Kami Muliakan Anak Keturunan Adam

Anak Adam

Salah satu dari mereka berkata:

“Ada sesuatu yang aku lupakan.”

Maulana Rumi menjawab:

“Ada satu hal di alam semesta ini yang tak patut untuk dilupakan. Kalau kamu melupakan segala hal tapi tetap mengingat satu hal itu, maka kamu tak perlu khawatir. Sebaliknya, kalau kamu bisa meraih dan mengingat segalanya tapi kamu lupa akan satu hal itu, maka seolah-olah kamu tak pernah berbuat apa-apa. Hal ini diibaratkan seperti seorang raja yang mengirimmu ke sebuah desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Kalau kamu pergi ke desa itu tapi kamu malah melakukan hal yang lain dan tak kunjung mengerjakan apa yang diperintahkan, maka seolah-olah kamu sama sekali tak pernah melakukan apa-apa.”

Demikianlah, manusia datang ke alam semesta ini untuk melaksanakan tugas tertentu, dan itulah tujuan mereka. Kalau dia tidak mengerjakan tugas yang menjadi alasan kenapa ia datang, maka seolah-olah ia tak pernah mengerjakan apa-apa.

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72)

Amanah itu Kami tawarkan kepada langit, tapi ia merasa tak sanggup untuk memikulnya. Coba perhatikan berapa banyak akibat yang akan timbul dari amanah itu sehingga bisa membuat manusia kebingungan. Amanah itu bisa mengubah bebatuan menjadi akik dan nilam, menyulap pegunungan menjadi tambang-tambang emas dan perak, dan menyegarkan tanaman di bumi serta menghidupkannya kembali sebagai sebuah pemandangan yang sangat indah layaknya surga ‘ Adn. Juga tanah yang menerima bibit-bibit kemudian menghasilkan buah-buahan. Bumi yang menerima dan menampakkan ratusan ribu keajaiban yang sulit dijelaskan. Kemudian giliran pegunungan yang membuahkan logam-logam yang melimpah ruah. Semua itu adalah produksi dari langit, bumi, dan gunung. Akan tetapi semua itu tidak dilakukan sendiri oleh mereka, melainkan melalui perantaraan manusia:

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,” (QS. al-Isra: 70)

Allah tidak berfirman: “Sungguh telah Kami muliakan langit dan bumi.” Begitulah, semua hal yang tidak bisa dilakukan seorang diri oleh langit, bumi, dan gunung, bisa ditangani oleh manusia. Kalau manusia sudah melakukan hal tersebut, maka hilanglah predikat zalim dan bodoh dari dirinya. Kamu bisa saja berkata:

“Jika aku tidak melakukan hal itu, masih banyak hal lain yang bisa aku lakukan,”

padahal manusia tidak diciptakan untuk melakukan hal-hal selain itu.

Misalnya kamu membawa sebilah pedang baja dari India yang tak ternilai harganya seperti yang ada di lemari para raja, lalu kamu memakainya untuk mencincang daging busuk sembari berkata:

“Aku tidak akan membiarkan pedang ini tak berfungsi, aku akan menggunakan untuk berbagai hal.”

Atau misalnya kamu memiliki sebuah periuk yang terbuat dari emas, kemudian kamu malah menggoreng lobak di atasnya. Padahal di saat yang sama, dengan sebiji atom emas itu kamu bisa membeli seratus periuk. Contoh lain misalnya kamu menjadikan belati permata sebagai paku untuk menggantung tumpukan kertas lusuh sembari berkata:

“Aku akan menjadikan belati permata ini sebagai paku untuk menggantung tumpukan kertas lusuh, tak akan kubiarkan alat ini tak beroperasi.”

Bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan dan menggelikan? Ketika seseorang bisa menggantung tumpukan kertas lusuh dengan paku yang terbuat dari kayu atau besi yang sangat murah, apakah masuk akal kalau dia malah menggunakan belati permata yang berharga seratus dinar?

Allah SWT telah mematok kalian dengan harga yang sangat tinggi ketika berfirman:

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. al-Taubah: 111)

Nilai kalian itu lebih tinggi daripada dua alam semesta.

Lalu apa yang bisa aku perbuat kalau kalian saja tak mengerti kadar kalian sendiri?!

Kitab Hadiqat al-Haqiqah (Kebun Hakikat)- Sanai al-Ghaznawi.

Janganlah kau jual dirimu dengan harga yang murah, padahal kamu sangat indah di mata Tuhan!

