Kemana Para Penyintas yang Telah Pulih Harus Pergi?

Sebelumnya saya ingin menuliskan definisi kesehatan mental menurut WHO terlebih dahulu. Organisasi kesehatan dunia itu menyebutkan bahwa kesehatan mental adalah keadaan kesejahteraan dimana setiap individu menyadari profesi mereka sendiri, dapat mengatasi tekanan yang normal dalam kehidupan, dapat berfungsi secara produktif dan bermanfaat, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitas mereka.

Berdasarkan definisi di atas saya bisa mengatakan bahwa kondisi kesehatan mental tidak sama dengan gangguan mental. Pada level kesehatan mental, seorang individu masih bisa beraktifitas dan memiliki perilaku yang masih terkontrol. Berbeda dengan yang mengalami gangguan mental, individunya mulai memiliki pola perilaku yang berubah, dan tidak dapat beraktifitas normal.

Hal yang saya pahami tentang kesehatan mental ini adalah adanya pengaruh dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan seseorang. Peristiwa itu cenderung yang menyedihkan dan membuat guncangan pada kejiwaan seseorang. Contohnya saja mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, faktor ekonomi, perceraian, kehilangan pekerjaan, perundungan, kehilangan orang terdekat karena meninggal. Saya pun hingga kini termasuk yang masih mengalami trauma karena perceraian. Ada sisi psikologis saya yang menolak dan takut untuk menerima kedekatan lagi dengan lawan jenis.

Bisa dilihat bahwa semua peristiwa yang mengguncang kejiwaan dapat mempengaruhi pola pikir dan pola perilaku seseorang. Kesehatan mental yang parah dan tidak cepat diatasi dapat menyebabkan gangguan mental. Apabila hal itu terjadi, orang yang mengalami gangguan mental tersebut harus mendapatkan perawatan.

Ada beberapa jenis gangguan mental yang telah umum diketahui masyarakat, seperti bipolar, skizofrenia, depresi, kecemasan, postpartum depression. Adapun berikut ini adalah beberapa gejala kesehatan mental yang terganggu;

  • Tidak bisa mengontrol marah dan cenderung menyalahkan orang lain
  • Takut, panik, cemas, dan gugup yang berlebihan
  • Menutup diri dan takut bergaul atau berhadapan dengan orang lain
  • Memiliki rasa curiga yang besar
  • Sulit untuk mempercayai seseorang
  • Memiliki keyakinan akan sesuatu yang tidak terjadi (waham)
  • Halusinasi lihat dan dengar
  • Gampang lelah dan harus banyak istirahat
  • Pola makan yang menurun atau meningkat
  • Perubahan libido
  • Emosi yang sering berubah-ubah
  • Keinginan self harm yang tinggi

Saya sungguh terkejut ketika mendapati hasil perhitungan Global Health Data Exchange tahun 2017 yang menunjukkan 27,3 juta orang di negeri ini ternyata mengalami masalah kesehatan mental. Survei ini menempatkan Indonesia jadi negara yang memiliki pengidap kejiwaan tertinggi di Asia Tenggara.

Hasil survei tersebut bisa dikatakan masuk akal melihat perlakuan masyarakat kita pada pengidap gangguan mental. Para penyintas tersebut kerap dianggap aib terutama oleh pihak keluarganya. Hal lain yang mendukung hasil survei itu adalah kurangnya tenaga profesional yang dimiliki negara ini.

Saya sendiri yang kebetulan bergabung di sebuah komunitas Skizofrenia, melihat bahwa tenaga profesional memang sangat banyak dibutuhkan. Karenanya, untuk menutupi kekurangan itu dilakukan perekrutan tenaga sukarelawan yang berasal dari penyintas yang telah pulih, caregiver, juga para staf ahli kejiwaan.

Perlakuan masyarakat yang bisa dikatakan masih primitif terhadap para penyintas tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan akan ilmu kejiwaan. Para penyintas tersebut sering mendapatkan perlakuan semena-mena , hingga dipasung dengan sengaja. Masyarakat masih banyak yang menganggap perubahan perilaku pada pengidap gangguan mental karena adanya pengaruh sihir dan makhluk halus. Karenanya membawa berobat penyintas pun mereka anggap hal yang percuma dan membuang biaya.

