Kisah Tak Berujung

images
sumber : https://images.app.goo.gl/WdJpUEpQUH834jAd8

Dingin semakin mencengkeram tubuhku yang sedang terdiam dengan tatapan kosong. Pikiranku terhantui oleh bayang-bayang masalalu yang tak ku tahu usai tidaknya. Digentayangi pertanyaan ‘mengapa’ dan bahkan aku tak tahu kelak siapa yang akan menjawabnya. Aku ingat betul saat pertama kali dia menyapaku. Diiringi oleh hujan, dia tengah terburu-buru mencari tempat aman untuk berteduh. Di sela-sela itu, senyumnya mengembang tiada henti saat menengok ke arahku.

“Manis,” gumanku yang tak sadar tersenyum balik ke arahnya.

Tak hanya itu, caranya membuatku tersenyum masih melekat di memoriku. Banyak hal ajaib yang dilakukannya untuk menarik perhatianku.

“Kalau kamu sedih, kamu inget aja aku. Aku yakin sedihmu akan hilang. Kalau perlu pasang fotoku sekalian di wallpaper kamu. Ngga bakal sedih pastinya,” kalimatnya yang sengaja menghiburku sewaktu aku dilanda kesedihan.

Kala itu kami asik bercengkerama di bawah langit sore yang memunculkan semburat jingga. Larut dalam obrolan, kami membahas seputar pribadi masing-masing, tak lupa juga diselipkan kalimat basa-basi untuk mencairkan suasana.

“Udah malam, yuk aku anter pulang,”

Aku menganggukkan kepala dengan wajah sedikit tersipu.

Setibanya di rumah, seperti biasa, mama menungguku di depan rumah jika aku pulang terlambat.

“Gak mau mampir dulu, Nak?”

“Engga usah, Tante. Saya langsung pamit aja.”

Tak sampai itu, dia juga sering mengirimi pesan walau sekedar memberi ucapan. Menyempatkan sedetik waktunya hanya untuk berkabar. Aku pun demikian. Pernah kami mengobrol via telepon hingga tak menghiraukan waktu yang terus berputar. Alhasil, masing-masing terlelap dengan handphone yang masih pada genggaman.

drrrrrr….

Aku terbangun dengan menyipitkan mata, melihat handphone yang masih kugenggam. Ternyata dia telah mematikan terlebih dahulu. Mungkin saat aku tertidur dan dia bangun lebih awal dariku.

‘Hari ini kalau kamu ngga ada acara, aku kerumahmu ya!’

Ku balas pesannya dengan peraasaan tak karuan. Mungkin sudah dianggap gila oleh mama jika mama melihatku tersenyum sendiri memandangi handphone. Angka menunjukkan pukul 10 pagi. Hatiku mendadak berdebar. Jantungku serasa ingin lompat. Jujur, selama ini aku belum pernah merasa deg-deg an sampai sedemikian rupa.

“Mungkin karena tadi nggak sarapan kali ya,” batinku

Tak lama kemudian suara motor terdengar memasuki halamanku. Aku segera beranjak keluar dan membuka pintu tanpa sabar.

“Yah, papaaaaaa. Aku kira siapaaa?! Lagian papa darimana, sih?” kesalku

“Dari toko depan beli alat pancing. Hayo nungguin siapa?” goda papa tanpa butuh jawaban dariku

Aku kembali ke kamarku dengan perasaan kesalku pada papa dan juga malu pastinya.

“Nak, orang yang kamu cari nunggu di depan.”

Aku berjalan menemuinya secepat kilat. Benar dugaanku, dia tengah mengobrol dengan orangtuaku. Gelak tawa memenuhi sepanjang obrolan mereka. Aku sangat senang dia juga bisa dekat dengan orangtuaku.

Itu alasannya mengapa aku semakin tertarik dengannya. Namun aku sangat jelas tidak berani untuk mengungkapkan perasaanku. Aku kan perempuan, masa iya harus mengungkapkan rasa terlebih dahulu. Toh, aku tidak tahu dia juga menyimpan rasa padaku atau cuma bersikap baik.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, bahkan hari telah berganti bulan. Aku selalu menjalani hari dengan dia, entah saat sedih ataupun senang. Tapi, kami saling bungkam atas perasaan masing-masing. Walaupun bisa dilihat dari tindakan, tapi ego kami masih berseteru. Tidak mau mengakui apa yang masing-masing rasakan. Keduanya hanya saling menunggu satu sama lain untuk berbicara tentang pengakuan rasanya.

‘Please , ya! aku tuh cewe. Ga mungkin lah kalo ungkap duluan’

‘Kok dia ga peka ya atas perlakuanku selama ini. Atau jangan-jangan dia ga ada rasa sama aku’

Itu adalah argument dari ego masing-masing. Sampai pada suatu hari dia mendadak berubah. Pesan yang biasanya kudapat dari dia setiap waktu, kini hanya layar kosong. Hangat lembut sapanya kini tak lagi kudengar. Aku tak berani menanyakan hal itu padanya bahkan aku tak ingin untuk menyapanya terlebih dahulu dan menanyakan apa yang terjadi. Dia juga tak menjelaskan apapun.

Masing-masing memilih untuk memendam dan membiarkan kisah ini berlalu tanpa kejelasan.

ceklekkkk

Suara pintu yang dibuka oleh mama terdengar nyaring hingga membuyarkanku dari lamunan masalalu itu. Tak ada lagi kejelasan dan memang sudah tak butuh untuk dijelaskan. Seharusnya aku menyadari, kisah ini telah usai sejak lalu tanpa sepatah kata apapun. Rasanya aneh, perpisahan ini terlalu singkat. Mungkin karena ego masing-masing tak pernah mau mengalah dalam hal siapa yang harusnya mengungkap rasa terlebih dahulu. Atau kah kesalahpahaman dalam hal menebak rasa. Sepele memang dan aku baru menyadari ternyata ego yang tak terkendali berujung pada perpisahan.

1 Like