Keterampilan atau Kompetensi Apa yang Harus dimiliki Oleh Seorang Konselor?

Konseling didesain untuk menolong klien dalam memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap suatu masalah yang sedang mereka hadapi melalui pemecahan masalah dan pemahaman karakter dan perilaku klien.

Keterampilan atau Kompetensi apa yang harus dimiliki oleh seorang Konselor ?

1 Like

Untuk menjadi seorang konselor yang efektif, maka diperlukan keterampilan yang mendukung kinerja konselor tersebut. Menurut Mappiare (2002) ada beberapa keterampilan dasar yang dimiliki oleh konselor, yaitu:

1. Kompetensi Intelektual

Kompetensi intelektual konselor merupakan dasar lain bagi seluruh keterampilan konselor dalam hubungan konseling baik di dalam maupun diluar situasi konseling.

Tugas konselor adalah membntu kliennya untuk meningkatkan dirinya secara keseluruhan. Konselor sendiri agar dapat membantu kliennya maka ia harus memiliki pengetahuan tentang ilmu perilaku, mengetahui filsafat, mengetahui lingkungannya. Selain itu konselor dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir runtun-rapi, dan logis. Hal ini penting konselor dapat membantu siswa secara berpikir objektif, mempertimbangkan alternatif dan dapat menafsirkan hasil-hasil konseling

2. Kelincahan Karsa Cipta (Fleksibilitas)

Menurut Jones, Stafflre, dan Stewart (1979) dalam Mappiare (2002), penerapan istilah kelincahan karsa cipta ini memiliki istilah umum adalah ”flexibility”. Sedangkan istilah secara khusus dalam situasi konseling hal tersebut berkaitan dengan istilah ”intentionality” .

Fleksibilitas adalah kemampuan dan kemamuan konselor untuk mengubah, memodifikasi, dan menetapkan cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan (Latipun, 2004: 48). Karena sifat hubungan dalam konseling adalah tidak tetap, maka konselor haruslah tidak kaku. Ia harus peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan sikap, persepsi, dan ekspektasi klien terhadapnya. Hal tersebut menuntut kelincahan (fleksibility) konselor dalam menempatkan diri. Konselor berupaya untuk beradaptasi dengan situasi yang berkaitan proses konseling dengan klien.

Sedangkan intensionalitas berkenaan kemampuan konselor untuk memilih respon- respon bagi pernyataan kliennya dari sejumlah besar kemungkinan respon yang dapat diungkapkannya dalam proses konseling. Oleh karena banyaknya kemungkinan respon yang dapat dibuat konselor, maka dibutuhkan kelincahan dalam memilih dengan cepat dan tepat respon yang bijak.

3. Pengembangan Keakraban

Istilah pengembangan dalam ini mengacu pada pembinaan hubungan yang harmonis antara klien dan konselor atau lebih dikenal dengan istilah ”rapport”. Keakraban mengacu pada suasana hubungan konseling yang bercirikan suasana santai, keselarasan, kehangatan, kewajaran, saling memudahkan dalam percakapan, saling menerima antara klien dan konselor. Dalam hal ini ada kesediaan konselor untuk mendengarkan dengan penuh perhatian, terbuka dan penerimaan segala apa yang mungkin akan diucapkan oleh klien yang baru datang.

Dengan kata lain bahwa mendengarkan dengan penuh perhatian, penerimaan dan pemahaman, serta sikap sejati dan terbuka, yang berhasil dipancarkan konselor dan dapat dipersepsi dengan baik adalah salah satu parasyarat dalam pengembangan keakraban.

Sumber :
Mulawarman, Eem Munawaroh, Psikologi Konseling: Sebuah Pengantar bagi Konselor Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Seorang konselor harus memiliki keterampilan-keterampilan yang mencukupi. Meskipun terdapat beragam pendekatan terhadap konseling, ada seperangkat keterampilan umum yang mendasari berbagai pendekatan.

Yeo (2003) mengemukakan terdapat tiga perangkat keterampilan konselor, yakni keterampilan antar pribadi, keterampilan intervensi dan keterampilan integrasi.

