Kisah "The Power of A 'Sorry' "

Pernah ada seorang lelaki yang memiliki 3 putri dan merupakan orang tua tunggal bagi anak-anaknya. Suatu pagi dia meminta putri sulungnya, Sonia, untuk mencuci piring sebelum pergi ke sekolah. Tidak menyadari bahwa dia sudah terlambat dan menghadapi terlalu banyak pemberitahuan terlambat, dia tercengang melihat reaksinya. Dia menangis tersedu-sedu.

Sekali lagi, salah menafsirkan motif di balik tangisan tersebut, dengan asumsi bahwa dia hanya berusaha keluar dari pekerjaan yang tidak menyenangkan, dia menuntut agar putrinya tersebut mengeringkan air matanya dan segera kembali bekerja. Putrinya dengan enggan mematuhinya, tapi kemarahannya bisa terdengar dengan jelas di piring piring di wastafel, dia kembali menatap ayahnya dan menatap dengan cemberut ke luar jendela.

Biasanya pria tersebut memanfaatkan waktu yang tidak terputus untuk dihabiskan bersama anak-anaknya saat mengantar mereka ke sekolah dengan mengajarkan puisi atau ayat-ayat religius. Namun pagi itu tidak ada lagu, hanya diam, keheningan. Pria itu menurunkan putrinya, menggumamkan selamat tinggal dan pergi ke kantor. Dia mencoba bekerja tapi tidak bisa berkonsentrasi, semua yang bisa dilihatnya adalah wajah putrinya yang ketakutan dan terengah-engah saat dia dengan ragu keluar dari mobil untuk menemui guru dan teman sekelasnya. Pria itu mulai menyadari bahwa waktunya salah dan dengan berlalunya hari itu, dia mulai merasa menyesal.

Jadi dia memutuskan untuk meminta maaf pada putrinya dan tidak bisa menunggu sampai makan malam untuk meminta maaf. Jadi dia mengambil izin dari sekolah untuk menjemput putrinya untuk makan siang dan tercengang melihat kejutan di wajahnya. Pria itu menggandengnya melalui koridor dan saat pintu tertutup di belakang mereka, dia berbalik menghadap putrinya dan berkata, “Sonia ayah minta maaf. Ayah sangat menyesal. Bukannya ayah seharusnya tidak meminta bantuanmu di rumah, tapi ayah tidak berhak melakukannya pagi ini tanpa peringatan sebelumnya. Ayah membuatmu kesal pada saat kau sangat membutuhkan cintaku dan dukunganku sebelum kamu pergi ke sekolah. Dan ayah membiarkanmu pergi tanpa mengatakan ‘Aku mencintaimu’. Ayah salah. Tolong maafkan ayah.”

Sonia melingkarkan tangannya di leher ayahnya dan memeluknya, dan berkata, “Oh, Ayah, tentu saja aku memaafkanmu. Aku mencintaimu juga.”

Kekuatan dari kata-kata restoratif ini, “Maafkan aku!” adalah kata - kata yang menyembuhkan hubungan antara kita dan teman-teman kita dan orang-orang terkasih, dan antara kita dan Tuhan.

Bagaimana pendapat Anda tentang kisah ini?

Sumber:

Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak malu meminta maaf walaupun kepada yang lebih muda dari kita. Contohnya adalah pada cerita tersebut. Sang Ayah meminta maaf kepada anaknya dan mengakui kesalahannya. Kata maaf yang terucap dari mulut kita bisa memperbaiki hubungan antara kita dan orang di sekitar kita.