam pemberitaan di media massa ataupun media sosial. Banyaknya pilihan berita yang bisa kita telusuri dengan sekali klik dari berbagai sumber, menjadikan kesimpang siuran informasi tak terbantahkan. Sekalipun pemerintah telah memusatkan pada laman website covid19.go.id.

Kegaduhan Informasi ini lantas memicu kepanikan di masyarakat.Rasa penasaran yang begitu besar menuntun mereka mencari tahu sebisa mereka .Tak peduli hoax atau fakta. Grup-grup media sosial pun ramai diperdengungkan “para pakar baru” dan tidak sedikit warga hanya ikut-ikutan membagikan informasi terkait covid-19 tanpa mengetahui kebenarannya. Dikutip dari CNBC Indonesia,Johnny G Plate,Menkominfo, menyatakan terdapat 554 Isu hoax terkait virus corona dari 1029 platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, bahkan Youtube.

Di sisi lain masyarakat menilai pemerintah kurang responsif dari awal terjadinya pandemi, meski telah banyak menyerang negara lain. Misalnya saja Menteri Kesehatan, dr. Terawan Agus Putranto yang pernah membantah kecurigaan masyarakat dengan mengatakan “tidak ada virus” tersebut di Indonesia. Hingga menimbulkan tanda tanya besar bagi sejumlah negara maju yang telah lebih dulu terpapar corona dan melakukan lockdown. Sedangkan rakyat sudah mulai resah

Selanjutnya dalam penanganan covid juga tidak terlihat satu komando.Antara pemerintah daerah dengan pusat bisa saja berbeda.Ada yang tegas mengatakan lockdown secara lokal pada daerahnya ada yang masih menunggu keputusan pusat sampai muncul lah istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ketidakjelasan kebijakan ini membuat masyarakat bingung melakukan tindakan apa, sedangkan warga juga harus tetap menafkahi keluarganya.

Sementara perdebatan kebijakan terus bergulir,angka kasus terpapar justru semakin memuncak. Belum lagi ditambah diksi baru yang harus dipahami publik seperti New Normal, PDP, ODP,OTG yang kabarnya penyebutan istilah tersebut baru saja direvisi lagi dengan kepmenkes 13 Juli 2020.

Dari berbagai pernyataan di atas jelas bisa disimpulkan bahwa komunikasi memberikan pengaruh kuat untuk menunjang keberhasilan penanganan covid-19. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan bisa jadi adalah reaksi atas ketidakpercayaan mereka karena lemahnya komunikasi publik di Indonesia akibat misinformasi yang selama ini beredar.

Rangkul Masyarakat dengan Komunikasi Empatik

Sadar atau tidak, komunikasi yang terjalin baik menjadi satu kunci untuk merangkul masyarakat di tengah pandemi. Bukan sekedar untuk memenuhi keingintahuan atas informasi terbaru, tapi lebih dari itu masyarakat membutuhkan pesan-pesan kemanusiaan yang bisa meredakan kegentingan dan meningkatkan kesehatan mental .

Satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menerapkan komunikasi krisis secara benar, yakni upaya sesorang untuk membangun kembali komunikasi yang mengalami kegagalan sehingga terciptalah suasana yang kondusif. Dalam hal pandemi ini humas profesional lah yang memiliki kewenangan utama.

Adapun Aldhily menyebutkan beberapa sikap yang harus dimiliki seorang humas saat menghadapi sebuah krisis, di antaranya :

  • Bersikap tanggap atas isu yang tengah berlangsung bisa dengan mengadakan konferensi pers
  • Bersikap tangguh di dalam menjadikan dirinya sebagai negosiator yang baik
  • Bersikap empati untuk mengeliminasi krisis
  • Bersikap realistis dengan menyampaikan informasi sesuai fakta, termasuk kondisi force majeur
  • Bersikap rasional dengan tidak menyampaikan perkataan yang sekiranya mampu menimbulkan polemik dan menamah kesulitan. (Korniawan, 2019)

Sementara itu Kriyantono menerangkan jika public relations bisa menerapkan strategi komunikasi krisis yang dirancang sebagai berikut:

  • Mengurangi resiko muncul kepanikan publik
  • Mengurangi kekhawatiran yang dirasakan publik
  • Mengurangi spekulasi yang berada di awal krisis
  • Melindungi lembaga dari kritik-kritik spekulasi
  • Bersifat dapat dipercaya, keterbukaan, dan komunikasi berbasis keseimbangan kepentingan
  • Didesain untuk meminimalkan kerusakan citra lembaga (Irene Silviani, 2020)

Secara keseluruhan dapat kita pahami dari teori di atas, bahwa pada dasarnya sikap empati berperan besar dalam penerapan komunikasi krisis.Seorang komunikator harus bisa menempatkan diri sebagaimana yang dirasakan publik saat ini. Agar pesan yang disampaikan tepat sasaran.

Lebih dalam lagi istilah ini dikenal dengan sebutan “Komunikasi Empatik” . Dikutip dari beritabaik.id , Prof. Deddy Mulyana, Guru Besar Universitas Padjajaran menjelaskan komunikasi empatik adalah komunikasi yang menunjukkan adanya saling pengertian antar komunikator dan komunikan. Dan diharapkan menciptakan sebuah interaksi yang membuat suatu pihak memahami sudut pandang pihak lainnya.

Memperbanyak edukasi seputar pola hidup sehat misalnya jauh lebih dibutuhkan sekarang. Ajakan cuci tangan, gerakan memakai masker yang benar, resep memasak menu bergizi, tips berkebun di rumah,dan konten-konten kreativitas lainnya entah melalui kesenian.

Lalu dari sudut media massa agar lebih sering menyorot juga profesi-profesi yang berjuang di tengah pandemi, tokoh masyarakat yang tidak kenal lelah berbagi dan tetap bisa survive meski ekonominya sederhana.Yang bisa diletakkan pada topik features sebagai selingan. Dibandingkan dengan sekedar update penambahan kasus covid-19.

Kemudian dari sisi penyidakan protokol kesehatan oleh aparat mungkin bisa lebih persuasif lagi penyampaiannya. Tidak hanya berupa sanksi dan denda yang membuat orang lain ketakutan, namun lebih kepada bagaimana agar warga senang memakai masker dan mematuhi protokol kesehatan. Contoh memakai kostum badut korona.

Sedangkan dalam lingkup kecil, komunikasi empati juga dapat dilakukan di keluarga dengan saling terbuka Atau saling curhat jika menemui sebuah kegalauan di masa pandemi. Atau bahkan diet digital dan memperbanyak kegiatan bersama di rumah yang lebih produktif.

Jangan Terlalu Banyak Istilah Membingungkan

Kegagalan komunikasi selanjutnya dapat kita lihat dari banyaknya istilah baru yang bermunculan di masa pandemi. Tapi sayangnya tidak sebanding dengan daya literasi masyarakat, sehingga menyebabkan salah penafsiran.

Perubahan realita yang kini identik dengan penyebutan “New Normal” cenderung membuat masyarakat Indonesia salah paham. Sebagian dari kita justru mengira jika kehidupan kembali seperti semula, dengan aktivitas di luar rumah seperti biasanya tanpa perlu mengenakan masker, faceshield, dan juga tidak harus physical distancing (jaga jarak aman). Bahkan ada yang menyeletuk “wah berarti selama ini kita tidak normal ya kok sekarang new normal.”

Alih-alih mengikuti tren bahasa dengan frasa bahasa asing agar bisa diterima semua kalangan, nyata nya sebaliknya. Penerimaan publik jauh dari harapan pemerintah. Aturan yang semula diperketat ketika PSBB sekarang terlihat sangat bebas. Orang berkumpul di restoran, nongkrong di mall, keluyuran ke sana kemari .