Keterampilan Antarpribadi


Keterampilan ini merupakan keterampilan inti dalam konseling. Termasuk dalam keterampilan ini adalah semua keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun realsi dengan klien, sehingga klien dapat terlibat dalam proses konseling. Keterampilan ini merupakan dasar karena relasi yang penuh kepercayan antara konselor dan klien akan membentuk penghargaan, keterbukaan, pemahaman, dan partisipasi klien dalam konseling.

Keterampilan antarpribadi mencakup kemampuan konselor dalam mendampingi klien, mendengarkan mereka, dan mendorong mereka menceritakan apa saja yang ada dalam benak mereka.

Leod (2006) mengemukakan bahwa keterampilan antarpribadi berkaitan dengan konselor mendemonstrasikan perilaku mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran, kesadaran komunikasi non verbal, sensitivitas terhadap kualitas suara, responsivitas terhadap ekspresi emosi, pengambilalihan, menstruktur waktu, dan menggunakan bahasa. Jika keterampilan ini diterapkan secara efektif, klien akan mendapat keberanian untuk membicarakan pikiran-pikiran dan masalah-masalah mereka.

Leod (2006) juga mengemukakan bahwa hubungan atau relasi antapribadi sangat dipengaruhi oleh faktor umum, seperti klas sosial, usia, etnisitas, dan gender. Walaupun sulit untuk mengeneralisir efek hubungan konseling dari berbagai variabel ini, cukup rasional rasanya untuk menyimpulkan bahwa salah satu hubungan kompetensi penting bagi konselor. Dengan kata lain dalam keterampilan antarpribadi ini dan berdasar pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka konselor seharusnya untuk sadar akan budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap individu (klien) maupun yang ia miliki sendiri serta mampu meningkatkan gaya atau pendekat konselingnya secara tepat.

Berkaitan dengan berbagai keterampilan wawancara, Ivey (2003) membuat sebuah hirarki keterampilan yang dipergunakan untuk membantu berkomunikasi lebih intensif dengan klien. Keterampilan ini disebut keterampilan mikro (microskills).

Hirarki keterampilan dapat dilihat dalam gambar di bawah ini,

Sumber Ivey, A.E dan Ivey, M.B. 2003. Intentional Interviewing and Counseling:Facilitating
Client Development and Multicultural Society . CA; Brooks/Cole

Secara garis besar hirarki ini mengambarkan tahap-tahap dalam membangun wawancara dalam proses konseling. Dalam hal ini keterampilan-keterampilan wawancara didasarkan pada kemampuan etik dan multibudaya. Seperti yang dikemukakan Leod (2006), bahwa konseling dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor budaya. Dengan demikian konselor sebelum melakukan beberapa keterampilan mikro, maka ia haruslah memiliki kompetensi etik dan multi budaya sebagai landasan dalam melaksakan tugas profesionalnya khususnya dalam proses komunikasi konseling. Hierarki ini dibuat untuk membedakan antara keterampilan wawancara dasar dengan keterampilan dengan keterampilan yang dipergunakan untuk intervensi. Keterampilan wawancara ini harus dipergunakan selama proses konseling, meskipun secara khusus keterampilan itu penting pada tahap awal konseling.

Keterampilan-keterampilan antarpribadi dasar secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga jenis keterampilan, yakni:

Keterampilan Verbal


Keterampilan ini mengacu pada isi verbal dari proses konseling. Konselor menggunakan keterampilan ini memberi ini untuk memberi perhatian pada klien yang pada gilirannya akan memperlancar jalannya percakapan. Penggunaan keterampilan ini membantu klien merasa cukup nyaman untuk memberi informasi pada konselor sehingga konselor dapat menelaah pokok permasalahan. Ketrampilan verbal mencakup tanggapan-tanggapan verbal, kualitas vokal yang memadai, dan alur verbal.