Mengutip perkataan Anung Sugihartono Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes kepada Harian Nasional, “Peningkatan jumlah penderita gangguan mental menjadi 7 per mil rumah tangga. Artinya, per 1000 rumah tangga terdapat 7 rumah tangga yang ODGJ, sehingga jumlahnya diperkirakan sekitar 450 ribu ODGJ berat.”

Apabila masyarakat lebih terbuka dengan masalah kesehatan mental, tentunya penanganan pada ODGJ bisa lebih optimal. Pengobatan ODGJ memang memakan biaya yang tidak sedikit. Tetapi, saya meyakini bahwa berobat yang teratur bisa memulihkan kembali perilaku mereka dan beraktifitas seperti normal kembali.

Selain itu banyak kemudahan sekarang yang bisa diperoleh oleh para penyintas ini. Selain biaya pengobatan yang ditanggung oleh BPJS, sekarang ini sudah banyak komunitas kejiwaan yang mengadakan konsultasi gratis bagi para penyintas. Peer Specialist Support dari komunitas kejiwaan bisa membantu penyintas yang tengah mengalami manik ataupun relaps. Komunitas kejiwaan juga mulai banyak yang menyediakan kelas-kelas untuk menggali potensi penyintas. Kelas-kelas itu juga berfungsi sebagai sarana pemulihan penyintas, seperti kelas menggambar, menari, dan tata boga. Komunitas kejiwaan juga dalam sebulan mengadakan kopdar minimal satu kali. Biasanya dalam pertemuan tersebut ada materi yang disampaikan mengenai kejiwaan, juga ada agenda sharing antar sesama penyintas.

Seorang penyintas butuh banyak dukungan untuk menjadi pulih. Dukungan yang terbesar diharapkan datang dari keluarganya. Namun, saya sendiri tidak dapat memungkiri apabila masih banyak keluarga yang menangani penderita gangguan mental dengan buruk. Salah satu cara agar stigma masyarakat berubah adalah dengan mengedukasi mereka tentang kejiwaan. Seperti yang dikatakan Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, tentang perlu adanya edukasi yang masif kepada keluarga pasien dengan gangguan jiwa.

Pengobatan yang teratur juga dukungan caregiver yang berasal dari pihak keluarga akan sangat membantu proses pemulihan seorang ODGJ. Masalah lain yang timbul ketika ODGJ telah dinyatakan pulih adalah bagaimana cara dia bertahan hidup dan diterima kembali oleh masyarakat. Padahal saya sering sekali melihat para penyintas yang dikucilkan oleh keluarganya sendiri karena masih dianggap sebagai aib. Pengucilan ini malah bisa menjadi stressor bagi penyintas yang telah pulih dan mengakibatkan dia relaps kembali.

Belum lagi penyintas yang bekerja dan mengalami penurunan produktifitas akibat gangguan kesehatan mental yang dideritanya. Mereka kerap mendapatkan perundungan di tempat kerjanya, bahkan diberhentikan secara sepihak karena keterampilan yang menurun. Penyintas yang telah pulih sering kesulitan mendapatkan pekerjaan kembali karena kekurangannya tersebut. Padahal tercantum dalam UU RI No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, bahwa para penyintas pun berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja.

UU RI No 8 Tahun 2016 yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 April 2016 ini jelas-jelas menjabarkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Kesempatan adalah hal yang paling dibutuhkan oleh seorang penyintas yang telah pulih. Karena dengan kesempatan yang didapat seorang penyintas seperti memperoleh harapan. Harapan itulah yang akan memacu dirinya untuk tetap bersemangat hidup dan menjadi lebih baik dari yang sekarang. Seorang penyintas yang telah pulih berhak mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama di kehidupan nyata. Mereka juga butuh bertahan hidup. Ketika kita menolak keberadaan mereka, itu sama saja dengan mengembalikannya ke kondisi semula. Kondisi dimana dia merasa tanpa harapan dan tidak berguna. Sama saja dengan membuatnya kembali menjadi ODGJ.

Saya yakini, dukungan penuh dari keluarga, para ahli dan juga pemerintah akan membuat para penyintas yang telah pulih itu dapat beraktifitas seperti semula. Mereka akan jadi produktif kembali dan berbaur mudah berbaur dengan lingkungannya. Hanya satu saja yang dibutuhkan oleh penyintas-penyintas ini, yakni sebuah kesempatan untuk membuktikan diri.

Sumber :