Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok.
Kata Dang Hyang Lohgawe:
"Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakera dan yang kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian:
“Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada disini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian.”
Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai.
Kata Dang Hyang Lohgawe:
“Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja”.
Menjawablah Ken Angrok:
“Betul tuan, anaknda bernama Ken Angrok.”
Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe:
“Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja kamu pergi.”
Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya,
Kata Tunggul Ametung:
“Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan.”
Menjawablah Dang Hyang Lohgawe:
“Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu”.
Menjawablah Tunggul Ametung:
“Nah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini”.
Demikianlah kata Tunggul Ametung. Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu, Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu.
Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggu1 Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik:
“Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan.”
Demikian kata Mpu Purwa:
“Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar.”
Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen. Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken Dedes menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji;
Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat. Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata:
“Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu”.
Dang Hyang menjawab:
“Siapa itu, buyung”.
Kata Ken Angrok:
“Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba”.
Kata Dang Hyang:
“Jika ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi maharaja.”
Ke Angrok diam, akhirnya berkata:
“Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan mengijinkan.”
Jawab Dang Hyang:
“Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri.”
Kata Ken Angrok:
“Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan.”
Sang Brahmana menjawab:
“Akan kemana kamu buyung?”
Ken Angrok menjawab:
“Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya.”
Kata Dang Hyang:
“Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung.”
Kata Ken Angrok:
“Apakah perlunya hamba lama disana.”
Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan.
“Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi.”
Ken Angrok menjawab:
"Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba. Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya:
“Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu.”
Kata Sang Brahmana:
“Itu yang disebut seorang perempuan ardana reswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat menjadi maharaja.”
Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang,
Kata Dang Hyang:
“Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu sendiri.”
Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba."
Menjawablah Bango Samparan:
“Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika kamu tusuk keris yang kurang bertuah. Saya ada seorang teman, seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia.”
Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok. kata Ken Angrok:
“Hamba memohon diri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang.”
Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Angrok datang lalu bertanya:
“Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan datang keperluan yang harus hamba lakukan.”
Kata Mpu Gandring:
“Jangan lima bulan itu, kalau kamu menginginkan yang baik, kira – kira setahun baru selesai, akan baik dan matang tempaannya,”
Ken Angrok berkata:
“Nah, biar bagaimana mengasahnya, hanya saja, hendaknya selesai didalam lima bulan.”
Ken Angrok pergi dari Lulumbang, ke Tumapel bertemu dengan Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok:
“Apakah sebabnya kamu lama di Tumapel itu.”
Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada perjanjiannya, bahwa ia menyuruh membuatkan keris kepada Mpu Gandring. Pergilah ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang mengasah dan memotong motong keris pesanan Ken Angrok. Kata Ken Angrok:
“Manakah pesanan hamba kepada tuan Gandring.”
Menjawablah Gandring itu:
“Yang sedang saya asah ini, buyung Angrok.”
Keris diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok. Katanya dengan agak marah:
“Ah tak ada gunanya aku menyuruh kepada tuan Gandring ini, bukankah belum selesai diasah keris ini, memang celaka, inikah rupanya yang tuan kerjakan selama lima bulan itu.”
Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya ditusukkan kepada Gandring keris buatan Gandring itu. Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang berbelah menjadi dua, diletakkan pada landasan penempa, juga ini berbelah menjadi dua.
Kini Gandring berkata:
“Buyung Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang raja akan mati karena keris itu.”
Sesudah Gandring berkata demikian lalu meninggal. Sekarang Ken Angrok tampak menyesal karena Gandring meninggal itu, kata Ken Angrok:
“Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah, juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang.”
Lalu pulanglah Ken Angrok ke Tumapel. Ada seorang kekasih Tunggul Ametung, bernama Kebo Hijo, bersahabat dengan Ken Angrok, cinta mencintai. Pada waktu itu Kebo Hijo melihat bahwa Ken Angrok menyisip keris baru, berhulu kayu cangkring masih berduri, belum diberi perekat, masih kasar, senanglah Kebo Hijo melihat itu. Ia berkata kepada Ken Angrok:
“Wahai kakak, saya pinjam keris itu.”
Diberikan oleh Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang memakai melihatnya itu. Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, tidak orang Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Hijo menyisip keris baru dipinggangnya. Tak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat diambil oleh yang mencuri itu. Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari pergi kedalam rumah akuwu, saat itu baik, sedang sunyi dan orang orang tidur, kebetulan juga disertai nasib baik , ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung, tidak terhalang perjalanannya, ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok, tembus jantung Tunggul Ametung, mati seketika itu juga. Keris buatan Gandring ditinggalkan dengan sengaja. Sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam didada Tunggul Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu dikenal keris Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja. Kata orang Tumapel semua:
“Terangnya Kebo Hijolah yang membunuh Tunggul Ametung dengan secara rahasia, karena memang nyata kerisnya masih tertanam didada sang akuwu di Tumapel.”