Karakteristik Perfeksionis: Baik atau Buruk?

perf

Keinginan untuk memberikan yang terbaik pada orang lain memang menjadi sesuatu yang diinginkan bagi setiap orang. Terutama jika kita berada dalam lingkup pekerjaan, dimana kita berusaha untuk memberikan kemampuan terbaik yang kita miliki pada suatu perusahaan atau tempat kita bekerja. Namun, jika hal ini terlalu berlebihan maka dapat disebut dengan perfeksionis atau didefinisikan sebagai standar diri yang tinggi sebagai suatu keharusan untuk mencapai hasil yang sempurna, dan menjadi masalah jika diikuti dengan evaluasi diri yang kritis.

Lantas, sebetulnya karakteristik perfeksionis yang dimiliki seseorang itu baik atau malah berdampak buruk? Kemudian apa alasannya?

Sumber

Lubis, Fitriani Yustikasari. Hawadi, Lydia Freyani. R. Rose Mini Agoes Salim. Purwono, Urip. 2020. Perfeksionisme Maladaptif Dan Prestasi Akademik Pada Mahasiswa Berbakat Intelektual: Suatu Pendekatan Riset Campuran Sekuensial. 4(1): 56-64

Gambar: Kumparan

2 Likes

Menurut aku pribadi, perfeksionis berlebih bisa memicu stres. Orang yang perfeksionis cenderung ingin semua detail-detail dalam pekerjaannya sempurna. Tentunya untuk mencapai kesempurnaan itu, membutuhkan waktu yang lebih lama. Di sisi lain, tenggat waktu untuk mengerjakannya belum tentu cukup. Alhasil, orang yang perfeksionis akan mudah merasa tertekan.
Selain itu, aku rasa orang yang perfeksionis akan cukup kesulitan dalam menyelesaikan tugas kelompok. Hasil dari pembagian tugas untuk tiap anggota, besar kemungkinan tak sesuai dengan harapan si perfeksionis dan tampak hanya berupa hasil asal-asalan. Untuk itu ia akan dihadapkan pada 2 pilihan utama, memperbaiki dan merombak habis-habisan sendiri hasil kerja timnya yang tentunya menguras lebih banyak waktu dan tenaga atau meminta (terkadang cukup memaksa) anggota tim untuk memperbaiki yang tentunya mengundang banyak cibiran.
Namun, tentu ada juga poin positif dari sosok perfeksionis. Misalnya, lebih teliti dalam menyelesaikan tugas dan bekerja secara maksimal jauh dari ngawur-ngawuran

Menurut saya karakter perfeksionis dikatakan baik atau buruk tergantung pada suatu keadaan atau situasinya, ada hal yang membuat orang berperilaku secara perfeksionis, contohnya adalah dalam hal bekerja dan belajar, dalam hal tersebut orang dituntut agar bersungguh-sungguh dan bersifat perfeksionis agar semua yang telah direncanakan olehnya dapat tercapai dan berhasil dengan sempurna. Namun, tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan keinginan dan kemauan kita. Jika hanya dengan bersifat perfeksionis, saya rasa itu juga tidak baik. karena dengan sifat perfeksionis dan keadaan tidak memungkinkan, maka saya rasa itu akan membuang-buang waktu mereka yang seharusnya dapat mereka lakukan untuk tujuan yang lebih penting lainnya daripada harus memaksakan kehendak dari sikap perfeksionis tersebut. Jadi menurut kesimpulan dari artikel yang saya baca bahwa sikap perfeksionis baik dan jika bisa dimiliki semua orang, namun perfeksionis juga ada batasnya maka dari itu juga harus memiliki sikap realistis.

Karakter perfeksionis adalah karakter yang memiliki standar tinggi untuk dirinya, standar tinggi untuk orang lain, dan juga memiliki kepercayaan orang lain mengharapkan kesempurnaan dari dirinya (Hewit & Flett, 1991). Karakter perfeksionis ini membuat suatu standar standar tertentu di dalam dirinya, kemudian standar standar terhadap orang lain, dan juga harapan bahwasannya orang lain menginkankan individu tersebut mengerjakan suatu hal dengan sempurna.

Dampak dari karakter perfeksionis ini sendiri adalah kecemasan yang dirasakan ketika individu tidak dapat mencapai standar yang sudah mereka tetapkan. Memunculkan rasa harga diri rendah, akibat dari ekspektasi orang lain terhadap dirinya yang tidak sesuai dengan standar individu tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Flett, Besser, Davis, dan Hewiit (2003) bahwa orang perfeksionis rentan terhadap tekanan psikologis ketika mereka mengalami peristiwa negatif yang tidak menegaskan diri mereka karena mereka mengevaluasi diri sendiri sesuai dengan kemungkinan yang ada pada nilai diri mereka.

