“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. al-Bukhari, 10/378 dan Muslim no. 2321)
Jika kecerdasan dapat dilihat dari paham dan tidak pahamnya seseorang terhadap suatu hal, tidak begitu dengan akhlak. Akhlak berkaitan erat dengan adab, tata laku (sikap dan perilaku) yang bertujuan untuk menghormati kemanusiaan.
Kecerdasan memang membantu orang memahami suatu hal, namun akhlak menjadikan kecerdasan tersebut bernilai dan berlipat ganda dampaknya. Karena pentingnya akhlak ini, sampai Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Persoalan akhlak ini pun tidak hanya penting bagi orang yang beragama, bagi atheis yang berakal dan agnostik yang budiman, akhlak menjadi bagian penting dalam kehidupan publik. Sebut saja soal kejujuran, sejumlah studi menemukan bahwa kejujuran tidak hanya berpengaruh kepada kesehatan dan mental individu, namun juga perekonomian nasional.
Penelitian International Monetary Fund (IMF) menyatakan bahwa ekonomi yang korup akan membuat kualitas pendidikan dan layanan kesehatan memburuk, yang mengarah ke standar hidup yang lebih rendah secara keseluruhan untuk warga negara. Ironis dan faktual bahwa di tingkat desa, dana bansos karena covid-19 yang dibutuhkan warga miskin masih juga dikorupsi oleh oknum. Sekuat apapun pendidikan anti korupsi jika tidak dimulai dengan mentalitas aparat pemerintah dan intelektualnya, maka korupsi bukan lagi sebatas perbuatan tercela, namun menjadi kultur dan tata laku, bahwa korupsi adalah hal normal dan “manusiawi”.
Dalam jangka waktu tertentu, kebiasaan berbisnis dan bekerja secara tidak jujur hanya untuk -business as usual- menghasilkan uang dan tidak berpikir strategis tentang pentingnya tanggung jawab sosial, kerja tim, tujuan, dan lain sebagainya, menjadi sebab mengapa orang miskin semakin miskin dan sulit naik kelas, sementara orang kaya akan menjadi semakin kaya. Oleh karenanya, pada 2019, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia memang mencapai 71,92 atau masuk dalam kategori tinggi, namun bagaimana dengan ratio gini (ketimpangan ekonomi) di daerah yang semakin timpang. Ironis karena menurut Tim Nasional Pecepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bahwa hampir separuh aset nasional dimiliki 1 persen masyarakat saja.
Bagi kelas bawah, mengeluh salah, mengadu juga kena masalah, dan akhirnya pasrah menerima dana bansos yang sudah disunat atas dasar rasa takut pada aparat. “daripada ngga dapat,” keluhnya. Padahal sudah diterangkan dalam Surat al-Baqarah ayat 188 yang artinya,
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Jelas ayat ini menganjurkan agar seorang muslim khususnya, tidak boleh memakan harta dengan cara yang batil (curang dan jahat) dan tidak boleh menyuap seorang hakim.
Perilaku korupsi sebagai akhlak paling tercela berdampak bukan hanya pada nilai produk, melainkan melahirkan kultur yang menindas antar sesama manusia. Mencuri uang rakyat tanpa rasa malu telah membuat hati manusia mati. Seolah cuek melihat orang lain menderita karena perilaku korupsi yang dilakukan. Ini disebut qolbun mayit (hati yang mati), lawan dari hati yang bersih.
Perilaku korupsi telah menghasilkan banyak kemunduran bangsa ini. Kita dapat bayangkan bagaimana anggaran yang seharusnya dapat membangun gedung sekolah dengan kualitas super, tidak sampai setahun gedung roboh karena anggaran banyak disunat oknum.
Inilah mengapa, menurut Emirsyah Djaja (2010) bahwa ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemik dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para pejabat. Pada tahap endemik, korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas. Lalu ditahap kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Bukan hanya sudah sistemik, namun sudah mencapai level menggerus mentalitas serakah.
Mengapa saya menyebut korupsi sebagai perilaku? Karena korupsi bukan hanya berkaitan dengan pencurian uang dengan cara yang tidak halal, namun mindset dan sikap yang mendorong terjadinya korupsi itu juga dapat disebut koruptif. Misalkan, saya mendapatkan kue hasil korupsi, maka saya tidak akan mengadukan praktik korupsi ini. Jika sebaliknya, maka saya akan buka suara. Maka saya tidak terkejut jika di antara negara Asia, kejujuran orang Indonesia menduduki peringkat 33 dari 40 negara, Thailand menempati posisi pertama di ASEAN atau peringkat 28. Selanjutnya adalah India (peringkat 30), Indonesia (peringkat 33), Malaysia (peringkat 35), dan Cina di posisi buntut (Alain Cohn, 2019).
Thomas J. Stanley, Ph.D, penulis buku Millionaire Mind pernah melakukan riset tentang 100 faktor yang menentukan kesuksesan seseorang. Riset dilakukan di Amerika dengan total 1001 responden, dimana 733 responden adalah miliuner. IQ yang tinggi/superior, sekolah di sekolah favorit atau perguruan tinggi bergengsi bukan termasuk dalam 10 faktor utama menentukan sukses tidaknya seseorang. Kejujuran ( Being honest with all people ), sikap jujur menjadi norma absolut yang mempengaruhi kesuksesan seseorang di masa depan, kata Stanley.