Kemampuan menanggapi mencakup sejumlah keterampilan dalam wawancara. Ada sejumlah keterampilan berbeda yang dapat diringkas sebagai berikut:

  • Paraphrase (parafrase)
    Keterampilan ini menunjuk pada pengulangan kata-kata dan pemikiran kunci dari klien. Pengulangan kata-kata aatau kalimat ini secara utuh, apa adanya dan tanpa merubah makna dari ungkapan klien. Perubahan kata boleh dilakukan guna rasiona kalimat namum perubahan itu tidak mengeser arti kata atau kalimat klien (Mappiare, 1998)

  • Reflecting of feelings (Pemantulan perasaan-perasaan)
    Keterampilan ini teknik yang digunakan konselor untuk memantulkan perasaan/sikap yang terkandung di balik pernyataan klien. Dalam hal ini konselor bertugas untuk mendengar secara cermat, menafsirkan perasaan yang tersirat dan merumuskannya dalam kalimat jelas (gamblang) yang berisi kata perasaan menurut dugaan konselor.

  • Interpretation (Penafsiran)
    Keterampilan ini mencakup pemberian nama dan pengambaran secara positif pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan perilaku klien (Yeo, 2003). Penafsiran akan memberi satu cara pandang alternatif bagi klien sehingga ia dapat melihat dirinya sendiri dan masalah-masalahnya dengan cara berbeda.

  • Summarization (Peringkasan)
    Peringkasan dalah suatu cara untuk meninjau ulang isi wawancara, mengumpulkan kembali unsur-unsur umum dan rincian-rinciannya. Peringkasan juga memberi konselor satu kesempatan untuk mengetahui pemikirannya itu tepat atau tidak, dan hal ini memberikan jeda untuk wawancara (Ivey, 1987)

  • Clarification (Penajaman/Memperjelas)
    Keterampilan yang mengacu pada perumusan inti-inti kalimat dan gagasan klien dalam bentuk lain dengan makna yang sama (Mappiare, 1998). Selain itu penajaman membantu klien dalam menggali pernyataan- pernyataannya dan makna yang melekat dalam kata-kata yang dipergunakannya. Hal ini akan mengarahkan klien untuk memahami lebih jauh pokok pembicaraan itu dan memberikan keterbukaan yang lebih besar untuk menghadapi hal-hal yang terkait dengan masalahnya (Yeo, 2003)

  • Open and closed question (Pertanyaan tertutup dan terbuka)
    Keterampilan yang mengacu pada kemampuan konselor utnuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam memperjelas masalah-masalah klien. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengarahkan konselor menuju pemahaman yang lebih baik terhadap situasi-situasi klien dan juga mengarahkan klien untuk menceritakan masalahnya dengan jelas.
    Pertanyaan-pertanyaan terbuka adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan sedikit kata atau kalimat tunggal. Pertanyaan seperti itu mendorong klien utnuk berbicara dan memberi informasi sebanyak mungkin. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan tertutup adalah pertanyaan- pertanyaan yang daapat dijawab dengan ”ya” atau tidak” atau dengan sedikit kata-kata saja. Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksdkan untuk mendapatkan informasi, kejelasan, fokus, dan mengarahkan klien pada satu masalah khusus yang mau dibicarakan (Yeo, 2003).

Menurut Surya (2003:116), ketrampilan bertanya dapat dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal yaitu :

  1. perhatikan suasana konseling dan klien,
  2. kuasai materi yang berkaitan dengan pertanyaan,
  3. ajukan pertanyaan dengan cara yang jelas dan terarah, serta tidak keluar dari topik bahasan,
  4. segera berikan respon balikan terhadap jawaban pertanyaan yang diajukan dengan sikap yang baik dan empatik

2. Keterampilan Non verbal

Komunikasi atau keterampilan merupakan bentuk komunikasi yang ikut memwarnai corak konseling sebagai suplemen, komplemen, dan substitusi komunikai verbal (Surya, 2003).

Keterampilan ini mengacu pada perilaku non-verbal konselor yang dapt menyebabkan kemajuan dalam proses konseling dan memperlihatkan pendampingan pada klien. Penampilan dan sikap tubuh konselor memperlihatkan besarnya perhatian dan keprihatian konselor yang sulit diungkapkan dengan kata-kata (Yeo, 2003).

Menurut Egan (1986), diantara sikap non verbal konselor yang dapat meningkatkan hubungan konseling diantaranya adalah :

  1. Menghadapi klien secara sejajar (facing the person squarely),
  1. Memperlihatkan sikap tubuh terbuka (adopting an open posture),
  2. Posisi tubuh kedepan (learning forward),
  3. Mempertahankan kontak mata (maintaining eye contact),
  4. Bersikap rileks (being relaxed)

Selain itu menurut Hutahuruk (1983) beberapa sikap atau keterampilan non verbal konselor sebagai berikut:

  • Posisi badan (termasuk gerak isyarat dan eksprsi muka) diantara posisi badan yang baik dalam attending mencakup

    1. Duduk dengan badan menghadap klien
    2. Tangan diatas pangkuan atau berpegang bebas atau kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan gerak isyarat yang sedang dikomunikasikan secara verbal
    3. Responsif dengan menggunakan bagian wajah, umpamnya senyum spontan atau anggikan kepala sebagai persetujuan atau pemahaman dan kerutan dahi tanda tidak mengerti
    4. Badan tegak lurus tanpa kaku dan sesekali condong kearah klien untuk menunjjukkan kebersamaan dengan klien.

    Posisi badan yang tidak baik mencakup:

    1. Duduk dengan badan dan kepala membungkuk menghadap klien.
    2. Duduk dengan sangat kaku
    3. Gelisah atau tidak tenang (resah)
    4. Mempergunakan tangan, kertas dan kuku tangan.
    5. Sama sekali tanpa gerak isyarat pada tangan
    6. Selalu meukul-mukul dan menggerakkan tangan dan lengan.
    7. Wajah tidak menunjukkan perasaan
    8. Terlalu banyak senyum, kerutan dahi atau anggukan kepala yang tidak berarti
  • Kontak mata

    1. Kontak mata yang baik berlangsung dengan melihat klien pada waktu dia berbicara kepada konselor dan sebaliknya. Kontak mata harus dipertahankan atau dipelihara dengan menggunakan pandangan spontan yang mengekspresikan minat dan keinginan mendengarkan serta merespon klien.

    2. Kontak mata yang tidak baik mencakup:

      • Tidak pernah melihat klien
      • Menatap klien untuk secara tetap dan tidak memberi kesempatan klien untuk membalas tatapan.
      • Mengalihkan pandangan dari klien segera sesudah klien melihat kepada konselor.
  • Mendengarkan

    Mendengarkan dalam keterampilan ini adalah mendengar dengan tepat dan mengingat apa yang klien katakan dan bagaimana mengatakannya.

    Dengan mendengar yang tepat memungkinkan konselor merumuskan tanggapan yang dapat menangkap dengan tepat perasaan dan pikiran klien. Cara mendengarkan yang baik mencakup

    1. memelihara perhatian penuh dengan terpusat kepada klien,
    2. mendengarkan segala suatu yang dikatakan oleh klien,
    3. Mendengarkan keseluruhan pribadi klien (kata-katanya, perasaan dan perilakunya). Memahami pesan baik verbal maupun non verbal dari diri klien
    4. Mengarahkan apa yang konselor katakan terhadap apa yang telah dikatakan oleh klien.

3. Keterampilan Mengamati Klien

Konselor dalam hal ini dituntut untuk sungguh-sungguh sadar akan apa yang sedang klien katakan khususnya melalui gerakan-gerakan tubuh mereka, raut wajah, kualitas vokal, dan ketidaksesuaian antara bahasa non verbal dengan ungkapan-unkapan verbal mereka. Perilaku non verbal klien harus secara cermat diamati ketika ia sedang menyampaikan satu informasi penting tentang dirinya dan situasinya. Ivey (2003:95) mengemukakan bahwa keterampilan mengamati klien ini akan membantu konselor untuk merespon dan mengetahui apa dan bagaimana bahasa verbal dan non verbal klien. Selain itu juga mengamati perbedaan-perbedaan multibudaya yang berkaitan dengan ungkapan-ungkapn verbal dan nonverbal klien.

Keterampilan Intervensi


Keterampilan intervensi adalah kemampuan konselor untuk melibatkan klien dalam pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah, konselor perlu memiliki pengetahuan tentang berbagai strategi dan cara yang berbeda untuk menolong klien menghadapi masalah.
Ada beragam strategi dan cara yang diusulkan oleh berbagai aliran atau pendekatan konseling.

Pendekatan ini dapat membentang dari pendekatan psikodinamis (psikoanalisis, Adlerian) sampai pendekatan eksistensial, pendekatan Rogerian yang terpusat pada klien sampai terapi rasional emotif behavior, realitas dan analisis transaksional.

Dalam hal ini konselor sebaiknya menguasai satu pendekatan dasar dan kemudia berusaha memadukan cara-cara yang bermanfaat dari berbagai pendekatan lainnya demi penanganan efektif terhadap masalah-masalah klien.

Keterampilan Integrasi


Keterampilan ini mengacu pada kemampuan-kemampuan konselor untuk menerapakan strategi-strategi pada situasi-situasi khusus, sambil mengingat konteks budaya dan sosio-ekonomi klien (Yeo, 2003). Hal ini dikarenakan konseling tidak dapat dipraktikkan tanpa memperhatikan konteks budaya. Setiap klien yang hadir dengan cara pikir tertentu yang sebagian besar dipengaruhi oleh sistem nilai dan sistem budayanya.

Seorang konselor harus mempunyi berbagai keterampilan dasar konseling sebagai fasilitator penyelenggaraan konseling agar mencapai tujuan konseling yang efektif.

Keterampilan konseling meliputi :

  1. Keterampilan attending : usaha konselor untuk membangun kondisi awal, mulai dari upaya menunjukkan sikap empati, menghargai, dan mengetahui apa yang dibutuhkan klien.

  2. Keterampilan mengundang pembicaraan yang terbuka : membantu memulai wawancara serta menguraikan masalah.

  3. Keterampilan parafrase : mengungkapkan kembali esensi atau inti dari ungkapan konseling.

  4. Keterampilan refleksi perasaan : merespon keadaan perasaan klien terhadap situasi yang sedang dihadapi.

  5. Keterampilan konfrontasi : untuk pemberian tanggapan terhadap pengungkapan kontradiksi dari klien.

Konselor yang efektif peka terhadap diri mereka dan orang lain, mampu bersikap spontan, kreatif dan berempati. Sangat membantu jika selama hidupnya konselor sudah mengalami berbagai macam pengalaman hidup yang memungkinkan mereka menyadari apa yang akan atau tengah dialami klien mereka, sehingga konselor waspada dan bertindak cepat.

Konselor yang mempunyai pengalaman hidup menyakitkan dan mampu menanganinya biasanya mampu berkomunikasi dan bersifat jujur dengan klien yang mempunya masalah.

Kompetensi tambahan dari konselor yang efektif adalah menurut Cormier dalam Gladding adalah:

1. Kompetensi Intelektual

Keinginan dan kemampuan untuk belajar sekaligus berfikir cepat dan kreatif.

2. Berenergi

Kemampuan untuk aktif dalam sesi konseling meskipun melihat jumlah antrian klien yang cukup banyak.

3. Keluwesan

Kemampun beradaptasi dengan apa yang dilakukan klien guna memenuhi kebutuhan klien.

4. Dukungan

Kemampuan untuk mendorong klien mengambil keputusan sementara untuk mambantu menaikkan harapan mereka.

5. Niat Baik

Keinginan untuk membantu klien secara konstruktif dengan etika meningkatkan kemandirian mereka.

6. Kesadaran Diri

Mengetahui diri sendiri, termasuk perilaku, nilai dan perasaan, serta kemampuan untuk mengenali bagaimana dan faktor apa yang mempengaruhi satu sama lain.