Sehingga dapat disimpulkan, bahwasannya adalah karakteristik perfeksionis yang dimiliki oleh seorang individu dapat dikatakan baik. Karena mereka menginginkan kesempurnaan atas apa yang mereka lakukan. Namun, ketika ekspektasi mereka tidak sejalan dengan realita atau standar mereka tidak tercapai maka akan berdampak secara psikologis terhadap diri individu tersebut.

Sumber

  • Hewiit, P. L. & Flett, G. L. (1991). Dimensions of perfectionism in unipolar depression. *Journal of Abnormal Psychology, 1(1), 98-101.
  • Flett, G. L., Besser, A., Davis, R. A., & Hewiit, P. L. (2003). Dimensions of perfectionism, unconditional self-accepance, and depression. Journal of Rational-Emotive & Cognitive Behavior Therapy, 21(2), 119-138.

Sebenarnya, menurutku perfeksionis dikatakan baik atau buruk itu tergantung “porsinya” dan dalam situasi seperti apa. Jadi tergantung bagaimana cara kita melihatnya. Seseorang yang perfeksionis mempunyai standar dan kualitas yang tinggi dalam segala hal. Ia tidak akan merasa puas dengan melakukan suatu yal yang biasa saja atau belum memenuhi standar minimum versinya. Oleh karena itu ia akan melakukan pekerjaan sebanyak yang ia perlukan untuk menghasilkan sesuatu yang luar biasa.

Di satu sisi, menjadi perfeksionis merupakan sesuatu hal yang baik karena dapat menghasilkan kualitas pekerjaan yang sempurna. Namun menjadi perfeksionis akan berdampak kepada permasalahan secara sosial. Misalnya, ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap rekan kerja atau kuliah untuk menghasilkan pekerjaan atau tugas yang sempurna, terkadang membuat rekan kita merasa tertekan. Hal ini akan berdampak kepada hubungan yang menjadi renggang dan kaku. .

Penelitian yang dilakukan oleh Gordon L. Flett dan Paul L. Hewitt yang berjudul “Perfectionism in the Self and Social Contexts: Conceptualization, Assessment, and Association with Psychopathology” mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara perfeksionis dan masalah kesehatan mental, yaotu depresi dan gangguan seperti anorexia nervosa dan bulimia.

Jadi, menurutku, pahami kapan kita harus menjadi perfeksionis dan kapan menjadi orang yang live in the moment and take life as it comes

Sumber:
Gordon L. Flett dan Paul L. Hewitt. 1991. Perfectionism in the Self and Social Contexts: Conceptualization, Assessment, and Association with Psychopathology. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 60, No. 3

Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett dalam Aditomo dan Retnowati (2004) perfeksionisme adalah berjuang untuk tidak melakukan kesalahan dan untuk mencapai kesempurnaan dalam setiap aspek kehidupan individu. Perfeksionisme mencakup standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, serta percaya bahwa orang lain memiliki harapan kesempurnaan terhadap dirinya. Karakter ini biasanya dimiliki oleh individu yang memiliki kapasitas intelektual di atas rata-rata atau pada populasi yang berpendidikan tinggi.

Perfeksionis memiliki kaitan yang erat dengan kesejahteraan psikologis individunya, dimana kesejahteraan psikologis merupakan keadaan yang berfungsi secara positif yang ditandai dengan kepuasan pribadi, pemaknaan terhadap diri sendiri, bangga terhadap dirinya sendiri, bersikap optimis, merasakan kebahagiaan, memiliki stabilitas suasana hati dan harga diri, serta dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Namun, perfeksionis juga dapat mengarah pada depresi ketika berhadapan dengan sisi lainnya seperti aspek kekhawatiran berlebih dan kesalahan, kritik orang tua, serta keraguan atas tindakan.

Setuju dengan pendapat kak Dina, ada baiknya jika kita lebih memahami diri kita sendiri kapan harus menjadi perfeksionis, di kondisi ap akita harus bersikap perfeksionis.

