Jadi, Teman Wisudaku, ya?

Perguruan tinggi sudah kutempuh 4 tahun lamanya. Segala tetek bengek persyaratan untuk wisuda sudah aku lengkapi, termasuk skripsi. Aku berhasil sidang dengan hasil yang memuaskan. Senang sekali rasanya bisa bebas. Sekarang yang aku belum lengkapi adalah teman wisuda.

Aku butuh seseorang yang bisa mendampingiku nanti saat wisuda. Ini dikarenakan kedua orang tuaku tidak bisa hadir. Mereka sibuk dengan pekerjaannya, bahkan untuk menghadiri wisuda anak satu-satunya saja mereka tidak bisa.

Hari ini aku hadir di kampus, pada Fakultas Ilmu Budaya. Aku datang ke sini untuk mencari keberadaan Sadam. Dia biasanya asik membaca buku trilogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang belum selesai dibaca di dalam gedung teater. Ketika aku sampai di sana, aku tersenyum lebar. Benar, bukan. Dia ada di sini, dengan tiga buku tebal di sisi kanan.

“Sadam!” Aku memanggil, langsung duduk tanpa perlu izin di tempat penonton, satu tingkat lebih rendah dari tempat ia duduk. “Baca mulu, nanti matanya jadi nambah dua, hayo.”

“Cerewet terus nanti bibirnya dower, hayo.” Aku cekikikan. Sadam membalas dengan hal yang sama, tapi rautnya tanpa ekspresi.

“Sadam.” Aku memanggil lagi. “Kamu mau nggak jadi teman wisudaku?”

Kulihat Sadam melirik sekilas lalu kembali membaca paragraf yang ada di buku. “Aku harus ngapain?”

“Jadi teman wisuda. Yang menggandeng aku. Yang fotoin aku. Yang bawain bunga buat aku. Dan yang pertama kali bilang selamat wisuda buat aku!” Nadaku begitu ceria seperti penjual sayur yang menawarkan dagangan.

“Jadi babu, dong?”

“Bukan, Sadam. Jadi teman wisuda.” Aku meralatnya.

“Teman wisuda bahasa kerennya, ujung-ujungnya aku disuruh ini itu.”

“Nggak Sadam. Kalo teman wisuda itu spesial.”

“Apa yang spesial?”

“Kamu spesial.”

“Kenapa spesial?”

“Karena aku maunya kamu.”

Sadam tersenyum, mengacak rambutku. “Ya udah. Aku mau.”

“Makasih, Sadam!”


Aku dan Sadam kini berada di mall. Aku berencana ingin mencari kebaya untuk dipakai nanti saat wisuda. Rupanya untuk hal ini Sadam sudah mau diajak. Biasanya dia malas sekali kalau ikut berbelanja denganku di mall, katanya lebih baik membaca serial Keluarga Nusantara karya Tere Liye ditemani kopi dengan sedikit gula.

Kami sudah berkeliling mall. Aku belum juga mendapatkan kebaya yang pas untuk aku pakai di hari bersejarah dalam dunia pendidikanku.

“Dam, bagusnya aku pakai kebaya warna apa?” Aku meminta saran, siapa tahu usul Sadam bisa membuka ide dalam berbusana nanti.

“Warna apa saja bagus. Yang penting kamu pakai baju.”

Ternyata usul Sadam tidak menaikkan kadar imajinasi agar aku bisa cepat memilih kebaya yang akan aku pakai. Kami pun meneruskan perjalanan mengelilingi butik.

Aku yang berjalan duluan di depan Sadam lantas berhenti tiba-tiba, mataku terpaku dengan kebaya yang ada di dalam toko. Sadam yang berjalan sembari melihat ponsel tidak tahu aku berhenti jadi menabrak. Kami sama-sama bersitatap dan mendengkus.

“Kenapa berhenti?” Sadam bertanya setengah kesal.

“Makanya kalo jalan pake mata.”

“Dimana-mana jalan pakai kaki.”

Aku memonyongkan bibir, telunjukku mengarah ke dalam toko. “Lihat deh, kebaya yang di dalam bagus, kan?”

Sadam melihat kebaya itu. Terdiam selama lima detik lalu berkata, “Beli.”

Rupanya kami sepemikiran. Akupun langsung masuk toko, mencoba kebaya itu dan langsung membelinya tanpa ada keraguan sedikitpun.

Keluar dari toko aku sudah menenteng paperbag dengan rona bahagia. Sadam mensejajarkan langkah dan berkata, “Barang yang dibeli masih banyak?”

