Kejujuran Membawa Kepada Kebaikan

image

Menjerit, ungkapan hati yang ingin diekspresikan ketika harus merasakan pahitnya kenyataan tapi tertahan karena diri mencoba mengikhlaskan. Terjerat, saat diri hanya berdiam diri menikmati dan terima kenyamanan yang pada hakikatnya akan menyesatkan. Inilah ilustrasi yang menggambarkan dua keadaan seseorang dimana keduanya memiliki sisi positif dan sisi negatifnya. Inilah sebuah makna kejujuran yang esensinya akan membawa kita mencapai ketenangan hidup. Sebagaimana telah dicontohkan baginda Rosulullah SAW yang dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu menjunjung nilai-nilai kejujuran.

Menerapkan perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting untuk ditanamkan sejak dini. Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahuanhuma, ia berkata:

“Rasûlullâh Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seoseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).” diriwayatkan oleh Ahmad (I/384); al-Bukhâri (no.6094) dan dalam kitab al-Adabul Mufrad (no.386); Muslim (no.2607(105)); Abu Dawud (no.4989); At-Tirmidzi (no.1971)”

Kita sebagai pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa ini sudah semestinya selalu mengutamkan kejujuran diatas segalanya terutama dalam memperoleh nilai yang terukur oleh angka. Terkadang, kita berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai tertinggi hingga menghalalkan segala cara seperti mencontek atau meminta jawaban kepada teman.

Dalam kondisi saat ini, akibat dari adanya pandemi kita diharuskan belajar dari rumah bahkan ujian pun dari rumah. Hal ini benar-benar menguji kita, sanggupkah kita mengerjakannya dengan semampu kita dan sejujur-jujurnya? Sedangkan bapak ibu guru tidak mengetahui bagaimana cara kita mengerjakannya, mereka tidak mengetahui proses kita saat mengerjakan, namun kita harus ingat bahwa ada Malaikat yang selalu mengawasi setiap perilaku kita.

Ada sebuah cerita dari dua orang siswa, dimana hari itu mereka megerjakan ujian dan keduanya sama-sama belum memahaminya. Tibalah saatnya mereka mengerjakan ujiannya. Salah satu dari mereka, merasa kesulitan dalam mengerjakannya, hingga terpikirkan olehnya untuk mencari jawaban dari internet yang dapat dengan mudahnya dia akses karena dia yakin gurunya tidak akan mencurigainya. Saat itu yang dia pikirkan adalah mendapat nilai bagus meskipun dengan cara yang salah asalkan tidak remedial dan nilainya di raport bagus. Meskipun dalam hati ia juga merasakan kegelisahan karena telah melakukan kecurangan, tapi ia mencoba mengibur dirinya bahwa tidak ada cara lain untuk menyelamatkan nilainya saat itu. Alhasil nilainya pun tuntas tanpa harus mengikuti remedial. Inilah yang dinamakan nikmat yang menjerat.

Ada sebuah penelitian dari 113 siswa menengah atas, terdiri dari 54 siswa laki-laki dan 59 siswa perempuan. Analisis menunjukan bahwa 64, 6% siswa melakukan ketidakjujuran saat pengawas ujian keluar ruangan ditengah berlangsungnya ujian. Beberapa alasan munculnya ketidakjujuran antara lain ingin cepat selesai, ingin tahu jawaban yang benar dan pastinya ingin mendapatkan nilai yang bagus. Sedangkan alasan beberapa dari mereka yang tetap memilih untuk jujur terbagi menjadi dua jenis, yaitu internal (ingin bertindak jujur, takut dosa) dan eksternal (cari aman dan takut ketahuan pengawas).

Mereka yang tidak jujur, hari ini berhasil meraih nilai yang tinggi tapi dia gagal dalam belajar, hari ini dia menikmati hasil perjuangannya demi tulisan angka tapi dia mengorbankan kesempatannya dalam mengasah kemampuannya yang akan mengantarkannya ke kehidupan yang nyata. Pada usia yang belia, seharusnya kita menanamkan semua ajaran kebaikan dalam diri kita agar kita terbiasa berperilaku yang sesuai dengan ajaran agama. Bukan seberapa hebatnya kita meraih sebuah hasil, tapi seberapa kuatnya kita dalam menghargai setiap prosesnya.

Berbeda dengan salah seorang temannya yang hari itu juga mengerjakan ujian. Dia mengakui dia belum maksimal dalam belajar hingga saat mengerjakan dia merasa kesulitan. Dia tidak bisa mengerjakan, dia merasa sedih, dia merasa takut nilainya tidak tuntas, dan dia mencoba untuk menyelesaikannya meskipun dengan keraguan. Hebatnya dia tak terpikirkan untuk mencoba berbuat curang seperti temannya, di awal mengerjakan dia memahami pesan gurunya yang tertera di atas soal “Nilai itu penting tapi mengerjakan dengan jujur jauh lebih bernilai”. Inilah yang membuatnya percaya bahwa keberhasilannya suatu hari tidak ditentukan oleh angka yang diraih hari ini.