Sumber

Aditomo, A. & Retnowati, S. 2004. Perfeksionisme, Harga Diri, dan Kecenderungan Depresi pada Remaja Akhir. Jurnal Psikologi (1), 1-14

Di dunia ini memang tidak ada manusia yang sempurna. Namun, bukan berarti kita tidak boleh berusaha untuk menjadi yang terbaik. Meski begitu, ada perbedaan besar antara menjadi yang terbaik dengan perfeksionis. Menjadi yang terbaik artinya mengerahkan semua kemampuan terbaik yang kita miliki untuk menyelesaikan suatu pekerjaan/tugas. Ya, siapapun yang bekerja keras bisa mencapai target prestasi tersebut, sehingga kita termotivasi untuk berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun, keinginan untuk menjadi yang terbaik tentu tidak sama dengan menjadi perfeksionis. Seorang perfeksionis menuntut kesempurnaan dari diri sendiri maupun orang lain berdasarkan standar tertentu yang terkadang terkesan tidak masuk akal dan terlalu tinggi. Mereka adalah orang-orang yang bekerja dengan sangat keras, standar yang tinggi serta ketelitian luar biasa dan mendambakan kesempurnaan dari setiap hal yang dilakukannya maupun yang dilakukan oleh orang lain. Sayangnya, perfeksionis tidak selalu bisa dianggap sebagai karakteristik yang positif. Perfeksionis biasanya didorong oleh ketakutan akan kegagalan membuat takjub orang lain. Tak hanya itu, individu dengan karakteristik perfeksionis cenderung memiliki perasaan takut atau bahkan benci dengan hal hal yang berbau penolakan dan kritik. Tak heran, keinginan untuk menjadi sempurna tanpa ada celah dapat membuatnya merasa cemas dan stres begitu kesempurnaan itu gagal tercapai. Pada akhirnya, kecemasan ini terwujud dalam perasaan tidak pernah merasa puas atau bangga karena para perfeksionis tidak percaya bahwa sebenarnya mereka telak melakukan pekerjaan dengan cukup baik, meski gagal mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, orang-orang dengan karakter perfeksionis akan melakukan berbagai cara untuk memastikan semua berjalan sesuai dengan keinginannya. Jika yang dia lakukan belum memenuhi kriteria, ia akan terus mengulangi pekerjaan itu hingga benar-benar sempurna. Bahkan, para perfeksionis tidak segan untuk menuntut atau mengkritik orang lain agar bekerja lebih baik lagi dan lagi. Mereka bisa sangat fokus pada hal hal detil yang tidak terlalu penting hingga melupakan tujuan utama dari apa yang mereka lakukan.

Meskipun tidak ada orang yang sempurna, namun bukan berarti kita tidak boleh berusaha untuk menjadi yang terbaik. Meski begitu, ada perbedaan besar antara menjadi seseorang yang terbaik di bidangnya dengan seseorang yang perfeksionis. Menjadi yang terbaik di suatu bidang artinya mengerahkan semua kemampuan terbaik yang kita miliki untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan. Siapapun yang bekerja keras bisa mencapai target prestasi tersebut, sehingga kita termotivasi untuk berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Namun, keinginan untuk menjadi yang terbaik di bidang pekerjaan tentu tidak sama dengan menjadi perfeksionis. Seorang perfeksionis mengharapkan kesempurnaan dari diri sendiri maupun orang lain berdasarkan standar tertentu yang tidak masuk akal dan terlalu tinggi. Mereka adalah orang-orang yang bekerja dengan sangat keras dan mendambakan kesempurnaan dari setiap hal yang dilakukannya maupun yang dilakukan oleh orang lain. Sayangnya, perfeksionis tidak selalu bisa dianggap sebagai karakteristik positif.

Perfeksionis biasanya didorong oleh ketakutan akan kegagalan menyenangkan orang lain. Tak hanya itu, orang perfeksionis memiliki perasaan takut ditolak dan dikritik. Tak heran, keinginan untuk menjadi sempurna tanpa ada cacat dan celah dapat membuatnya merasa cemas dan stress begitu kesempurnaan itu gagal tercapai.

Menjadi seorang perfeksionis bisa menjadi kelebihan bagi kita selama tidak berlebihan dan mengerti bagaimana mengontrolnya agar tidak memberikan dampak yang buruk. Namun, sayangnya bukan menjadi kelebihan, perfeksionis cenderung menjadi kekurangan dari diri seseorang karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Maka itu, saat perfeksionisme sudah memberikan pengaruh buruk terhadap diri kita, kita harus segera mencari cara untuk mengatasinya.

Menurut saya, jika perfeksionis yang berlebihan sangatlah tidak bagus. Karena hal tersebut akan semakin membebani diri kita sendiri. Apalagi jika sudah melihat dari orang lain dan ingin seperti orang lain. Dan kita secara tidak sadar akan semakin bersikap perfeksionis terhadap diri kita sendiri. Kembali lagi jika perfeksionis tidak berlebihan maka akan baik-baik saja. namun jika berlebihan maka akan buruk.