“Tinggal sedikit. Sepatu, kalung, cincin, make up, tas, dompet, terus…”

Sadam langsung melenggang duluan. “Mending aku baca serial novel Harry Potter.”

Aku cekikikan dan langsung mengejarnya. “Tungguin aku.”


Puas belanja dan melihat wajah kesal Sadam akupun mentraktirnya makan bakso. Hitung-hitung karena dia sudah mau mengikuti keliling mall berjam-jam dan mengantariku pulang. Dia menolak ditraktir, tapi aku bersikeras untuk mentraktir. Jadi, dia pasrah saja.

“Dam, kamu kenapa suka baca?” Aku bertanya, sembari menunggu pesanan dua mangkok bakso tenes dan es jeruk tiba di meja.

“Karena perintah agama islam memang dianjurkan disuruh membaca.”

“Kenapa nggak nulis?”

“Nulis? Nggak bisa nulis.”

Aku mengerutkan kening. “Biasanya nih ya, kalau orang yang suka membaca pasti nanti bisa nulis. Supaya kamu nggak hanya baca karya orang lain, tapi karya sendiri juga. Menulis itu untuk mengabadikan.”

“Tulisanku jelek.”

“Kamu kan belum menulis, masa sudah tahu tulisan jelek. Ingat pepatah, kalau mati, gajah meninggalkan gading.” Sadam mengangguk atas pernyataanku. “Nah kalau penulis meninggalkan karya. Kamu harus menulis Sadam.”

“Aku belum dapat inspirasi.”

“Inspirasi datang darimana aja. Kamu hanya perlu menuangkan apa yang ada di kepala kamu ke atas kertas. Dan voila! Seluruh dunia akan membaca karya kamu.”

Sadam menatapku lamat-lamat. Dia pasti memikirkan ucapanku ini. Harusnya dia memang sudah berkarya sejak dulu. Ada puluhan, bahkan ratusan buku yang sudah ia raup habus-habisan. Perpustakaan fakultas saja aku tidak tahu buku mana yang belum ia baca saking seringnya lelaki itu meminjam buku. Aku yakin dia pasti bisa menulis karena Sadam adalah sahabatku yang luar biasa.

“Terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Sudah menyemangatiku untuk berkarya.”

“Sama-sama. Pokoknya buku terbitan kamu harus aku duluan yang baca.”

“Terima kasih lagi.”

“Buat apa?”

“Sudah menjadi inspirasiku.”

Pipiku merona. Pesanan kami tiba lima detik kemudian. Aku langsung menyantap es jeruk dengan senyum yang tidak bisa pudar.

Selesai mengisi perut, kami ke parkiran mall untuk mengambil motor. Aku berjalan di belakang Sadam untuk memeriksa kembali belanjaan. Saat aku sibuk, tak melihat jalan, sebuah mobil melaju mendekat dengan kecepatan yang sangat kencang.

Saat itulah yang aku dengar hanya klakson dan suara Sadam. Setelah itu aku merasakan sakit yang luar biasa.

images (9)

Hari ini adalah perayaan wisuda. Aku bisa melihat semua wajah-wajah bahagia, mereka memakai toga, kebaya, ditemani oleh orang terkasih. Sedangkan aku hanya bisa berdiri kaku. Tidak dianggap oleh orang-orang. Aku ada di keramaian, tapi merasa sendirian. Seharusnya aku bisa bersama Sadam.

Kulihat dia berada di deretan pendamping wisudawan, memakai jas, wajahnya mempesona sekali di mataku. Dia menjadi lelaki yang istimewa bukan hanya karena dia sahabatku, tapi seseorang yang aku sayangi.

Hanya saja, perasaanku ini tidak akan bisa terbalas. Kami telah berbeda dunia.

Aku bisa merasakan dia bersedih. Dia tidak bisa menjadi teman wisuda untukku. Padahal kami sudah bersepakat akan melakukan banyak hal untuk wisuda ini. Tugas yang aku rencanakan bersamanya telah hancur berkeping-keping.

Namaku disebut oleh pembawa acara, Tania Atmaja lulus dengan IPK 4.0. Masuk dalam deretan wisudawan terbaik. Semua tepuk tangan menggema dengan keras di auditorium. Menunggu kehadiranku untuk naik ke panggung. Air mataku menetes.

Aku naik ke atas panggung. Berjalan dengan perasaan bahagia dan sedih. Aku dengan bangga memakai kebaya yang aku pilih dengan Sadam. Aku bahagia bisa menjadi wisudawan, tapi aku sedih karena Sadam tidak menjadi teman wisudaku.

Sumber gambar : google