Kebaikan Akan Terus Menyatu Dengan Keburukan

Taman Surga

Seseorang berkata: “Seorang ahli nujum berkata: ‘Kamu mengklaim bahwa ada sesuatu selain bintang-bintang yang luas dan bola debu yang kulihat ini. Kamu meyakini ada sesuatu di luar semua ini, padahal di depanku tidak ada apa-apa selain semua itu. Jika memang di sana terdapat sesuatu, tunjukkan padaku di mana dia?”

Maulana Rumi menjawab: Pertanyaan itu sudah rusak sejak awal. Kamu bertanya: ‘tunjukkan padaku di mana dia?’ padahal dia tidak bertempat. Sekarang, kemarilah dan katakan padaku dari mana sanggahanmu berasal dan di mana ia berada? Bukan di lisanmu, bukan di mulutmu, dan bukan pula di dadamu. Carilah di semua tempat itu, uraikan sedikit demi sedikit dan sepotong demi sepotong, niscaya tidak akan kamu temukan sanggahan dan pikiranmu di semua tempat itu. Dari sini kita bisa menyadari bahwa pikiranmu tidak bertempat. Jika kamu tidak tahu tempat pikiranmu, bagaimana kamu akan tahu tempat dari Dia yang menciptakan pikiranmu?

Ribuan pikiran dan keadaan telah memperbudakmu, sementara dirimu tidak berkuasa, tidak berdaya, dan tidak bisa melakukan apa-apa padanya. Andai saja kamu tahu dari mana pikiran-pikiran ini berasal, kamu akan mampu untuk melipatgandakannya. Semua pikiran dan keadaan ini melewatimu, namun kamu tidak tahu dari mana ia datang, ke mana ia pergi, dan apa yang dia lakukan?

Jika kamu tidak mampu melihat semua keadaanmu, bagaimana mungkin kamu berharap untuk mampu melihat penciptamu?

Si anak pelacur berkata: “Allah tidak berada di langit.” Hai bajingan, bagaimana kamu tahu Allah tidak ada di langit?

Apakah kamu sudah menyisir langit jengkal demi jengkal dan mengitari seluruhnya sampai-sampai kamu berkata bahwa Allah tidak berada di langit? Kamu saja tidak tahu pelacur yang ada di rumahmu, lantas bagaimana bisa kamu mengetahui langit? Baiklah, kamu pernah mendengar tentang langit, nama-nama bintang dan cakrawala, kemudian kamu mengatakan hal seperti itu. Tetapi seandainya kamu mengamati langit dengan sungguh-sungguh, atau kamu naik sejengkal saja ke arah langit, maka kamu tidak akan mengatakan omong kosong seperti itu.

Apa yang aku katakan bahwa Allah tidak berada di atas langit, bukan berarti bahwa Dia tidak berada di langit. Yang aku maksud adalah bahwa langit tidak mampu menampung Allah, dan sebaliknya, Allah mampu menampung langit. Allah memiliki ikatan yang tak terpisahkan dengan langit, sebagaimana kamu yang juga tak terpisahkan memiliki ikatan dengan dirimu. Segala sesuatu berada di bawah kekuasaan-Nya, Dia yang menciptakan dan memberdayakan semuanya. Oleh karena itu, Allah tidak berada di luar langit dan semesta, dan tidak pula sepenuhnya berada di dalamnya. Dengan kata lain, seluruh alam semesta tidak meliputi-Nya, tetapi Allah meliputi semuanya.

Seseorang berkata: “Sebelum bumi, langit dan Singgasana diciptakan, di manakah Allah bersemayam?” Kami menjawab: “Pertanyaan ini sudah rusak sejak awal. Allah adalah Wujud yang tidak memiliki tempat. Kamu bertanya: ‘Di manakah Allah berada sebelum semua ini?’ padahal segala sesuatu yang melekat padamu saja tidak bertempat. Apakah kamu mengetahui tempat segala sesuatu itu dalam dirimu, sehingga kamu menanyakan tempat-Nya? Karena perasaan dan pikiranmu tidak memiliki tempat, bagaimana mungkin persemayaman Allah bisa ditemukan? Bagaimanapun juga, Pencipta pikiran lebih subtil dari pikiran itu sendiri.”

Contoh lainnya adalah struktur rumah hasil buatan manusia yang lebih subtil dari rumah itu sendiri. Manusia mampu membuat dan merangkai ratusan struktur yang sama dengan struktur-struktur yang lain. Ia juga mampu untuk membuat berbagai macam pekerjaan dan desain yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karena itu, manusia lebih subtil dan lebih berkuasa daripada struktur apa pun, tetapi kesubtilan ini hanya bisa dilihat jika keberadaan rumah karya mereka sudah jadi; dari pekerjaan nyata untuk memasuki dunia rasa, sehingga kesubtilannya yang indah dapat terlihat.

Udara yang kamu hembuskan ketika bernafas bisa dilihat kala musim dingin tiba, tetapi di musim panas, ia tidak lagi terlihat. Itu tidak berarti bahwa nafasmu terputus saat musim panas datang dan tidak juga berarti bahwa di sana tidak ada udara, tetapi di musim panas nafasmu lebih subtil dan tidak terlihat. Begitu juga dengan segala sifat dan karaktermu yang begitu subtil dan tidak akan terlihat sebelum kamu melakukan sebuah tindakan. Misalnya kamu memiliki sifat rendah hati yang tidak terlihat. Hanya jika kamu sudah memaafkan orang lain yang berbuat salah padamu, sifat itu baru bisa dilihat. Demikian juga dengan kekerasanmu yang tidak terlihat, hanya jika kamu sudah menghukum seorang kriminalis dan memukulnya, kekerasanmu itu baru bisa dilihat, dan demikian seterusnya.

Allah SWT tidak terlihat karena kesubtilannya. Jadi Dia menciptakan langit dan bumi agar kekuasaan dan karya-Nya menjadi tampak. Allah berfirman:

“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak memiliki keretakan sedikit pun?” (QS. Qaaf: 6)

Ucapanku ini tidak sepenuhnya berada dalam genggamanku, dan karenanya aku menjadi menderita karena ingin menasihati para kekasih namun tidak ada kata-kata yang bisa aku utarakan. Itulah yang membuatku sakit. Tetapi kata-kataku ini lebih tinggi dariku dan aku tunduk kepadanya, aku bahagia. Karena di mana pun kata-kata Allah diucapkan, ia akan membangkitkan kehidupan dan meninggalkan kesan yang mendalam:

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (QS. al-Anfal: 17)

Anak panah yang melesat dari busur Allah tidak akan bisa dicegah oleh tameng atau perisai baja apa pun. Dari sini aku bahagia. Seandainya semua ilmu ada pada diri manusia dan tidak ada kebodohan di sana, mereka akan lebur dan tidak akan tersisa apa-apa. Jadi, kebodohan adalah sebuah tuntutan agar manusia bisa tetap ada. Pengetahuan juga sebuah tuntutan karena ia menjadi media untuk mengetahui Sang Pencipta. Meskipun keduanya berlawanan di satu waktu, namun keduanya saling mengukuhkan satu sama lain. Malam adalah lawan dari siang, namun mereka saling mengukuhkan dan saling menolong; keduanya melakukan tugas yang sama. Seandainya malam itu abadi, maka kita tidak akan melakukan pekerjaan apa pun dan akan gagal. Seandainya siang itu abadi, maka mata, kepala dan otak kita akan linglung, terperangah, dan akhirnya semua organ akan stres dan rusak. Oleh sebab itu, manusia beristirahat dan tidur pada malam hari sehingga semua organ—otak, pikiran, kedua tangan, kedua kaki, pendengaran dan penglihatan—akan memperoleh kekuatan. Sementara di siang hari mereka akan menggunakan kekuatan itu dan memberdayakannya.

Jadi, semua yang berlawanan akan tampak sebagai oposisi dalam takaran kita, tapi dalam pandangan Allah mereka mengerjakan pekerjaan yang sama dan tidak berlawanan. Tunjukkan padaku sebuah keburukan yang tidak mengandung unsur kebaikan di dalamnya, atau sebuah kebaikan yang tidak memiliki unsur keburukan di dalamnya. Misalnya, seseorang yang hendak membunuh tiba-tiba berhasrat untuk berzina, akibatnya dia tidak jadi menumpahkan darah. Di satu sisi, benar bahwa zina adalah perbuatan tercela, tapi di sisi yang lain, ia menjadi penghalang bagi terjadinya pembunuhan. Pada sisi inilah zina yang dilakukan orang itu mengandung unsur kebaikan.

Kesimpulannya, keburukan dan kebaikan adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dari sisi inilah kita selalu berdebat dengan orang Majusi. Mereka mengatakan bahwa di sana terdapat dua Tuhan; Pencipta kebaikan dan Pencipta keburukan. Tunjukkan padaku kebaikan yang tidak memiliki unsur keburukan di dalamnya, maka aku akan mengakui bahwa di sana ada Tuhan kebaikan dan Tuhan keburukan.

Ini sungguh mustahil, karena kebaikan tidak akan terlepas dari keburukan. Selagi keduanya bukan merupakan dua hal yang berbeda dan tak terpisahkan, maka keberadaan dua pencipta adalah sesuatu yang mustahil. Apakah argumentasi kita belum meyakinkan kalian? Tentu kalian harus percaya sebab memang demikianlah keadaannya. Kami mengatakan ucapan yang sedikit mengkhawatirkan dan mungkin terbesit dalam benakmu bahwa mungkin apa yang diucapkan orang Majusi itu juga benar. Kamu bisa saja tidak percaya bahwa apa yang kukatakan ini benar, tetapi bagaimana kamu bisa percaya bahwa apa yang kukatakan ini salah? Wahai orang kafir yang tidak memiliki harapan, Allah SWT telah berfirman:

“Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar [QS. al-Muthaffifin: 4-5] .”

“Tidakkah kamu menyangka bahwa segala sesuatu yang kujanjikan akan terlaksana, dan akan menjadi balasan bagi orang- orang kafir atas apa yang tidak pernah mereka bayangkan? Lantas bagaimana mungkin, ketika keadaan tak dapat kamu kuasai, dirimu berharap mencari Allah?”

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum