Jelaskan sejarah dan penerapan Trias Politika di Indonesia!

Ajaran Trias Politika karya John Locke, pemikir dari Inggris, dan de Montesquieu asal Perancis memisahkan kekuasaan menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tujuannya untuk melarang kesewenang-wenangan menggunakan kekuasaan.

Dalam praktek ternyata tidak mutlak. Setiap negara menerapkan Trias Politika sesuai dengan kebutuhan. Misal, perundang-undangan di Indonesia tidak semua buatan DPR tapi juga melibatkan pemerintah. Bahkan Undang-Undang APBN hanya disusun pemerintah untuk dimintakan persetujuan dewan. Walau demikian negara kita tetap melarang kesewenang-wenangan.

Pelaksanaan Sistem Demokrasi dan Trias Politika yang menimbulkan prahara politik di Indonesia dewasa ini, butuh kejian mendalam kalangan pakar hukum tata negara guna merumuskan solusi yang tepat. Pastinya, seorang Presiden tidak bisa melaksanakan sendiri agendanya tanpa lebih dulu ada ketok palu persetujuan anggaran oleh DPR. Bila tetap semaunya saja, bisa-bisa berhadapan dengan KPK sebagai lembaga yudikatif atau penegak hukum.

Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.

Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.

Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.

SEJARAH TRIAS POLITICA

Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.

Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.

Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.

Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.

PENERAPAN TRIAS POLITIKA DI INDONESIA

Logemann mengatakan “Negara adalah sesuatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelengarakan suatu masyarakat” dapat dikatakan bahwa berjalannya negara apabila adanya suatu wilayah yang di dalamnya terdapat kekuasaan yang sah untuk mengatur masyarakatnya, berbicara negara, erat kaitannya dengan masalah Kekuasaan.

Kekuasaan yang dimaksud disini adalah pemerintahan yang berdaulat, dimana pemerintah merupakan representasi dari seluruh masyarakatnya, yang menjalankan kekuasaan atas kehendak rakyat bukan atas kehendak dari segelntir golongan. Kekuasaan sendiri merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.

Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan karya, tetapi kita mendirikan negara semua untuk semua, satu untuk semua, semua untuk satu
– Soekarno dalam Buku Negara Paripurna karangan Yudi Latif.

Presiden pertama Indonesia mengisyaratkan bahwa Negara Indonesia ini merdeka salah satunya untuk kemakmuran rakyatnya dengan pemersatu di dalamnya, ini yang mendasari negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan, dimana kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Namun pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi ada pada pemerintah pusat.

Dari teori kekuasaan kita mengenal pembagian kekuasaan berdasarkan fungsinya, seperti yang dikemukakan Jhon Locke yang membagi fungsi negara atas tiga fungsi, yakni: Fungsi Legislatif untuk membuat peraturan, Fungsi Eksekutif untuk melaksanakan peraturan, dan Fungsi Federatif, untuk mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang dan damai, dan menurut Jhon Locke fungsi mengadili termasuk dalam tugas eksekutif.

Lalu teori pembagian kekuasaan Jhon Locke disempurnakan oleh Montesquieu yang kita kenal dengan Teori Trias Politika, dimana membagi kekuasaan berdasarkan tiga fungsi, yaitu: Fungsi Legislatif untuk membuat Undang-Undang, Fungsi Eksekutif untuk melaksanakan Undang-Undang, dan Fungsi Yudikatif untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (Fungsi Mengadili), menurut Mountesquieu fungsi federatif yang dikemukakan oleh Jhon Locke disatukan dengan fungsi eksekutif, dan fungsi mengadili dijadikan fungsi yang berdiri sendiri.

Secara Implisit Negara Indonesia menerapkan pembagian kekuasaan sesuai Teori Trias Politika yang dianut oleh Montesquieu dimana adanya pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara baik Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif kedalam lembaga - lembaga negara di Indonesia, namun Selain dari tiga fungsi negara itu, Indonesia membagi kekuasaan lagi yaitu Kekuasaan Eksaminatif atau pemeriksaan keuangan negara.