Kedudukan Anak dalam Hukum

image
Ada kasus penelantaran keluarga (ibu dan anak) oleh bapaknya. Bapak dan ibu tidak terikat pernikahan resmi maupun siri.

  1. Dapatkah si Bapak dituntut dalam hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam konteks UU Perlindungan Anak dan UU KDRT?
  2. Bagaimana posisi anak dalam hukum, apakah anak mempunyai hak sebagai anak seutuhnya dan bagaimana kekuatan hukum dari keterangan saksi korban di bawah umur (anak) kaitannya dengan hukum pidana? Bisakah keterangan tersebut dianggap sebagai pembuktian hukum? Hal ini mengingat banyaknya kasus kasus kekerasan terhadap anak dan pencabulan/pemerkosaan terhadap anak yang, menurut oknum penyelidik, saksi korban anak tidak dapat/atau “dianggap” sebagai salah satu alat bukti dalam prosedural hukum pidana.
    Terima kasih.

Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Pasal 145 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui/Het Herzienne Inlandsche Reglement (HIR), sebagai saksi tidak dapat didengar:

  1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lulus

  2. Istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian

  3. Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya 15 tahun

  4. Orang, gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.

Jadi, anak yang umurnya masih di bawah 15 tahun tidak dapat didengar sebagai saksi. Dalam penjelasan HIR disebutkan bahwa anak-anak di bawah umur 15 tahun tersebut boleh juga didengar keterangannya dengan tidak disumpah, akan tetapi keterangan mereka itu tidak merupakan bukti kesaksian, melainkan hanya sebagai penerangan saja. Hal ini diperkuat dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bahwa anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah.

Sumber