Ini jelas menjadi perhatian khusus, bahwa sebaiknya digunakan saja bahasa yang sesuai dengan negara kita Indonesia. Yang sekiranya mampu memberikan pengertian “New Normal” yang diinginkan pemerintah adalah perubahan perilaku untuk melakukan aktivitas sehari-hari dengan mematuhi protokol kesehatan.

Dan belum lama ini telah direvisi Pemerintah, dikutip dari Kompas.com (14/7), Juru Bicara Satgas Covid19, Achmad Yurianto mengakui jika New Normal diksi yang salah. Kemudian diganti dengan “kebiasaan baru”.

Lalu menyusul revisi istilah lainnya, Menkes, dr. Terawan Agus Putranto secara resmi menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ 413/2020 tentang pedoman pencegahan dan pengendalian covid-19. Dalam Kepmenkes tersebut istilah ODP berubah menjadi kontak erat, PDP sebagai kasus suspek, sedangkan OTG adalah kasus konfirmasi asimptomatik.

Memang istilah ini penting dalam dunia ilmiah untuk memudahkan pengelompokan kasus covid dan mempersingkat penulisan saat penyampaian berita di media massa . Namun tetap saja, bagi orang awam istilah-istilah di atas cukup mengernyitkan dahi alias membingungkan. Apalagi yang notabene nya bukan dari kalangan akademisi perlu waktu lama untuk memahami semua itu.

Maka sebaiknya bagi para petugas medis dan seluruh profesi garda terdepan sekiranya mempersiapkan bahasa yang sederhana sesuai bahasa yang mudah dimengerti warga, ketika bertemu langsung dengan orang-orang. Misalkan dalam sosialisasi pencegahan covid di suatu daerah terpencil .

Pandemi Covid Musuh Kita Bersama

Kehidupan sudah berubah total, mari kita saling menjaga dengan mematuhi protokol kesehatan. Dan jangan lupa melakukan proses komunikasi yang baik dan benar agar tidak terjadi kesalahpahaman yang memicu keresahan banyak pihak. Teliti dulu segala informasi yang diterima dan tanyakan ke pihak yang berwenang jika belum mengerti.

Istilah-istilah komunikasi pandemi tetap perlu kita ketahui, namun tidak usah terlalu diributkan. Yang terpenting bagaimana membentuk kesiapan masyarakat menghadapi perubahan perilaku di tengah wabah dengan bahasa paling sederhana dan mudah diterima pesannya.

Tidak hanya pemerintah dan garda terdepan saja yang berjuang melawan pandemi dI Indonesia tapi kerjasama semua kalangan. Dengan tetap menjaga suasana kondusif dan tidak memperkeruh melalui hoax.

Daftar Pustaka

Korniawan. 2019. Kreativitas Komunikasi Bagi GPR di dalam Komunikasi Krisis. (Ponorogo: Uwais Insipirasi Indonesia)

Silviani, Irene. 2020. Public Relations Sebagai Solusi Komunikasi Krisis. (Surabaya : Scopindo)

Beritabaik.id. 29 Juni 2020.Mengenal Komunikasi Empatik di Era Kenormalan Baru. https://beritabaik.id/read?editorialSlug=gaya-hidup&slug=1593411816381-mengenal-komunikasi-empatik-di-era-kenormalan-baru. (diakses pada 15 Juli 2020)

CNBC Indonesia. 18 April 2020. Kominfo: Ada 554 Hoax Soal Covid-19 dengan 89 Tersangka. Kominfo: Ada 554 Hoax Soal COVID-19 dengan 89 Tersangka. (diakses pada 15 Juli 2020)

Kompas.com. 14 Juli 2020. Saat Pemerintah Akui Salah Gunakan Diksi “New Normal”. Saat Pemerintah Akui Salah Gunakan Diksi "New Normal"... Halaman all - Kompas.com. (diakses pada 15 Juli 2020)

KompasTV.15 Juli 2020. Menkes Terawan Ganti Istilah ODP, PDP, OTG Corona,Berikut Penjelasannya. Menkes Terawan Ganti Istilah ODP, PDP dan OTG Corona, Berikut Penjelasannya. (diakses pada 16 Juli 2020)