Al-Diwan al-Kabir - Rumi

Allah SWT berfirman:

“Sungguh Aku telah membeli kalian, waktu kalian, nafas kalian, harta kalian, dan hidup kalian. Kalau semua itu kau peruntukkan bagi-Ku, dan kau berikan pada-Ku, maka harganya setara dengan surga yang abadi. Inilah nilai kalian di hadapan-Ku.”

Tapi kalau kamu jual dirimu pada neraka Jahannam, itu artinya kamu sudah berbuat zalim pada dirimu sendiri, seperti lelaki yang menancapkan belati berharga seratus dinar pada dinding rumahnya untuk menggantung periuk atau tumpukan kertas lusuh tadi.

Kita kembali ke awal. Bisa saja kamu menunjukkan justifikasimu dengan berkata:

“Tapi aku mengabdikan seluruh kemampuanku untuk melaksanakan perkara-perkara yang luhur dan mulia. Aku belajar ilmu hukum (fiqih), filsafat, logika, astronomi, kedokteran, dan lain-lain.”

Tapi kamu melakukan semua itu untuk dirimu sendiri. Kamu belajar hukum agar tak seorang pun bisa mencuri roti dari tanganmu, atau menelanjangimu, atau bahkan membunuhmu. Ringkasnya: kamu melakukannya agar kamu merasa aman. Kamu belajar astronomi dan seluk-beluk bintang dan pengaruhnya terhadap bumi, baik ringan maupun berat, yang menandakan keamanan atau bahaya, semua ini berkaitan dengan keadaanmu dan untuk melayani tujuanmu sendiri. Entah ramalan bintang sedang baik atau buruk, selalu bertalian dengan nasibmu, dan seterusnya semua karena demi dirimu sendiri.

Ketika kalian renungkan hal ini baik-baik, akan kalian dapati bahwa asal segala sesuatu adalah diri kalian sendiri, dan segala sesuatu yang lain tadi adalah cabang dari diri kalian. Jika cabang itu memiliki banyak perincian, keajaiban, dan bentuk-bentuk luar biasa yang tak berujung, maka renungkanlah apa yang kalian miliki karena kalian adalah asal dari segala sesuatu itu.

Ketika cabang-cabang itu mengalami ketimpangan, kemerosotan, kebahagiaan, dan ketidakberuntungan, renungkanlah dirimu yang menjadi asal dari semua itu; apa saja yang membuat dunia spiritual (roh) kalian mengalami semua hal itu. Roh seseorang memiliki karakteristik seperti itu, dan akan melahirkan hal-hal seperti itu juga. Karena memang pada dasarnya seorang manusia sudah seharusnya seperti ini.

Sebenarnya (jiwa) kalian itu memiliki makanan yang lain di samping makanan (materi berupa) tidur dan makan. Nabi Muhammad Saw. bersabda:

“Aku bermalam di sisi Tuhanku. Ia memberiku makanan dan minuman.”

Di dunia yang rendah ini, kau telah melupakan makanan lain itu karena sibuk dengan makanan materi. Siang malam kamu beri makan tubuhmu. Sekarang tubuhmu seperti seekor kuda dan dunia yang rendah ini menjadi kandangnya. Makanan kuda tentu tak akan menjadi makanan penunggangnya. Karena sang penunggang memiliki cara tidur, makan, dan kebahagiaan yang berbeda. Karena sifat hewan dan binatang mengalahkan jiwamu, maka tinggallah dirimu beserta kuda di kandangnya. Kau tak memiliki satu tempat pun di barisan raja-raja dan pimpinan negeri keabadian. Hatimu di sana, tetapi tubuhmu telah mengalahkanmu, kamu tunduk pada aturannya dan masih menjadi tawanan abadinya.

Sama halnya pada saat Majnun hendak mengunjungi rumah Laila. Ketika Majnun masih sadar, ia mengemudikan untanya menuju rumah Laila. Tetapi saat ia terbenam dalam fantasinya tentang Laila dan melupakan diri dan untanya, unta itu menelusuri jalan kembali ke desa di mana anak unta itu disimpan. Saat Majnun bangun dari imajinasinya, ia menemukan dirinya telah mundur dua hari perjalanan. Selama tiga bulan ia menelusuri jalan ini, justru ia semakin jauh dengan tujuannya. Akhirnya ia berkata

“Unta ini bencana buatku!,” ia lalu turun dari unta itu dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.

Untaku ingin kembali, sementara aku ingin terus maju.

Sungguh aku dan ia sangatlah berbeda.

Guru kami berkata:

Sayyid Burhanuddin pernah didatangi seseorang dan berkata: “Aku mendengar seseorang telah memujimu.”