Tertanamnya nilai kejujuran hari ini akan mengantarkannya meraih keberhasilan hidup. Meskipun akhirnya nilainya tidak mencapai ketuntasan dan dia kecewa dengan dirinya. Ada pelajaran berharga yang dia dapatkan di sini, ketika hari itu dia gagal mengerjakan dan harus mengulanginya, sejak saat itu dia berusaha lebih keras dan belajar lebih giat, dia benar benar melewati proses yang panjang untuk meraih nilai ketuntasan. Meski begitu dia mencoba melupakan kesedihan karena teman temannya yang lain mendapat nilai yang tinggi dengan mencoba sekali.

Ketika temannya bercerita kepadanya kalau dia tidak mengerjakannya sendiri dan teman yang lain juga melaku kan hal sama bahkan temannya menyarankan untuk seperti mereka, saat itu sungguh hancur perasaannya, soalh kejujuran tiada artinya, merasa tidak ada keadilan, merasa prosesnya seakan tak berharga bahkan seolah dirinya munafik sendiri karena memilih jalan yang benar padahal hasilnya tak memuaskan. Inilah pahit yang dirasakan ketika menjunjung kejujuran tapi menjadi yang terkalahkan akaibat kecurangan sekitarnya. Menjerit ketika mencoba menahan kekesalan padahal berada di jalan yang benar. Karena hakikatnya melapangkan dada butuh waktu untuk menerapkannya. Seiring berjalannya waktu ketika dirinya mulai mengikhlaskan dan mencoba selalu bersyukur dengan apa yang diraihnya, dia bisa tumbuhkan percaya pada dirinya bahwa ketika dia melakukan satu hal dengan maksimal dan cara yang diridhoi Allah dia yakin bahwa akan ada hasil yang maksimal pula.

Terkadang memang tuntutan ketentuan yang ada di dunia ini membuat manusia mengupayakan bermacam cara untuk meraihnya. Seperti halnya dalam dunia pendidikan di Indonesia. Nilai adalah tolak ukur pencapaian siswa. Semua siswa akan berusaha mendapatkan nilai terbaik. Semua berusaha melampaui batas ketuntasan minimal.

Tak sedikit anggapan bahwa kepandaian seseorang bisa dilihat hari nilai yang didapatkan di sekolah. Hal ini membuat beberapa dari mereka yang belum mendapat nilai maksimal merasa tersisihkan. Tak sedikit pula orang tua, bapak ibu guru, dan orang-orang di sekitar menuntut mereka mendapat nilai yang tinggi. Bahkan mirisnya tak sedikit dari mereka yang pernah mendapat hujatan tatkala mendapat nilai yang rendah. Hal inilah yang sebenarnya memicu mereka melakukan berbagai cara untuk memperoleh nilai yang maksimal. Semua akan berdampak positif jika perubahan yang terjadi pada diri mereka adalah tindakan positif misalnya semakin giat belajar. Akan tetapi jika tekanan batin yang dirasakannya terlalu dalam dan kemampuan yang dimilikinya memang belum mencapainya, tidak menutup kemungkinan mereka melakukan cara-cara yang justru akan merusak karakter mereka.

Menerapkan kejujuran pada diri sesorang perlu dukungan dari lingkungan sekitar. Tidak ada seorang hamba yang rela berdusta kecuali ada sebab yang menjadikannya nekat. Namun dusta bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan semua persoalan, karena ketika seorang hamba berdusta maka ia akan diikuti oleh dusta dusta yang lainnya.

Esensinya, berperilaku jujur tidak membuat seorang hamba menjadi dirugikan. Ketika kita telah melakukan suatu hal yang benar dan sesuai dengan aturan, maka hasil yang akan kita dapatkan pun maksimal. Nikmat yang menjerat? Kita bisa mengubah anggapan ini, bahkan ungkapan orang jawa Jujur Malah Ajur (Jujur Menjadi Hancur) kembali ke pepatah Jawa Sapa Sing Ora Jujur Bakal Ajur (Siapa yang tidak jujur akan hancur) sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

دَعْمَايَرِيبُكَإِلَىمَالاَيَرِيبُكَ،فَإِنَّالصِّدْقَطُمَأْنِينَةٌ،وَإِنَّالكَذِبَرِيبَةٌ

Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan mengerjakan apa-apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan sesungguhnya kedustaan (akan mengantarkan kepada) keragu-raguan atau kebingungan.[7]HR.At-Tirmidzi,no.2518. Syaikh Al-Albani menghukuminya shahih dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi.

Tidak ada alasan yang tepat untuk tidak berperilaku jujur. Karena sesungguhnya perilaku jujur akan membawa kita kepada ketenangan dan keberhasilan. Allâh Azzawa Jalla akan memberikan surga atas kejujuran seseorang selama hidup di dunia. Allâh Azzawa Jalla berfirman:

قَالَاللَّهُهَٰذَايَوْمُيَنْفَعُالصَّادِقِينَصِدْقُهُمْۚلَهُمْجَنَّاتٌتَجْرِيمِنْتَحْتِهَاالْأَنْهَارُخَالِدِينَفِيهَاأَبَدًاۚرَضِيَاللَّهُعَنْهُمْوَرَضُواعَنْهُۚذَٰلِكَالْفَوْزُالْعَظِيمُ

Allâh berfirman, ‘Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allâh rida terhadap mereka dan mereka rida terhadap Allâh. Itulah keberuntungan yang paling besar.’[Al-Mâidah/5:119]

Jadi, teman-teman pilih yang mana? Pahit menjerit atau nikmat menjerat?