Keterpisahan antara Kepuasan dan Kesadaran

Dunia yang luas ini selalu menyuguhkan bermacam-macam impian. Bahkan mereka tidak peduli jika impian itu membawa malapetaka bagi sekitarnya. Tujuannya hanya satu yaitu kepuasan diri. Tidak ada yang lain. Selalu berharap ketika fajar menyingsing mereka bangun dalam kesadaran yang mengagumkan. Menjalani hari-hari yang lebih baik dari kemarin, tepatnya baik untuk diri sendiri. Melakukan aktivitas serta pekerjaan dengan motivasi demi kesenangan diri semata. “Tidak peduli dengan orang lain” menjadi kata yang tidak asing lagi di telinga.

Kepuasan diri sendiri identik dengan kebahagiaan yang dirasakan. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah prinsip dan tujuan utama di dalam hidup mereka. Kebahagiaan itu dapat mereka rasakan melalui prestasi yang dicapai. Tetapi arti prestasi bagi mereka bukanlah sebuah kepuasan, melainkan mengejar lebih banyak. Ketika sudah mendapatkan satu prestasi mereka ingin menambahnya. Seperti kehilangan kesadaran demi menjemput kebahagiaan. Dan itulah yang selalu mereka lakukan sampai ajal menjemput.

“Bu, aku pergi bermain ya” izin budi kepada ibunya. Ibu budi hanya mengangguk kemudian Budi berangkat. Tempat bermain Budi dengan temannya cukup jauh sehingga ia perlu menaiki angkutan umum kesana. Di dalam angkutan umum Budi mengeluarkan sebungkus rokok yang disimpannya di kantong celananya kemudian mengambilnya sebatang. Setelah itu ia mengeluarkan sebuah korek api dari saku bajunya. Budi menghidupkan rokoknya dan menghisapnya. Setelah menghisap rokok dengan nafas yang dalam, Budi menghembuskan nafasnya yang disertai asap dengan kencang. “Mas, rokoknya bisa dimatikan?” kata seorang perempuan yang duduk disamping Budi karena merasa terganggu. Budi hanya diam dan membuka kaca jendela dengan lebar. Budi tampaknya tidak peduli.

Tidak hanya diluar, dirumah juga Budi melakukan hal demikian. Ia membakar ujung rokoknya setelah makan malam dan kembali menghisapnya. “Budi, tidak sopan merokok ketika ada yang sedang makan” kata ibu Budi dengan posisi mulut sedang mengunyah makanan. “Kan Budi sudah selesai makan bu, lagipula ruangan ini cukup lebar untuk memuaikan asap ini” jawab Budi dengan santai.

Setelah makan Ibu memerintahkan Budi berdiri di hadapan sebuah cermin. Kemudian terlontar pertanyaan Ibu kepada Budi “Siapa dirimu nak?”. “Mengapa Ibu bertanya demikian? Kita adalah sama Bu, sama-sama manusia” jawab Budi dengan melihat pantulan dirinya di cermin. “Kamu benar. Oleh karena itu sadarlah. Kenali dirimu dan kenali orang sekitarmu. Kita adalah sama. Kamu memiliki kekurangan, Ibu memiliki kekurangan dan setiap orang di dunia juga memiliki kekurangan. Maka untuk menutupi kekurangan itu kita membutuhkan kebersamaan. Kebersamaan dapat dimulai dengan menghargai hidup orang lain. Dunia bukan hanya milikmu tetapi milik kita semua. Hidup harus bersosialisasi dan jangan egois. Jika ingin egois sebaiknya hidup di Hutan saja” dengan begitu tajam ibu menasehati Budi.

Menempatkan diri sebagai prioritas tidak salah karena itu adalah kebutuhan. Kesalahan itu adalah ketika manusia hanya mencintai dirinya sendiri tetapi tidak memahami lingkungan sekitarnya serta membahagiakan diri sendiri dengan menolak kehadiran orang lain. Hal seperti inilah yang kita kenal dengan sebutan egois. Seperti kata Laurence Sterne “menghormati diri sendiri membimbing moral kita, menghormati orang lain membimbing perilaku kita”. Egoisme sudah ada sejak lama di dunia ini. Tetapi jika saling menyadari dan menghargai sesama manusia, egoisme dapat diminimalisir.

Sumber gambar : https://www.mladicentar.org/index.php/duhovnost/603-pogled-u-ogledalu