Burhanuddin menjawab:

“Tunggulah sampai aku bertemu dengan orang itu untuk melihat apakah ia cukup mengenalku sehingga bisa memujiku. Kalau ia hanya mengenalku lewat perkataan orang-orang, berarti ia tak mengenalku. Sebab kata-kata, huruf-huruf dan suara- suara itu tidak abadi. Dua bibir dan mulut ini juga tidak abadi. Semua ini tidaklah penting. Tapi kalau ia mengenalku lewat perbuatan-perbuatanku, dan mengetahui wujudku, maka aku tahu bahwa dia bisa memujiku, dan bahwa pujian itu benar-benar untukku.”

Ini seperti cerita yang mengisahkan tentang seorang raja yang menitipkan anaknya pada sekelompok ilmuwan. Anak itu kemudian diajari ilmu astronomi, geografi, dan lain-lain, sampai ia menjadi seorang guru yang sempurna meski pada awalnya ia adalah anak yang dungu dan pandir. Suatu hari sang raja mengenggaman sesuatu tangannya dan menguji anaknya.

“Kemarilah, coba katakan apa yang ada dalam genggamanku ini?”

“Barang yang ayah genggam itu berbentuk bulat, berwarna kuning, dan berlubang,” jawab Pangeran.

Raja menimpali:

“Kamu telah tunjukkan tanda-tanda yang benar, sekarang pastikan benda apa itu?,”

Pangeran menjawab:

“Seharusnya itu adalah ayakan,”

Raja berkata:

“Sungguh, kamu sudah menunjukkan banyak data yang detil, tapi semua itu jadi membingungkan. Dengan ilmu dan semangat belajarmu yang begitu kuat, bagaimana kamu bisa melupakan satu hal bahwa ayakan tidak akan muat berada di dalam genggaman?”

Seperti itulah gambaran para ilmuwan di zaman kita ini yang membelah sebutir rambut keilmuan, padahal mereka sudah mengetahui bahwa puncak pengetahuan adalah hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan itu sendiri dan mereka sudah sangat memahami hal itu.

Sementara itu, ada satu hal yang sangat penting dan berada sangat dekat dengan manusia ketimbang hal-hal lain yang tidak diketahui oleh ilmuwan ini, yaitu jiwa manusia. Ia tidak mengetahui jiwanya sendiri. Ia menghukumi segala sesuatu dengan halal dan haram sembari berkata:

“Ini boleh dan itu tidak boleh. Ini halal dan itu haram.”

Namun, ia justru tidak tahu apakah dirinya sendiri halal atau haram, boleh atau tidak boleh, suci atau tidak suci.

Sekarang, sifat-sifat seperti berlubang, berwarna kuning, berukir, dan bulat hanyalah sifat-sifat buatan semata. Ketika sebuah barang diletakkan di atas api, tidak akan ada yang tersisa darinya; barang itu akan menjadi abu halus dan tidak lagi memiliki sifat-sifat tadi. Tanda-tanda yang diberikan oleh para ilmuwan berupa ilmu-ilmu, perbuatan, dan perkataan, sama dengan sifat- sifat tersebut, ia tidak berkaitan dengan inti sesuatu meski tanda- tanda yang lainnya menghilang. Demikianlah tanda dari segala sesuatu. Sang pangeran membincangkan dan menjelaskan semua tanda, kemudian akhirnya menyimpulkan bahwa barang yang digenggam raja adalah sebuah ayakan, tanpa mengetahui apa inti atau asal dari barang itu sendiri.

Aku adalah seekor burung. Aku adalah seekor bulbul. Aku adalah seekor beo. Kalau mereka berkata padaku: “Tunjukkan jenis suara yang lain selain suaramu,” niscaya aku tidak akan bisa melakukannya. Jika lidahku memang sudah demikian, maka aku tak bisa berbicara dengan suara lain. Hal ini berbeda dengan mereka yang bukan burung yang bisa mempelajari suara- suara burung, bahkan mereka adalah musuh-musuh burung dan pemburu burung itu. Mereka bernyanyi dan bersiul dengan nada lain untuk mengelabui burung agar dirinya dianggap sebagai burung. Kalau mereka disuruh untuk mengeluarkan suara yang lain, mereka akan melakukannya karena suara itu hanya dibuat oleh mereka, meski sesungguhnya suara itu bukan milik mereka. Seperti para cendekiawan, mereka bisa membunyikan suara yang lain karena mereka telah belajar untuk mencuri suara-suara itu, dan untuk memamerkan nada itu di setiap rumah.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum