Jerat Logical Fallacy dalam Pengambilan Keputusan

Nomenklatur COVID-19 tengah tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari, pasalnya dunia maya maupun realitas konvensional seperti keluarga pasti membicarakan “COVID-19” paling tidak sebanyak satu kali sehari. Melalui telaah politik-pemerintahan, pandemi COVID-19 dapat dikategorikan sebagai sebuah permasalahan konfliktual, lantaran setiap kebijakan yang diambil oleh stakeholder terkait pasti menemui pro dan kontra. Perumusan kebijakan memang tidak mudah, pasalnya aktor politik terlebih dahulu harus menelaah kondisi sosial dan memformulasikan alternatif terbaik sebagai jalan keluar dari satu permasalahan.

Lantas, bagaimana dengan kebijakan semasa pandemi COVID-19? Penulis menilai bahwa kebijakan selama pandemi COVID-19 menjumpai sebuah fase bernama logical fallacy , dimana kaidah dari sebuah kebijakan cenderung tidak sesuai dengan realitas yang diharapkan oleh masyarakat. Sebagai prolog, logical fallacy dapat diartikan sebagai “cacat pikir” yang membuat individu berpikir irasional. Di dalamnya terdapat berbagai macam turunan dari ilmu logical fallacy , namun penulis hanya akan menggunakan salah satu jenis logical fallacy yang menarik untuk di kaji. Appeal of Authority merupakan salah satu dari banyaknya kajian logical fallacy yang tersedia dalam telaah filsafat. Appeal of Authority diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dalam proses penyampaian informasi. Dalam hal ini, aktor politik memanfaatkan persona yang memiliki “status sosial” tinggi sebagai legitimator dalam penyampaian sebuah informasi.

Bentuk nyata dari fenomena tersebut ialah segelintir stakeholder yang menggunakan “jasa” influencer dalam mengemas informasi dan seolah-olah menginginkan masyarakat merasa aman atas petuah yang di utarakan oleh para influencer . Invitasi influencer dalam segenap kebijakan dapat dikatakan sebagai bagian dari logical fallacy , pasalnya masih banyak putusan substansial yang bisa di ambil oleh stakeholder . Konsisten menjaga perbatasan daerah, optimalisasi dalam proses tracing , sampai dengan pemanfaatan kas negara untuk sektor kesehatan merupakan hal yang bisa dilakukan oleh para stakeholder . Alih-alih mengaktualisasi ketiganya, stakeholder terkait justru terjerumus dalam logical fallacy dan membaptiskan diri sebagai elit yang percaya bahwa “status sosial” dapat merubah “kondisi sosial”.

Dalam proses perumusan kebijakan publik versi William Dunn, tiap individu diharapkan dapat berpikir secara rasional, pengejawantahan konkretnya pun tertuang dalam lima tahap perumusan kebijakan. Namun, apa tolak ukur dari kata rasional? Minimal, individu harus bisa mempertanggungjawabkan pernyataannya melalui basis data yang kredibel dan mendasarkan tindakannya pada riset atau telaah kondisi sosial pada masyarakat. Ketika hal fundamental tersebut telah dilakukan, niscaya bahwa fenomena seperti logical fallacy dapat dihindari.

Referensi

Feel free to ask and share,
Peace.

14 Likes

bahasanya artikelnya keren banget kak. tapi aku mau nanya. yg dimaksud stakeholder itu bisa swasta atau terbatas pemerintah aja kak?

1 Like

Halo Irwan!
Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca artikel saya.

Terkait diksi “stakeholder”, pengertiannya tidak terbatas pada pemerintah semata, melainkan seluruh aktor yang memiliki kepentingan. Jika pertanyaan kamu merujuk pada sektor swasta yang berkepentingan, maka pihak swasta juga dapat dikategorikan sebagai stakeholder.

Semoga menjawab ya kak,
Terima kasih banyak!

2 Likes

Terima Kasih atas artikelnya yang bermanfaat, sebelumnya saya ingin bertanya, Seringkali masyarakat Indonesia melakukan logical fallacy kemudian menyebarkan informasi tidak benar/masuk akal tersebut dari mulut ke mulut, Menurut anda sendiri bagaimana cara mengurangi informasi beredar yang tidak benar kejelasannya, Apakah dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat saja cukup?

1 Like

Wah bahasanya keren banget kak. Informatif banget. Tapi saya mau izin bertanya, dengan setiap individu mempertanggungjawabkan pernyataannya mampu menghindari fenomena seperti logical fallacy sampai seberapa ya? Terima kasih🙏

1 Like

Halo Ghina!
Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca artikel saya.

Menurut saya pribadi, untuk bisa mencegah beredarnya berita bohong, diperlukan kesadaran individu dan sikap mawas diri. Sebisa mungkin, sisihkan waktu untuk membaca sebuah informasi secara utuh tanpa terprovokasi “judul” utamanya saja. Karena seringkali kita hanya membaca judul informasi, kemudian menyimpulkan isinya tanpa membaca terlebih dahulu.

Terkait sosialisasi, jawabannya adalah perlu digalakkan lagi. Tapi saya akan sedikit lebih lega jika pelaku penyebaran berita bohong berhadapan langsung dengan hukum negara.

Semoga menjawab ya kak,
Terima kasih banyak!

1 Like

Halo Felicia!
Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca artikel saya.

Apakah mungkin maksud pertanyaannya “sejauh mana bukti empirik dapat menahan laju logical fallacy?”

Jika pertanyaan yang dimaksud adalah demikian, maka saya akan menjawab bahwa bukti empirik yang bisa dipertanggungjawabkan merupakan gerbang utama dalam menahan pemikiran berbasis fallacy. Ketika kita memiliki evidensi yang benar, maka probabilitas kita mengalami cacat pikir akan kecil atau bahkan tidak ada sama sekali.

Semoga menjawab ya kak,
Terima kasih banyak!

3 Likes

wah menarik sekali artikelnya kak!
saya ingin bertanya kak, gimana sih caranya agar kita bisa menghindari logical fallacy yang dilakukan oleh stakeholder dan tetap bisa berpikir rasional terutama di masa pandemi?
terima kasih kak :slight_smile:

1 Like

Halo kak Gerry!

Pemilihan kata dalam artikelnya sangat bagus dan menarik.

Saya ingin bertanya kak, saya masih belum paham mengapa invitasi influencer oleh segelintir stakeholder bisa dikatakan sebagai bagian dari logical fallacy? Apakah ada tolak ukur untuk menentukan sebuah fenomena merupakan logical fallacy?

Halo Berti!
Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca artikel saya.

Pertanyaannya menarik nih. Menurut saya pribadi, hal utama yang layak dan harus kita lakukan di masa pandemi ialah bijak dalam menyebarluaskan informasi dan tidak mudah terhasut oleh berita bohong. Dari pandangan saya sendiri, terdapat beberapa pihak yang kerap memplintir informasi terkait COVID-19, tugas kita sebagai pribadi rasional ialah tetap berpegang teguh pada kajian-kajian saintik dan selalu mencari berita up to date mengenai perkembangan pandemi.

Semoga menjawab ya kak,
Terima kasih banyak!

1 Like

Halo Rafi!
Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca artikel saya.

Perihal tolak ukur, tidak ada batasan spesifik mengenai sebuah kasus dapat di integrasikan dengan jenis logical fallacy tertentu, namun ketika kita sudah memahami mengenai kaidah dari logical fallacy (terkhusus Appeal of Authority), maka secara otomatis paradigma kita dapat merumuskan bahwa kasus “invitasi influencer” dapat ditelaah melalui pisau analisis berbasis logical fallacy. Terlebih lagi, case seperti influencer memiliki hubungan erat dengan pengertian dasar dari Appeal of Authority

Semoga menjawab ya kak,
Terima kasih banyak!

Artikelnya sangat bermanfaat kak dan bahasanya sangat bagus. Saya izin bertanya, apakah peristiwa lain selain influencer dapat dilihat menggunakan logical fallacy?

1 Like

Halo Onesimus!
Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca artikel saya.

Berbagai peristiwa dapat ditelaah melalui kajian logical fallacy. Hanya saja, dibutuhkan penyesuaian antara sebuah kasus dan jenis logical fallacy yang dipilih.

Semoga menjawab ya kak,
Terima kasih banyak!

1 Like

HAHAHA gokil keren ger artikel lu. Nulis yang laen laa selain appeal to authority, waktu itu kan sisaannya belom sempet lu buatin artikel

1 Like

Kak saya izin bertanya dan sharing. Setelah membaca artikel kk, saya pingin punya wawasan yang luas terhadap kata-kata seperti kk. Bagaimana caranya agar kita bisa memilih kata yang bagus? Maaf kalau tdk nyambung ke artikel ya kak :pray:

1 Like

Thank you Is! Apalagi lu bro, monggo nulis juga di Dictio, hehe

Untuk topik yang lain, masih nyoba buat garap sih. Mungkin beberapa hari kedepan

1 Like

Halo Dorine!
Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca artikel saya.

Untuk pemilihan kosakata, saya tidak punya tips atau trick khusus sih, hehe. Hanya saja, mungkin kamu bisa memperdalam berbagai kosakata melalui literatur akademik, seperti jurnal. Kamu bisa mengakses jurnal secara resmi dan gratis melalui laman google scholar. Membaca jurnal dari waktu ke waktu pasti akan membuat pemilihan kosakatamu menjadi semakin baik!

Semoga menjawab ya kak,
Terima kasih banyak!

1 Like

Artikelnya sangat bagus dan bermanfaat. Namun saya ingin bertanya, apakah berita hoax memiliki benang merah dengan logical fallacy? Karena menurut saya keduanya memiliki hubungan yang amat dalam

1 Like

Komentar saya
“Minimal, individu harus bisa mempertanggungjawabkan pernyataannya melalui database yang kredibel dan mendasarkan tindakannya pada riset atau telaah kondisi sosial pada warga.” Ini benar sekali pasalnya kesalahan logis sering terjadi termasuk saya dalam mengambil keputusan. Solusinya tidak lari dari pertanggungjawaban dan berusaha untuk meluruskanatau dengan data yang telah kita ketahui.

1 Like

Halo Verawati!
Sebelumnya, terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca artikel saya.

Sejatinya, logical fallacy memiliki benang merah dengan berita hoaks. Bahkan, dapat kita asumsikan bahwa hoaks bisa lahir karena logical fallacy, dimana manusia salah dalam mempersepsikan sesuatu.

Semoga menjawab ya kak,
Terima kasih banyak!