Kesadaran Kritis
Pelajaran akhlak pada awalnya berada di rumah dan sekolah turut menguatkan, namun kenyataan di lapangan tampaknya tidak mendukung. Inilah mengapa pendidikan karakter di sekolah tidak berbekas jika hanya berada di level kognisi paling rendah berdasar revisi taksonomi Bloom, yakni mengetahui/mengingat (C1). Sebagaimana Williams, Russell T. & Megawangi (2010), pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Davies (2010) menyebutkan ada 52 kalimat yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter anak, enam diantaranya misalnya: (1) how I look is not as important as how I act; (2) I treat others the way I want them to treat me; (3) I am a good sport, I follow the rules, take turns and play fair; (4) it is okay to laugh at funny things, but not to laugh at others; (5) I do not gossip, if I cannot say anything helpful, I do not say anything at all; (6) when I am sad, I help myself feel better by thinking of things that are good in my life.
Di atas kertas, pendidikan karakter sudah berjalan, namun secara outcome, sukar dideteksi apakah siswa sudah memiliki kemampuan dan konsisten menjalankan nilai-nilai karakter setelah keluar pagar sekolah atau selesai menuntaskan jenjang tertentu. Inilah mengapa diperlukan C6 (revisi taksonomi Bloom), yakni mengevaluasi. Posisi C6 menandakan bahwa guru sudah berintekrasi dengan siswa mengapa penting nilai-nilai karakter dalam kehidupan, kemudian mengevaluasinya. Mengapa? Karena dalam penerapan nilai-nilai karakter ada kemungkinan benturan nilai-nilai ketika siswa berada di keluarga dan lingkungan pergaulan yang membuat siswa “galau” dan membutuhkan arahan dari guru.
Guru perlu menantang siswa untuk mempertanyakan kembali, dibuka kesadaran kritisnya untuk melakukan praktik baik bukan karena dorongan eksternal, melainkan olah pikir yang menyadarkan bahwa keburukan yang dilakukan bukan hanya berimbas pada orang lain, tapi pada dirinya sendiri. Kesadaran kritis dibutuhkan, agar siswa dapat berpikir lebih ke depan dan apa konsekuensinya jika ia melanggar norma dan nilai. Inilah masukan saya terhadap Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010:19-21) bahwa pengembangan karakter perlu ditambahkan tahap evaluasi, setelah melalui beberapa tahapan, yaitu tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit).
Tahapan terakhir yang penting terlibat, yakni evaluasi (evaluation). Secara hierarkis, dalam pendidikan karakter tidak perlu sampai tahap mencipta, cukup mengevaluasi. Tahap evaluasi saya nilai akan menghidupkan diskusi dan interaksi pengetahuan dan pemahaman baru tentang praktik korupsi yang dapat merugikan diri sendiri.
Paulo Freire menawarkan pedagogi kritis yang berprinsip pada read the word and read the world . Bukan hanya membaca teks, tapi apa yang tersembunyi di balik teks dan konteks. Jadi, tahap mengetahui jangan berhenti sekadar diketahui secara teks, namun juga kontekstual, bagaimana realita yang akan terjadi jika saya tidak jujur/koruptif? Jika dibenturkan dengan pelajaran agama, apakah perilaku korupsi dibenci Tuhan? Bagaimana kalau saya yang diperlakukan tidak adil? Tahap evaluasi selaras dengan pemikiran pedagogi kritis, bagaimana membaca bukan hanya soal teks, namun ada apa di balik teks. Ini akan memicu kesadaran kritis bahwa perbuatan baik seperti kejujuran bukan dilakukan atas ketakutan atau hukum, namun rasa malu dan ketidakpantasan kepada Tuhan dan sesama manusia.
Akhir kata, pengajaran akhlak seperti kejujuran hanya salah satu contoh yang harus didukung pula dengan orang tua dan masyarakat serta elite pemerintah, karena bagaimanapun keteladanan akan memberi dampak signifikan pada peradaban. Jika korupsi masih membelenggu kita, maka sampai kapanpun rakyat miskin atau kelas tidak akan pernah naik kelas. Persoalan akhlak ini amat penting terutama bagi pemimpin, karena cermin akhlak pemimpin dapat secara riil terlihat dari bagaimana ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya atau malah sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
- Cohn, Alain, Michel André Maréchal, David Tannenbaum, Christian Lukas Zünd. Civic honesty around the globe. Science, 05 Jul 2019 : 70-73
- Ermansjah Djaja. 2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta, Sinar Grafika
- Leah, Davies. 52 Character Building Thoughts for Children. http://www.kellybear. com/TeacherArticles/TeacherTip52.html diunduh tanggal 20 Maret 2010.
- Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Tidak diterbitkan
- Williams, Russell T. dan Ratna Megawangi. 2010. Kecerdasan Plus Karakter. http://ihf-org.tripod.com. diunduh tanggal 20 Maret 2010
- How Corruption Affects Emerging Economies
- https://www.akademitrainer.com/10-faktor-kesuksesan-by-thomas-j-stanley-ph-d/
- BPS: Masuk Kategori Tinggi, IPM Indonesia Capai 71,92