Kapan FFI kembali bangkit setelah mati suri perfilman Indonesia?

perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 1990-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.

Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru.
image

Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Hal inilah yang kemudian membuat Festival Film Indonesia kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun, Namun penyelenggaraannya sempat diwarnai keluhan beberapa penerima penghargaan mengenai acara penghargaan yang tak ditayangkan di televisi.[4] Piala Vidia kembali diadakan pada tahun 2004, berbarengan dengan FFI. Kembali terhenti tahun 2007 hingga 2010, pemberian Piala Vidia kembali diadakan pada FFI tahun 2011 hingga 2014.

Festival Film Indonesia 2006 mengundang kontroversinya sendiri, ketika film Ekskul dinyatakan sebagai Film Terbaik. Penobatan Ekskul sebagai Film Terbaik menuai kontroversi dari Masyarakat Film Indonesia (MFI). MFI yang terdiri dari sejumlah insan perfilman di antaranya Sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana yang meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2005 untuk film Gie dan sebanyak 22 peraih Piala Citra dari tahun 2004 hingga 2006 memprotes penyelenggaraan FFI 2006 ini karena telah memberikan penghargaan Film terbaik pada film Ekskul dan Sutradara Terbaik pada sutradaranya, Nayato Fio Nuala, yang menurut mereka sarat dengan unsur plagiat. Akibatnya kemenangan film ini dibatalkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik dan Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2006 itu ditanda-tangani oleh ketua BP2N, Deddy Mizwar.

Perbaikan Festival Film Indonesia terus dilakukan pasca kontroversi Ekskul tersebut, termasuk dalam bidang penjurian dan pelaksanaan FFI. Hal tersebut dilakukan untuk semakin meningkatkan mutu dan objektivitas penjurian sehingga hasilnya bisa lebih dipertanggungjawabkan. Penyelenggara pun silih berganti, mulai dari Komite Festival Film Indonesia yang menggantikan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sejak 2009 hingga berdirinya Badan Perfilman Indonesia (BPI) tahun 2014.